Judul : KorupsiPenulis : Tahar Ben Jelloun
Harga Rp 40.000
Penerjemah : Okke K.S. Zaimar
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Terbitan : I, November 2010
Tebal : 232 hlm
Resensi (novelyangkubaca.blogspot.com)
Novel Korupsi ini ditulis oleh Tahar Ben Jelloun, seorang penulis dan penyair asal Maroko yang menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Perancis. Novel ini mendapat ‘tempat’ tersendiri di kalangan sastrawan tanah air karena karyanya ini terilhami oleh novel “Korupsi” karya pengarang besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer.
Pada
awal tahun 1990-an Tahar Ben Jelloun berkunjung ke Indonesia. Saat itu
ia ingin sekali bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer yang sangat
dikaguminya. Karena saat itu Pram tengah menjalani tahanan kota dan
“demi kebaikan Pramoedya” maka ia mengurungkan niatnya untuk bertemu Pram. Namun walau tak sempat bertemu muka dengan Pramoedya, selama di Jakarta ia
sempat membaca terjemahan bahasa Perancis novel Korupsi karya Pramoedya
yang akhirnya mengilhaminya untuk menulis novel serupa dengan latar Maroko.
Pada tahun 1994 novelnya diterbitkan dengan judul L’Homme Rompu (Lelaki yang Patah). Dengan permainan kata “Rompu” (patah) adalah “corrompu” (korup) yang ia persembahkan untuk Pramoedya, tidak itu saja sebagian royalti dari penjualan novel ini juga ia berikan kepada Pramoedya. Sebagai ungkapan terimakasihnya Pramoedya mengirimkan sepucuk surat pribadi yang menurut Tahar “ditulis dengan sangat indah”. Kini 16 tahun kemudian barulah novel Tahar ini diterjemahkan langsung dari bahasa Perancis dan diberi judul yang sama persis dengan novel Pram yaitu ‘Korupsi’
Dalam
novelnya ini Tahar mengisahkan tokoh Murad, seorang Insinyur lulusan
perguruan tinggi di Perancis yang bekerja di Kementrian Pekerjaan Umum
di Casablanca, Maroko. Ia adalah wakil direktur Perencanaan Pembangunan dan Pembinaan, salah satu tugasnya adalah mempelajari berkas pembangunan yang diajukan ke kementrian PU. Tanpa parafnya tak ada izin membangun,
Namun walau posisinya cukup tinggi gaji Murad tak mencukupi untuk menghidupi istri dan kedua anaknya. Sebenarnya
jabatan dan pekerjaannya yang ‘basah’ sangat memungkinkan ia memperoleh
uang suap dari pihak-pihak yang membutuhkan legalitas dari dirinya,
namun Murad memiliki
prinsip untuk bekerja secara jujur dan tidak melakukan korupsi sehingga
di kalangan rekan-rekan kerjanya ia mendapat reputasi sebagai “manusia besi”.
Sayangnya prinsip yg dipegang teguh oleh Murad tak sejalan dengan istri dan lingkungan kerjanya. Hilma,
istrinya selalu mengomel dan menuntut ini dan itu, Hilma juga sering
membandingkan kehidupan mereka dengan Haji Hamid, asisten Murad yang
walau gajinya lebih kecil dari Murad namun Hamid lebih kaya daripada
mereka.
Keteguhan Murad untuk bekerja secara
jujur juga membuat ia menjadi ganjalan bagi rekan-rekan kerjanya yang
berusaha mendongkel Murad dari kedudukannya. Ketika atasan maupun
asistennya melakukan korupsi maka perilaku Murad yang bersih justru
dianggap aneh sampai-sampai direkturnya sendiri memberi wejangan agar Murad lebih ‘luwes’ dalam bekerja dan memberikan alasan-alasan yang masuk akal agar Murad juga melakukan korupsi seperti mereka.
Kehidupan ekonomi keluarganya yang serba kekurangan, salah satu anaknya yang sakit-sakitan, tekanan
dari istri dan rekan-rekan kerjanya yang terus menggodanya agar
melakukan korupsi lambat laun mulai menggoyahkan keyakinannya. Iman dan keteguhan prinsipnya benar-benar diuji ketika didalam
sebuah berkas yang harus ditandatanganinya terdapat segepok uang
dirham. Ketika itu hatinya galau karena uang itu lebih dari cukup untuk
melunasi hutang-hutangnya sekaligus untuk mengobati anaknya, namun jika uang itu diambilnya maka runtuhlah prinsip anti suap/korupsi yang selama ini ia pegang teguh.
Tahar
Ben Jelloun mengemas kisah Murad ini dengan memikat dan begitu hidup,
pergolakan batin Murad terdeskripsi dengan sangat baik sehingga
pembacanya diajak merasakan kegalauan hatinya dalam mempertahankan
prinsipnya. Wejangan panjang lebar dari atasan
Murad yang mencoba merasionalisasikan tindakan korupsi terkesan begitu
masuk akal dan meyakinkan sehingga tak hanya Murad tapi pembaca novel
inipun mungkin akan sedikit membenarkan apa yang dikatakan direkturnya
itu.
Kehidupan sosial masyarakat Casablanca dan
suasana kota, angkutan umum, lalu lintas, dan perilaku korupsi yang
terdapat dalam novel ini juga terasa memiliki banyak kesamaan dengan
kota-kota besar di Indonesia sehingga pembaca sejenak akan lupa kalau
setting kisah Murad itu berada ribuan kilometer dari Indonesia. Tak
heran rasanya kalau Casablanca ini merupakan sister city dari Jakarta,
dimana suasana kota dan perilaku korupsi pegawai negerinya memiliki
kesamaan.
Munculnya tokoh Nadia seorang janda cantik yang merupakan selingkuhan Murad turut mewarnai novel ini. Bagi
Murad hanya Nadialah yang mengerti akan prinsip yang dianutnya sehingga
bisa dikatakan Nadia tempat dimana dia bisa melepaskan ketegangan yang
dialminya baik di rumah maupun di pekerjaannya. Melalui perselingkuhannya dengan Nadia ini maka Murad bukan
seorang manusia sempurna, di satu sisi ia begitu kokoh mempertahankan
prinsipnya sebagai pegawai yang ‘bersih’ namun di satu sisi ia memiliki
kelemahan dalam hal wanita. Moralitasnya hanya pada negara namun hal ini
tidak berlaku dalam hal hubungannya dengan wanita.
Walau
sepertinya novel ini merupakan novel yang menyiratkan sebuah pesan
moral pada pembacanya namun untungnya kita tak akan terasa digurui
karena Tahar menuliskannya dalam ruang pergulatan batin Murad sebagai
tokoh utamanya.
Pergulatan batin Murad dalam mempertahankan prinsipnya dan bagaimana ketika akhirnya ia harus mengambil
resiko atas keputusan yang diambilnya, serta kisah cintanya dengan
Nadia mengalir tanpa jeda di novel ini. Sepertinya memang penulis tak
memberi kesempatan bagi pembacanya untuk berhenti membacanya karena
novel setebal 231 halaman ini ditulis tanpa ada pembagian bab. Untungnya
kemahiran Tahar dalam merangkai kisah dengan lugas, tidak bertele-tele
ditambah dengan terjemahan yang enak dibaca membuat novel ini memiliki
tingkat keterbacaan yang tinggi sehingga beberapa pembaca mungkin akan
menghabiskan novel ini dalam sekali duduk.
Novel ini juga merupakan
cerminan kehidupan birokrasi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai
negara dengan tingkat korupsi yang tinggi karena korupsi sudah mendarah
daging dan menjadi sebuah hal yang wajar. Di novelnya ini pada akhirnya Tahar memberikan
gambaran pada kita bagaimana seorang yang memiliki prinsip yang teguh
untuk bekerja secara ‘bersih’ harus melawan arus dan menghadapi berbagai tekanan dan sistem yang membuat perilaku korupsi menjadi begitu mudah dan mentradisi.
Selain
tekanan lingkungan dan sistem, seseorang yang seperti Murad juga
mungkin bisa dikalahkan oleh karena kemiskinan yang dialaminya, hal ini
sesuai dengan apa yang ditulis Tahar dalam kata pengantarnya bahwa “Di
bawah langit yang berbeda, dan berjarak beribu-ribu kilometer, ketika
didera oleh kesengsaraan yang sama, kadang-kadang jiwa manusia menyerah
pada setan yang sama” (hal 12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar