Jumat, 25 April 2014

Jual Buku Amuk Banjarmasin, Penulis Hairul Salim


Judul Amuk Banjarmasin
Penulis: Hairul Salim
Harga: Rp 33.000
Thn Terbit: 1997
Halaman:121
Berat Buku:180.00 (gram)
Dimensi(LxP): 21 x 14,5
Bahasa: Indonesia
ISBN: 9799532906
Kondisi:Stok lama, Bagus

Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya 23 Mei 1997, sebuah kerusuhan sosial melanda Banjarmasin. Kerusuhan yang berawal dari kampanye putaran terakhir Pemilu 1997 itu, telah mengakibatkan –menurut data resmi–, 123 orang tewas, 1 gereja musnah dan 10 rusak berat, 151 rumah, 144 buah toko, 3 pusat perbelanjaan dan hiburan, 3 pasar swalayan, 5 bank, 4 kantor pemerintah, 1 sarana hiburan, 3 sekolah, 1 rumah jompo, 1 apotik, 36 mobil, dan 34 sepeda motor musnah terbakar. Media setempat dan nasional menamai peristiwa itu sebagai peristiwa “Jumat Kelabu,” karena kebetulan terjadi pada hari Jumat.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, yang ketika itu dipimpin oleh Bambang Widjojanto, meminta seorang relawan untuk membantu mereka melakukan investigasi. Sebagai orang Banjar yang sedang di rantau, saya menangkap tawaran itu. Demikianlah, bersama Andi Achdian dan Munir (alm.) dari Jakarta dan saya dari Yogyakarta, kami terbang ke Banjarmasin. Selain membantu menyelidiki kemungkinan ada pelanggaran HAM baik dalam maupun sesudah peristiwa itu, saya bersama Andi Achdian juga menelusuri latar belakang sosial yang mengalasi peristiwa itu. Sebagian laporan kami kemudian diolah menjadi buku dan terbit dengan judul, Amuk Banjarmasin (YLBHI, 1997). Kami bukan satu-satunya yang melakukan investigasi saat itu. Setidaknya, masih ada Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa (alm.) dan juga sebuah kelompok yang menamakan Lembaga Pengkaji Pengembangan Potensi Pembangunan Banjar (LP4R) yang juga melakukan invenstigasi.

Terlupakan

Dari jumlah korban jiwa dan kerugian fisik, peristiwa “Jumat Kelabu” adalah yang terbesar di Indonesia waktu itu. Sebelumnya, beberapa wilayah sudah digoncang oleh kerusuhan yang bernuansa SARA seperti di Purwakarta (31 Oktober-2 November 1995), Pekalongan (24 November 1995), Peristiwa 27 Juli 1996 (Jakarta), Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Sanggau Ledo (30 Desember-2 Januari 1997), Tanah Abang  (28 Januari 1997), dan Rengasdengklok (31 Januari 1997).

Namun, peristiwa Jumat Kelabu yang sempat menarik perhatian nasional dan internasional ini segera terlupakan dan seperti dianggap tidak ada saja. Ini karena, Pertama, peristiwa itu dianggap sebagai musibah biasa saja. Masih kuatnya represi membuat sebagian besar saksi mata tidak berani buka mulut, bahkan untuk melaporkan anggota keluarga yang hilang pun mereka takut. Lebih-lebih waktu itu ada stigma yang kuat bahwa mereka yang terlibat dalam peristiwa itu adalah “para perusuh.” Demikianlah, peristiwa itu di benak masyarakat seperti ingin segera dilupakan dan jadi berbahaya untuk diingat.

Kedua, setahun setelah peristiwa itu, dan rupanya inilah ujung dari berbagai rentetan kerusuhan di berbagai kota di Indonesia itu, terjadi reformasi yang memakjulkan rezim Soeharto. Peristiwa reformasi ini, yang skala dan dampaknya memang lebih besar, akhirnya menutup habis ingatan akan peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah, termasuk peristiwa “Jumat Kelabu.” Fokus perhatian kemudian beralih ke pentas nasional.

Bagaimanapun juga peristiwa itu harus tetap jadi pelajaran. Meledaknya Banjarmasin sebagai situs kerusuhan tentu juga didukung oleh keadaan sosial yang tidak kondusif. Bagaimana mungkin dalam waktu yang sedemikian singkat terjadi kerusuhan yang demikian masif, dengan seratus lebih korban, jika akar-akar kerusuhan yang bersifal sosial-politik, tidak mendukungnya. Jadi, jika akar-akar kerusuhan sosial ini tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin suatu saat kerusuhan yang kurang lebih sama akan terulang. Ini terutama di saat-saat transisi dan peralihan kekuasaan politik, ketika keadaan keamanan tidak stabil dan ekonomi demikian sulit... ~haisa.wordpress~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar