Judul: Buku Luka Aceh, Duka Pers
Editor: J Anto
Harga Rp 50.000Penerbit: KIPPAS, Medan,
Cetakan I, September 2002
Tebal: xxiii + 318 halaman
Kondisi Stok lama, Bagus, Bukan Bekas
Kata-kata “Luka Aceh” dalam penggalan judul buku ini boleh jadi mudah diduga apa maksudnya sebab konflik Aceh termasuk persoalan lama di negeri ini. Konflik itu mengorbankan banyak jiwa secara mengenaskan dengan darah bersimbah akibat luka di sana-sini. Ironisnya, setelah status DOM (Daerah Operasi Militer) di bumi Serambi Mekkah itu dicabut pada Agustus 1998, konflik bersenjata antara rakyat Aceh, pasukan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan tentara Indonesia justru kian meningkat. Apa maksudnya “Duka Pers” dalam penggalan lain judul buku ini? Ternyata, dalam memotret fakta-fakta konflik tersebut, insan pers tidak jarang mengalami atau berhadapan dengan hal-hal yang membuat mereka berduka. Sebutlah, ketika 5.000 eksemplar koran Waspada yang hendak didistribusikan ke Aceh Utara, medio Mei 1999 habis dibakar oleh GAM. Penyebabnya, GAM memandang sejumlah pemberitaan Waspada tentang konflik Aceh cenderung memojokkan mereka. Parahnya lagi, pengalaman pahit serupa dialami Waspada pada medio Februari 2000. Contoh kasus lain, pernah juga GAM mengancam dengan mendatangi langsung kantor redaksi Serambi Indonesia. Akibatnya, koran itu tidak terbit selama 13 hari (11-23 Agustus 2001) karena tidak mau mengambil risiko atas keselamatan jiwa mereka. Masih banyak contoh kasus lain yang dipaparkan dalam buku ini. Intinya, begitu berat pergumulan para insan pers yang peduli akan berita-berita tentang konflik Aceh. Ancaman dan tekanan yang datang dari sana-sini mungkin tidak kurang besar dengan apa yang dialami insan pers di era Orde Baru (Orba). Pers harus betul-betul bergumul sebelum memutuskan untuk memuat suatu berita yang menyoroti konflik Aceh sebab bukan cuma GAM yang harus diwaspadai, tetapi juga pihak TNI/Polri. Tak pelak, keselamatan insan pers menjadi rentan karenanya. Buku ini menghimpun enam hasil riset mengenai pemberitaan media pers tentang konflik Aceh dan berbagai eksesnya, dalam kurun waktu yang berbeda-beda (antara 1999 sampai pertengahan 2002). Sedangkan media-media pers yang diriset itu adalah beberapa surat kabar yang terbit di Medan dan Banda Aceh, terutama yang dianggap sangat intents dalam meliput kasus-kasus konflik di Aceh. Yakni, Serambi Indonesia, Waspada, Analisa, Radar Medan, dan Sumut Pos. Metode yang digunakan adalah analisis isi dengan menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Ada beberapa alasan yang melandasi kajian pers itu. Pertama, pemberitaan media pers tentang konflik Aceh dapat dijadikan titik tolak untuk menilai kecenderungan perubahan perilaku pers dalam memberitakan konflik Aceh. Sebagaimana diketahui, semasa rezim Orba berkuasa, apalagi ditambah status Aceh sebagai DOM, akses pers terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik, khususnya GAM, sangat terbatas. Bahkan, kalau boleh dibilang, tak ada sama sekali. Berita konflik Aceh beserta kasus-kasus kekerasan terhadap rakyat sipil hanya dikonstruksi dari keterangan versi militer. Persoalannya, setelah status DOM dicabut dan rezim Orba tidak lagi berkuasa, apakah ada perubahan signifikan dalam pemberitaan pers tentang Aceh? Apakah orientasi pemberitaan pers lebih jujur dan berimbang? Kedua, sebagai daerah yang tak pernah sepi dari konflik, jurnalis(me) menjadi rebutan dari pihak-pihak yang bertikai, khususnya antara pihak GAM dan TNI/ Polri. Persoalan tersebut bertambah menarik dengan harapan publik untuk memperoleh informasi-informasi yang akurat dan objektif dalam rangka right to know sebagai landasan untuk menyatakan right to expression-nya. Sejauh manakah produk jurnalis(me) memenuhi harapan publik tersebut, khususnya publik yang menjadi korban dari konflik bersenjata antara GAM dan TNI/Polri? Ketiga, sesuai dengan teori proksimitas, berbagai pemberitaan menyangkut hal-hal yang terjadi di Tanah Rencong itu jelas memiliki daya tarik tersendiri. Meski berbagai penderitaan rakyat Aceh tak bisa diperbandingkan dengan penderitaan rakyat di wilayah lain, sebagai tragedi yang mengoyak-ngoyak harkat kemanusiaan “bangsa” Indonesia, konflik berdarah di Aceh juga bagian dari wajah rakyat Indonesia yang berdarah-darah. Buku ini dibagi atas tiga bagian. Kesatu, yang diberi judul Wajah Jurnalis(me) Aceh, berisi enam artikel. Kedua, berjudul Jurnalis(me) Aceh di Mata Pengamat dan Praktisi Pers, berisi empat tulisan. Ketiga, berjudul Jurnalis(me) Aceh dalam Perbincangan, berisi tiga tulisan. Khususnya pada bagian terakhir itu, setiap artikel merupakan hasil rekaman seminar tentang kecenderungan pemberitaan media pers dalam meliput konflik Aceh yang dibagi menjadi tiga sesi. VICTOR SILAEN(buntomi.wordpress)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar