Sabtu, 18 Oktober 2014

Jual Buku Menjadi Manusia Haji / Ali Syariati

Jual Buku Menjadi Manusia Haji, Penulis : Ali Syariati,  Penerbit Jalasutra
Judul : Menjadi Manusia Haji
Harga : Rp 42.000 TERJUAL
Penulis : Ali Syariati
Penerbit Jalasutra
Cetakan : III, 2008
Tebal : 285 halaman
Ukuran : 15 x 21 cm
ISBN : 979-3684-51-8

Deskripsi:
Jika Anda ingin tahu bagaimana cara haji, bacalah buku fikih. Jika Anda ingin memahami mkna haji, bacalah buku ini. Barangkali membaca buku ini akan mendorong Anda memahami haji, atau setidaknya merenungkan barang sedikit tentang haji. (Ali Syari'ati)

Buku Menjadi Manusia Haji ini memang istimewa. Ia menjelaskan seluruh makna rukun demi rukun ibadah haji. Bukan hanya itu, ia menjelaskan makna bendabenda seperti Kabah, Hajar Aswad, Hijir Ismail, Maqam Ibrahim Jumarat, Arafat, Mahsyar. Istri dan mertua saya yang membaca uraian tentang tawaf tidak bisa menahan air mata ... menyentuh hati. (M. Dawam Rahardjo)

Setelah membaca buku ini, saya merasa seperti belum berhaji (M. Amin Rais)

Pengantar Penulis
Sebagai manusia yang memiliki sekelumit pengetahuan agama dengan fokus kajian pada sejarah agama-agama, berbagai kesimpulanku dalam buku ini merupakan buah dari studi dan penelitian atas evolusi historis setiap agama. Di dalamnya aku berupaya memperbandingkan agama-agama yang ada di masa lampau dan di masa sekarang; dari ‘kebenaran’ serta ‘realitas’ agama yang berbeda-beda. Pelbagai kesimpulan ini sama sekali tidak berdasarkan pada keyakinan religius dan prasangka pribadiku:

Andai kita mempelajari dan menilai efektivitas setiap agama atas dasar kebahagiaan dan evolusi manusia, kita akan menemukan bahwa tidak ada kenabian yang semaju, sekuat, dan sesadar kenabian Muhammad (Islam dan peranannya dalam kemajuan sosial, kesadaran diri, gerakan, tanggung jawab, ambisi, dan perjuangan manusia untuk menegakkan keadilan; idealisme, kewajaran, kreativitas Islam; adaptabilitas Islam atas pelbagai kemajuan ilmiah dan finansial; serta orientasi Islam terhadap kebudayaan dan masyarakat). Dalam waktu yang bersamaan, kita juga mendapatkan bahwa selain kenabian Muhammad tak ada kenabian yang telah mengalami sedemikian banyak perusakan dan perubahan ke dalam representasi yang lain dari yang lain. Seolah ada kekuatan besar berupa ketersediaan fasilitas fisik dan para penasihat cerdik pandai yang, secara terang-terangan maupun diam-diam, telah menyewa sekelompok manusia terpelajar—kelompok yang terdiri dari para filsuf sejarah, sosiolog, psikolog sosial, pakar politik, pakar humaniora, teolog, orientalis, pakar studi Islam, penafsir kitab suci, dan orang-orang yang mengenal literatur Islam, relasi sosial, tradisi, kepentingan, perilaku sosial ekonomi kaum muslim, serta peranan tokoh-tokoh muslim tertentu—untuk melakukan reformasi total doktrin Islam melalui pelbagai riset ilmiah yang kokoh.

Sepengetahuanku, jika ditilik dari perspektif praksis dan konseptual, ada tiga rukun Islam yang terpenting yang memberikan daya dorong kuat kepada ummah (nation) muslim, dan yang membuat para warganya sadar, merdeka, terhormat, serta memiliki tanggung jawab sosial. Apa itu? Tak lain adalah: tauhid, jihad, dan haji.

Sangat disayangkan konsep tauhid ini hanya diajarkan di sekolah-sekolah dasar. Di luar sekolah dasar, mungkin saja tauhid diwacanakan dalam pelbagai kolokium filosofis dan teologis yang diselenggarakan kalangan pemuka agama, tetapi saling berbagi wacana seperti ini sama sekali asing bagi kebanyakan orang dan tak bisa diterapkan ke dalam kehidupan nyata mereka. Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam kolokium wacana tersebut bukan tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi eksistensi dan keesaan Allah. Sedangkan konsep jihad tabu dibicarakan dan dibuat pelbagai akrobat ‘politik pelupaan’ agar orang risih dan, setelah itu, hilang dari ingatan publik. Prinsip dasar jihad ‘menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan’ hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengutuk sesama teman, dan bukan untuk meluruskan kaum penyimpang. Rukun terakhir, ibadah haji, dipandang sebagai amal terburuk dan paling tidak logis yang dilakukan kaum muslim setiap tahun.

Musuh-musuh Islam telah berhasil menciptakan citraan-citraan negatif tersebut dengan memakai cara yang unik. Dari kuburan ‘buku-buku doa’ dibawa ke kota, sedang dari kota Alquran diambil dan dibawa ke kuburan untuk dibacakan kepada jiwa orang-orang yang sudah mati. Pendekatan yang sama dipergunakan pula di sekolah-sekolah. Alquran diambil dari siswa yang mempelajari Islam, lalu dideret dalam rak-rak; dan kepada siswa-siswa tersebut diberikan pelbagai buku tentang prinsip dan wacana filosofis (yang umumnya dari Barat). Itulah siasat licik yang dilakukan musuh kepada kaum muslim dan, pada akhirnya, Alquran tersingkir dari kurikulum siswa-siswa muslim.Bisakah seorang intelektual yang memilik rasa tanggung jawab terhadap nasib bangsanya, seorang muslim yang merasakan hal yang sama karena satu agama, atau seorang intelektual yang memiliki kesadaran dan rasa pembelaan yang kuat kemudian malah berpangku tangan? Apakah ia mengira bahwa ideologi Barat dapat menyelamatkan bangsanya dan memecahkan masalah-masalah mereka? Jawabannya: tidak!

Wahai sahabat-sahabatku sesama kaum intelektual dan saudara-saudaraku kaum muslim…baik kalian merasa bertanggung jawab kepada rakyat jelata maupun kepada Allah, sesungguhnya kita semua berada dalam sebuah perahu dan memiliki tanggung jawab yang sama. Demi pembebasan diri dan mengangkat derajat kehormatan kita kembali, maka yang terbaik untuk kita lakukan adalah mempergunakan taktik-taktik yang sama seperti yang dipergunakan oleh musuh-musuh kita. Kita harus kembali ke jalan dari mana kita telah diperosokkan. Oleh karena itu, dari kuburan-kuburan tadi kita harus membawa kembali Alquran ke kota dan membacakannya kepada orang-orang yang masih hidup, dan bukan kepada orang-orang yang sudah mati! Kita harus mengambil Alquran dari tempat penyimpanannya dan membentangkannya di depan para siswa, membiarkan mereka untuk mempelajari, menganalisis, dan bertindak berdasarkan Alquran. Karena kita sendiri tidak bisa menghancurkannya, musuh-musuh kita menutup Alquran dan menaruhnya di pojok untuk sekadar dihormati sebagai sebuah kitab suci! Ironis. Maka, adalah kewajiban kita untuk mengembalikan fungsi sejati Alquran sebagai sebuah ‘kitab’ seperti terkandung dalam namanya, bahwa Alquran adalah sebuah kitab yang harus dipelajari.

Bisakah kita berharap suatu masa nanti Alquran akan diterima sebagai kitab klasik dalam sekolah-sekolah Islam dan menjadi rujukan utama dalam pengajaran Islam? Bisakah kita berharap bahwa kita akan mengalami suatu zaman ketika studi Alquran diperlukan untuk mendapatkan kualifikasi dalam ijtihad?

Dengan kembali kepada Alquran barulah kita dapat menghayati esensi tauhid. Dengan memandang Alquran sebagai satu struktur dari sistem anutan kita, barulah kita dapat menghayati daya kreatif dan daya guna dari pelbagai kewajiban yang dibebankan agama—seperti haji, jihad, syahadat—dan arti hidup kita ini!

Pada kesempatan ini, mari kita membahas haji, satu di antara kewajiban-kewajiban agama, dan mencari signifikansinya dari sudut pandang monoteis. Buku ini merupakan ikhtisar dari pengalaman dan pemahaman pribadiku sendiri setelah tiga kali menunaikan ibadah haji dan satu kali pesiar ke Kota Mekah. Buku ini hanyalah komentar dan tafsir terhadap pelbagai ritual haji oleh seorang hamba Allah yang hina. Tak seorang muslim pun berhak memandang ritual-ritual haji berdasarkan tulisanku dalam buku ini, karena buku ini tidak ditulis layaknya ‘yurisprudensi religius’, tetapi ditulis agar pembaca ‘berpikir’. Sebagai seorang muslim yang telah menunaikan haji dan yang ketika sampai ke negeri asalnya kemudian berbicara mengenai haji, aku akan mencoba untuk menafsirkan ritual-ritual dalam ibadah ini. Aku dapat mendiskusikan tinjauan-tinjauanku mengenai haji kepada orang lain seakan hal ini seperti sudah menjadi ‘tradisi’. Setiap tahun orang-orang yang beruntung berkesempatan menunaikan ritual haji, akan menyatakan pandangan-pandangan mereka mengenai hal ini kepada orang lain yang tidak beruntung untuk melakukan hal yang serupa. Jika ada pemimpin yang bertanggung jawab, yang menunjukkan perhatian yang sama dalam memberikan pengajaran kepada lebih dari sejuta kaum muslim yang datang dari seluruh pelosok negeri (dari pelbagai desa dan negara paling terbelakang sekalipun), seperti perhatian mereka kepada makanan, kesehatan, barang-barang hiasan mewah mereka, tidak menonjolkan kearistokratan mereka (yang bertentangan dengan semangat haji), mencurahkan sedikit perhatian untuk menyadari makna dari ritual-ritual haji, serta tidak mengalami obsesi dan prasangka yang menentang ritual-ritual tersebut, maka haji merupakan ajaran-ajaran doktrin Islam yang aspek praksis dan teoretisnya setiap tahun diberikan kepada lebih dari sejuta wakil kaum muslim di seluruh dunia! Mereka dapat mempelajari tujuan haji, arti kenabian, betapa pentingnya persatuan, dan nasib umat muslim. Dengan bekal dan informasi, mereka kembali ke negerinya masing-masing, hidup seperti semula, dan mengajar di tengah-tengah masyarakat mereka. Implikasi nyatanya adalah bahwa selama hidupnya seorang haji bisa berperan sebagai pemberi petunjuk dalam kegelapan yang dihadapi masyarakat—sebagai nyala api dalam kelam.

Dr. Ali Syari‘ati

1 komentar:

  1. Apakah buku "menjadi manusia haji" (Ali Syariati) masih ready kak?

    BalasHapus