Senin, 30 Maret 2015

Buku Pluralitas dalam Masyarakat Islam, Jamal Al Banna


Judul Buku : Pluralitas Dalam Masyarakat Islam
Harga Rp 36.000 TERJUAL JKT UT 8/4/15
(Judul Asli : At Ta’addudiyah Fi Mujtama’ Islamiy)
Penulis : Gamal Al Banna
Pengantar : Prof. DR. Azyumardi Azra, MA
Tebal Buku : 93 halaman termasuk biodata tentang penulis
Tersedia 1 buah

Banyak kalangan yang mempertanyakan apakah sebenarnya sebagai agama yang besar dan benar Islam juga menghargai pluralitas atau pluralisme ? Sebuah pertanyaan besar yang dalam dan strategis dampaknya. Pertanyaan berasal dari banyak kalangan yang juga mempercayai bahwa pluralisme dan liberalisme dipandang sebagai ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah kecemburuan agama (religious zeal) secara moral praktis. Pertanyaan tersebut dapat dijawab secara tuntas apabila Anda membaca buku tulisan Gamal Al Banna yang notabene adalah adik kandung pendiri organisasi Ikhwanul Muslim Mesir, Hassan al Banna.

Dalam kata pengantarnya, Azyumardi Azra mengatakan, Gamal Al Banna sebenarnya ingin mempertegas bahwa mengakui adanya pluralitas dalam masyarakat berarti penegasan kepada prinsip utama Islam yaitu tauhid kepada Allah SWT. Penolakan terhadap pluralitas berarti pengingkaran kepada ketauhidan Allah SWT. Jadi, pengakuan terhadap pluralitas berarti pengakuan terhadap adanya masyarakat (Muslim) yang bukan berwajah tunggal, monoton, involutif dan stagnan, melainkan plural dan beraneka ragam serta dinamis.

Perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup apalagi antar umat beragama, berkaitan erat dengan doktrin Islam mengenai hubungan antara sesama manusia. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama, keturunan Adam dan Hawa. Meski berasal dari nenek moyang yang sama, tetapi kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas masing-masing seperti diisyaratkan Allah SWT di dalam Al Qur’an.

Pengakuan dan penerimaan al Banna terhadap konsep pluralitas masyarakat dapat mendorong kita untuk hidup berdampingan yang mendatangkan rahmat, bukan tindakan teror dan anarkis.

Menurut Gamal al Banna, Al Qur’an terhitung paling banyak mengungkap masalah pluralisme. Betapa banyak kata-kata ikhtalafa (perbedaan) dalam Al Qur’an seperti ikhtalafa, ikhtalaftum, ikhtalafu, takhtalifun, khilaf, ikhtilaf dan mukhtalaf. Ini semua menunjukkan adanya medan perbedaan yang cukup luas, dengan begitu berarti pluralisme. Kaidah-kaidah penopang pluralisme seperti : pertama, nash-nash yang menyatakan Allah SWT menciptakan segala sesuatu berpasangan, dan dengan demikian otomatis menafikan faham ketunggalan masyarakat (QA Yasin : 36, QS Fathir : 11, QS Asy-Syu’ra : 26, QS. Adz-Dzariyat : 49). Kedua, penetapan prinsip derajat kebaikan yang menjelaskan adanya perbedaan antar pemilik derajat tersebut. Ini berarti pluralisme. Al Qur’an menggunakan kata darajat untuk membedakan golongan-golongan yang menghampar di kalangan umat Islam (QS an Nisa : 95, QS Al An’am : 123 dan 165, QS at Taubah ; 20 dan QS Az Zuhruf : 32). Ketiga, adanya penetapan prinsip berlomba dalam kebajikan, hal ini menyangkut kebebasan individu dan tanpa penyeragaman (QS. Al Baqarah : 148, al Maidah 48, at Taubah 100, Fatir 32 dan al Hadid 21). Keempat, penetapan prinsip pembelaan (at Tadafu’) yang memiliki implikasi lebih kuat dibandingkan prinsip berlomba-lomba dalam kebajikan (QS al Baqarah 251 dan al Haj 39-40). Kelima, penetapan prinsip kebebasan berkeyakinan (QS al Baqarah 256, Yunus 108, al Isra’ 15 dan al Kahfi 29) (halaman 11).
Sikap plural juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat mensholati gembong munafik, Abdullah bin Ubei. Hal ini tidak lain adalah bukti nyata kebesaran Islam yang mengajarkan pluralisme dalam bermasyarakat, yaitu menerima sikap baik yang ditampakkan dengan tidak mempersoalkan apa yang tersimpan dalam hati seseorang (halaman 15).

Islam memberikan sikap bisa menerima semua agama yang ada, serta memberi kebebasan kepada pemeluk semua agama untuk menjalankan ajaran agama mereka tanpa halangan. Dengan kebebasan beragama yang diajarkan Islam, sebenarnya posisi kaum Kristiani dan Yahudi justru diuntungkan (halaman 23).

Menurut Gamal al Banna, keberadaan ketiga agama samawi (Islam, Yahudi dan Kristen) diibaratkan secara sederhana seperti sebuah keluarga, dimana anak-anaknya mengerti aturan berinteraksi, memberi, meminta dan mengerti atas haknya masing-masing. Mereka harus mengerti tata krama dalam berbeda pendapat, yang mestinya mereka juga saling melengkapi atas kekurangan saudaranya yang lain. Seperti adanya agama Yahudi dengan ketauhidannya yang keras, agama Kristen dengan ajaran cinta dan kasihnya dan Islam dengan keadilannya, seharusnya semua itu bisa membentukn semua tatanan yang diharapkan dan saling melengkapi di alam ini (halaman 24).

Beberapa ayat al Qur’an juga memperkuat adanya kebebasan berkeyakinan, dengan menerima kehadiran agama lain dan menyerahkan urusan perbedaan yang ada kepada Allah SWT (QS al Baqarah 62 dan 113, QS Al Imran 84, QS Hud 118-119, QS Saba’ 24-25, QS al Kafirun 1-6). Manakala orang-orang Yahudi begitu bengis dan fanatis menentang Rasullah, Al Qur’an mengakui keunggulan moral sebagian mereka seperti dalam QS  Ali Imran 75, 113-115 dan 199 serta QS al Maidah 83. Al Qur’an menolak saat orang-orang Yahudi meminta Nabi Muhammad SAW untuk menjadi hakim diantara mereka (QS al Maidah 43). Al Qur’an juga berbicara mengenai Injil (QS al Maidah 46 dan 47) (halaman 39)

Menurut lelaki kelahiran 15 Desember 1920 di al Mahmudiah, Alexandria, Mesir ini,  selama dasar pluralisme yaitu kebebasan bisa diterima, maka pandangan Islam terhadap pluralisme tidak berbeda dengan pandangan yang ada pada non Islam (halaman 90). Resensi :Otjih S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar