Kamis, 18 Juni 2015

Jual Novel Nagabumi jilid I dan II, Seno Gumira Ajidarma

Naga Bumi jilid I dan II ,Seno Gumira A
Rp 355.000 / bundel/ paket
Gramedia
Hardcover
Kondisi Baru, stok lama,

NAGABUMI JILID 1 (Jurus Tanpa Bentuk)
Penulisnya : Seno Gumira Ajidarma
NAGABUMI JILID 2 (Budha, Pedang & Penyamun Terbang)
Penulisnya : Seno Gumira Ajidarma
Penerbitnya : P.T Gramedia Pustaka (GM)
Dijual paket / bundel
Kondisi BAGUS, jilid I segel, jilid II tersegel

“Nagabumi II: Buddha, Pedang & Penyamun Terbang”, Seno Gumira Ajibarma, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.
Filed under: Resensi Buku — dongengfilm @ 3:52 am
Kelanjutan perjalanan Pendekar Tanpa Nama dari Indo Cina menuju daratan Cina. Banyak pendekar dan jenis ilmu bela diri baru, banyak ajaran filsafat baru, banyak wilayah baru, banyak bahasa baru tapi tetap tentang satu pendekar… sakti mandraguna yang terlahir tanpa nama.
“Nagabumi II: Buddha, Pedang & Penyamun Terbang” adalah contoh buku yang menunjukkan bacaan penulis yang teramat sangat banyak, kemudian diramu menjadi sumber ketika menuliskan sebuah cerita bersambung. Selain kekayaan bacaaan yang membuat kita berdecak kagum, teknik menyatukan aneka buku sejarah, filsafat dan peta bumi jaman kuna sungguh dahsyat!

Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk” – Mari belajar ulang sejarah dan bahasa Indonesia!
Filed under: Resensi Buku — dongengfilm @ 9:50 am
Resensi buku:
Seno Gumira Ajidarma. Nagabumi 1. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, November 2009, 815 halaman.
Di tengah wabah gaya penulisan “pluralis” (= bahasa Indonesia yang amburadul, percampuran istilah asing tanpa kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baku) dan epidemi penulisan singkatan (juga tanpa kaidah) demi pengiritan pulsa SMS yang menular ke penulisan status di aneka website gaul, kehadiran buku setebal 815 halaman berjudul “Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk” sangatlah menghibur hati.
Pada awalnya, tidaklah mudah membaca karya Seno Gumira Ajidarma ini. Dalam novel yang satu ini gaya bahasanya tidak lugas, terkesan berbelit-belit, menggurui karena terlalu banyak penjelasan dalam satu kalimat (panjang), dan jauh dari kegenitan bertutur atau upaya mempopulerkan gaya penulisan. SGA, begitu selalu ia menyingkat namanya, tampaknya justru merasa perlu untuk menjabarkan banyak hal secara rinci di dalam koridor menulis bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Bila prinsip tokoh utama buku tersebut, Pendekar Tanpa Nama, dalam mengarungi dunia persilatan selalu berpegang teguh pada pepatah “di atas langit ada langit” dan “gelombang yang di depan ditelan gelombang yang di belakang” maka pembaca buku ini harus berpegang pada prinsip “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.
Berbeda dengan karya-karya Dan Brown yang menggiring kita bergegas lanjut ke halaman-halaman berikut karena teknik pemecahan beberapa kejadian yang bersamaan waktu terjadinya, dibutuhkan konsentrasi dan ketekunan lebih untuk bisa melewati 100 halaman pertama “Nagabumi 1″ sebelum akhirnya kita terpincut hingga terbius bergegas membaca halaman-halaman selanjutnya.
Ya, buku ini memang tentang dunia persilatan di masa lampau. Kisahnya bercerita tentang riwayat hidup Pendekar Tanpa Nama mulai sejak ia dipaksa keluar dari pertapaannya setelah menghilang 25 tahun dari rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan. SGA mengambil pendekatan flashback. Adalah sang pendekar yang bertutur sebagai ‘aku’ melalui lembaran-lembaran lontar yang ditulisnya dalam persembunyian dari kejaran orang-orang yang ingin membunuhnya.
Ia bercerita mulai dari saat diasuh oleh Sepasang Naga dari Celah Kledung, perantauan (terpaksa) setelah ia ditinggalkan oleh orangtua asuh saat berusia 15 tahun, pengalaman pertempuran pertama hingga menjadi sakti mandraguna pada usia 25 tahun. Meski sudah menjadi pendekar sakti, ia tetap berprinsip tidak mau menjalani kehidupan pendekar karena lebih mementingkan untuk mengembara ke berbagai wilayah di kolong langit untuk mengenal aneka kehidupan masyarakat.
“Nagabumi 1″ yang sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Umum Suara Merdeka, Semarang dari 7 Januari 2007 sampai 11 Maret 2008 ini bercerita hingga Pendekar Tanpa Nama tiba di kerajaan Khmer. Pembaca pun harus sabar menunggu terbitnya Jilid 2.
Mengingat peristiwa di dalam buku ini terjadi pada masa Mataram Kuno, masa kekuasaan Wangsa Syailendra di abab ke VII Masehi, SGA terpaksa harus memperkenalkan banyak hal kepada pembacanya. Tidak banyak orang Indonesia yang kenal apalagi paham tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa (Yavadvipa atau Yavabhumipala). Apalagi sejarah masa agama Hindu dan Buddha masih berjaya sebagai agama resmi kerajaan.
Berapa banyak pembaca sampai dengan usia 55 tahun dewasa ini yang tahu tentang raja bergelar aneka Rakai dalam sejarah Mataram Kuno (Hindu dan Buddha)? Rakai Pikatan, Rakai Panunggalan atau Rakai Kayuwangi misalnya.
Umumnya mungkin kita pernah belajar tentang dinasti yang berkuasa yang dikenal dengan sebutan wangsa seperti Wangsa Syailendra yang membangun candi Borobudur atau Wangsa Sanjaya sebelum Wangsa Syailendra. Kalau bicara kerajaan Mataram, yang langsung terbersit di benak pun adalah Mataram Islam sebagai penerus kerajaan Islam di pantai pesisir utara pulau Jawa yang berhasil meruntuhkan kerajaan Majapahit.
Pelajaran sejarah di sekolah nasional tidak membahas masa tersebut secara mendalam karena terpaku pada kepentingan memperkenalkan sejarah modern Indonesia, sejarah penjajahan Belanda hingga Perang Kemerdekaan. Sejarah yang diharapkan bisa menularkan semangat perjuangan rakyat, rakyat yang berjuang mulai dari melawan penjajah Belanda, Jepang, hingga (ternyata) harus terus berjuang melawan kemiskinan setelah bangsa 65 tahun merdeka bulan Agustus mendatang.
Bagi kebanyakan orang Indonesia yang sekarang berusia 50-an tahun, pelajaran sejarah yang pernah mereka terima itupun harus diberi catatan: terutama sejarah kemenangan Orde Baru atas Orde Lama. Selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, sejak tahun 1966 kita semua dijejali (sampai termuntah-muntah) akan kehebatan Soeharto dan antek-anteknya dalam menggulingkan Soekarno dan Partai Komunis Indonesia.
Pada masa kekuasaan yang 32 tahun itu, banyak sejarawan yang terlalu sibuk mengarang sejarah demi kepentingan Orde Baru ketimbang menggali kebenaran sejarah itu sendiri. Bahkan sejarah perang kemerdekaan pun dimodifikasi untuk kepentingan Soeharto dan antek-anteknya.
Selain dari segi penulisan bahasa, novel “Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk” juga menyuguhkan banyak tambahan atau penyegaran data sejarah kepada para pembaca. Tidak hanya nama, tahun ataupun peta wilayah yang memudahkan kita dalam menyocokkannya dengan wilayah Indonesia saat ini, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan bermasyakat pada abad VIII dan IX Masehi. “Nagabumi 1″ berusaha memperkenalkan tradisi-tradisi yang ada saat itu.
Tidak hanya tradisi keseharian, tapi juga eksistensi di seputar kekuasaan dalam upaya melanggengkan kekuasaan. Penjabaran ini sebenarnya cukup klasik mengingat eksistensi kekuasaan sejenis juga masih ada dalam kehidupan bernegara saat ini.
Keseriusan SGA dalam data terlihat dari tebalnya daftar catatan kaki yang keseluruhan berjumlah 44 halaman, ditambah 3 (tiga) halaman daftar bacaan. Pembaca novel ini sebelum terbit adalah Edy Sedyawati, doktor arkeologi tamatan Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga adalah mantan Direktur Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999).
Meski sarat akan data sejarah dan arkeologi abad VII – IX, “Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk” pada dasarnya tetap sebuah novel silat. Novel yang menceritakan kehidupan para pendekar silat yang didefinisikan sebagai orang-orang yang terasing dan sengaja mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari dalam pencarian ilmu untuk mencapai pengetahuan sempurna. Mereka terdiri atas pendekar golongan hitam, golongan putih dan golongan merdeka.
Bila dalam masyarakat Hindu dikenal adanya empat kasta atau caturwarnna (Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra), kaum pendekar tidak termasuk di dalamnya. Karena penampilan mereka yang unik, aneh dan melarat di mata awam, mereka seringkali digolongkan sebagai candala. Candala adalah masyarakat dari lapisan sosial yang paling rendah, yakni di bawah sudra, jadi tergolong paria atau tanpa kasta.
Sebagai novel silat, SGA memperkenalkan berbagai jurus-jurus dahsyat. Jauh lebih sakti mandraguna bila dibandingkan dengan jurus-jurus yang ada dalam cerita silat Cina pada era keemasan penulis O.K.T., Gan K.L. ataupun Kho Ping Hoo misalnya. Kemampuan silat Pendekar Tanpa Nama jelas di atas kemampuan pendekar Bu Kek Siansu, tokoh yang paling sakti dalam seluruh karya Kho Ping Hoo.
Bayangkan saja, dengan jurus Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, Pendekar Tanpa Nama bisa membedakan berbagai jenis bunyi-bunyian di alam, baik ketika berpijak di darat maupun saat berenang di dalam air.
Kalau bicara tentang kecepatan gerakan pendekar, mereka tidak hanya bisa bergerak melebihi kecepatan suara tapi bahkan digambarkan sebagai melebihi kecepatan kilat. Tentunya di atas kemampuan ginkang para pendekar dalam serial O.K.T., Gan K.L. ataupun Kho Ping Hoo.
Apakah pernah ada jurus-jurus semacam itu? Hanya dongeng? Entahlah. “Novel Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk” sendiri menjelaskan bahwa karena hidup menyendiri, kehidupan para pendekar saat itu dianggap dongeng oleh masyarakat biasa.
Ada satu potongan kalimat dalam Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk (tampaknya bukan kutipan dari buku lain karena tidak ada catatan kakinya) yang sangat menarik. Ketika bertutur tentang aneka cerita yang ada dalam masyarakat mengenai kehidupan para pendekar, tertulis “dalam negeri seperti ini kita tidak dapat membedakan antara warta dan cerita…” Sangat akrab dengan kondisi sekarang, bukan?
Sengaja tidak disebutkan halamannya karena bila ‘pembaca yang budiman’ (mengutip cara SGA menyapa pembacanya) mengawali buku Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk dengan prinsip “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”, pembaca pasti akan menemukan potongan kalimat tersebut.

Catatan:
Tulisan ini juga tampil pada hari yang sama dalam Notes di akun facebook Tino Saroengallo.

1 komentar: