Selasa, 28 Juli 2015

Jual Buku Pembangunan Desa; Mulai dari Belakang Penulis : Robert Chambers

Jual Buku Pembangunan Desa; Mulai dari Belakang Penulis : Robert ChambersJudul : Pembangunan Desa; Mulai dari Belakang
Penulis : Robert Chambers
Harga  : Rp 55.000 TERJUAL
Penerjemah : Pepep Sudradjat
Pengantar  : M. Dawam Rahardjo
Penerbit   LP3ES, Cet. 1, Jakarta,1987
Tebal  : 314 hlm.
Ukuran     : 15 cm x 22 cm
Kondisi Bekas, langka, lumayan, sampul agak lusuh, isi cukup bersih


Dalam buku yang merupakan terjemahan ulang hasil karya Robert Chambers, mengulas habis permasalahan konsep pembangunan yang didominasi oleh kaum professional (kemudian disebutkan dalam buku ini ‘orang luar’) serta gagasan-gagasan luar biasa berupa otokritik terhadap biasnya pengetahuan dalam permasalahan pembangunan. Buku ini mengungkapkan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk dunia bermukim di pedesaan, telah menjadikan masalah pembangunan desa sebagai isu hanggat di berbagai Negara Dunia Ketiga, utamanya dalam pembangunan yang selalu berorientasikan pada pengentasan kemiskinan. Menurut Chambers, kemiskinan di daerah pedesaan dan orang miskin di negara-negara yang sedang terbelakang tercecer jauh dari kemajuan-kemajuan lain yang dicapai oleh negara-negara yang sedang berkembang. Pada saat ini ada 800 juta manusia di negara yang sedang berkembang yang terperangkap dalam ‘kemiskinan mutlak’. Kemiskinan mutlak ini, adalah suatu kondisi hidup yang ditandai oleh kurang gizi, tunaaksara, wabah penyakit, lingkungan kumuh, mortalitas bayi yang tinggi, dan harapan hidup yang begitu rendah, seakan-akan tidak pantas untuk martabat manusia. Kondisi hidup seperti ini sama dengan apa yang kami sebut di atas sebagai lingkaran setan kemiskinan. Kalau demikian halnya, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa itu terjadi. Chambers dalam bukunya memberikan beberapa alasan. Yaitu, mengapa sampai kemiskinan di daerah pedesaan sampai terlupakan atau ia sebut dengan istilah unperceived. Alasan utama adalah adanya prasangka.
Ada enam prasangka atau bias yang disebut oleh Chambers sebagai penyebab mengapa kemiskinan di pedesaan menjadi terlupakan: (1) prasangka spasial, (2) prasangka proyek, (3) prasangka kelompok sasaran, (4) prasangka musim kemarau, (5) prasangka diplomatis, dan (6) prasangka profesional. Prasangka-prasangka itu dapat diartikan sebagai metode bagaimana informasi tentang orang miskin itu diperoleh baik para peneliti pedesaan maupun para perencana dan pelaksana pembangunan.
Kemiskinan pedesaan atau orang miskin di desa tidak terlihat di tepi jalan aspal yang mulus dekat kota. Juga tidak akan ditemui pada jalan besar desa atau di pojok desa tempat orang bertemu. Kemiskinan dan orang miskin di desa berada jauh dari jalan-jalan aspal atau jalan utama desa yang tak terlihat oleh peneliti maupun perencana serta pelaksana pembangunan. Karena pengumpulan data tentang desa biasanya berhenti di tempat sepanjang lalan utama desa itu. Orang-orang yang dihubungi dan didatangi oleh para peneliti dan perencana pembangunan pedesaan adalah bukan miskin di suatu desa. Yang didatangi adalah kepala desa, petani maju, dan lain-lain, tetapi bukan orang miskin. Informasi dari orang-orang ini yang sering dianggap ‘data’ yang penting dalam persiapan bentuk merencanakan suatu proses pembangunan desa. Logis apabila pembangunan pedesaan kemudian melupakan orang miskin itu sendiri. Di samping adanya prasangka-prasangka tersebut, persepsi ‘orang luar’ (atau para peneliti dan perencana pembangunan) yang keliru terhadap orang miskin menyebabkan persoalan kemiskinan di pedesaan menjadi lebih unperceived.
‘Orang luar’ adalah sebutan bagi orang-orang yang menaruh perhatian terhadap pembangunan desa, tetapi dirinya sendiri bukan warga desa apalagi miskin. Kebanyakan dari mereka adalah kepala kantor dan staf lapangan dalam organisasi pemerintahan di Dunia Ketiga. Termasuk juga di dalamnya, para peneliti akademis, pegawai badan-badan pemberi bantuan, bankir, pengusaha, konsul­tan, dokter, insinyur, wartawan, ahli hokum, politisi, ulama, pendeta, guru, pelatih di lembaga pendidikan dan latihan, pekerja lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok profesional lainnya. ‘Orang luar’ tidak merasakan kemiskinan orang desa. Mereka tertarik dan terperangkap dalam kelompok inti pekotaan yang mengembangkan dan menyebarkan ilmu dan kepandaian sendiri sementara kelompok pinggiran (miskin) pedesaan tersisih dan terlupakan. Pengalaman langsung kebanyakan ‘orang luar’ tentang kehidupan di desa, terbatas pada kunjungan singkat yang dilakukan tergesa-­gesa, yang bukan ‘turun ke bawah’ tetapi ‘turisme pembangunan’. Banyak deskripsi tentang kelompok miskin yang diungkapkan dalam buku ini. Anatara lain factor-faktor tentang gambaran kemiskinan yang suatu rumah tangga, antara lain rumah tangga yang miskin (tidak memiliki kekayaan sama sekali), rumah tangga yang lemah jasmani (lebih banyak tanggungan daripada sumber pendapatan), rumah tangga tersisish dari arus (terisolasi dari hal-hal luar/akses dari luar), rumah tangga yang rentan (kurang memiliki persiapan untuk kebutuhan hari depan), dan yang terakhir adalah keluarga tidak berdaya (kelemahan pengetahuan sehingga dapat dimanfaatkan oleh kaum yang lebih kuat)
Orang luar selalu melihat bahwa orang miskin itu miskin karena mereka bodoh dan malas. Tetapi data empirik membuktikan, tak mungkin orang miskin itu bodoh dan malas sebab untuk survive justru mereka harus cerdik dan ulet. Amati, umpamanya, pola kerja kelompok gelandangan. Mungkin, mereka lebih kerja keras daripada seorang pegawai negeri yang merencanakan pembangunan pedesaan. Selain deskripsi-deskripsi atas kemiskinan serta paradigma pembanguanan model lama diatas, dalam buku ini Chambers memberikan alternatif untuk membuat pembangunan pedesaan lebih berorientasi pada aspirasi kelompok miskin. Alternatif itu adalah mengajak kelompok miskin dalam proses perencanaan. Robert Chambers mengajukan satu model pendekatan dan arah gerak pembangunan yang terbalik atau berlawanan dengan yang sudah sangat mapan dipraktikkan. Dengan gerakan ‘arus baliknya’ menganjurkan agar arus informasi pembangunan yang selama ini hanya mengikuti jalur satu arah dari atas ke bawah (one way-top down information flow) diganti dengan arus informasi yang lebih berimbang, yakni arus informasi dua arah dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas (two way top down – bottom up information flow).
Dengan tesis pembangunan desa ‘mulai dari belakang’, Chambers berasumsi bahwa yang menjadi prioritas dan pelaku utama pembangunan desa ialah masyarakat atau rakyat desa. Adapun langkah-langkah (metode,cara) dalam proses belajar terbalik yang ada di akhir Bab buku ini, yaitu (i) dengan duduk, bertanya dan mendengarkan artinya mencoba untuk terbuka dan member ruang antar warga dalam kelangsungan berpikir, peneliti juga harus senantiasa mau mendengar sebagi proses belajar. (ii) belajar dari orang yang paling miskin, artinya mencoba mendengarkan dan belajar bagaimana orang paling miskin yang biasanya berpengetahuan level bawah ini mampu bertahan hidup serta memahami sebagai titik awal untuk meningkatkan taraf hidup mereka. (iii) mempelajari pengetahuan teknis pribumi asli, artinya mencoba menyamakan kedudukan antara pengethauan peneliti dengan pengetahuan setempat dalam memikirkan hal-hal yang nantinya dibangun bersama-sama. (iv) penelitian dan pengembangan bersama, artinya mencoba menganalisis masalah, menggali potensi secara bersama-sama untuk membuat suatu gagasan meningkatkan taraf hidup mereka sesuai kondisi yang dipunyai. (v) belajar sambil bekerja, artinya mencoba belajar serta menerapkan langsung praktek dalam proses bekerja secara langsung. (vi) permainan simulasi, artinya peneliti mencoba untuk belajar dan menghayati kehidupan orang miskin dengan benar-benar menjadi orang miskin. Dengan ‘belajar terbalik’ Chambers ingin menjadikan desa atau orang desa sebagai pusat pembelajaran ilmu pembangunan desa yang sah dan otentik.
Review Buku
‘Catatan Proses dan Sebuah Alternatif : Pemetaan Kemiskinan di Desa, Kabupaten Boyolali’
Penulis : Akbarudin Arif,dkk
Buku ini diterbitkan sebagai sebuah laporan atas upaya untuk memberikan jawaban salah satu dari tiga premis asumsi untuk menemukan model pemetaan dan strategi penanggulangan kemiskinan dengan melibatka masyarakat. Jika selama ini masyarakat selalu diposisikan sebagai obyek , maka pada buku ini merupakan hasil sebuah proses dimana masyarakat dicoba untuk diposisikan sebagai subyek atas alternative pemecahan masalah kemiskinan di masing-masing desa. Buku ini berisi penggalian terhadap pengetahuan warga mengenai konsep kemiskinan yang mereka ketahui, dan mencoba memfasilitasi pengetahuan masyarakat terhadap pengetahuan tersebut kedalam penanggulangan kemiskinan yang mendera mereka. Dalam buku ini, meyakini bahwa seharusnya proses demokratisasi harusnya berkolerasi positif dalam pengentasan kemiskinan. Karena didalam demokrasi, bukan lagi menempatkan masyarakat menjadi obyek, akan tetapi menjadikan rakyat sebagai subjek atas pembangunan. Akan tetapi pada kenyataanya di negeri ini masih belum bergeser ke pola lama, yaitu top down bukan bottom up. Penentu kemiskinan, penentuan objek kemiskinan, penyusunan program pengentasan kemiskinan masih cenderung di dekte oleh pemerintah. Bukan berarti pola ini tidak bermanfaat, akan tetapi pola ini mempunyai beberapa kelemahan:
Bias latar belakang
Bias pendefinisian yang berimplikasi pada bias penentuan obyek
Rendahnya aspek pemberdayaan terhadap masyarakat dan si miskin
Terkadang tidak singkron dengan situasi lokalnya
Rendahnya pemberdayaan lembaga lembaga yang ada di struktur bawah
Terjadinya pelanggengan sub-ordinasi structural.Selalu menempatkan si miskin sebagai obyek kebijakan dan bukan sebagai subyek dalam penyusunan program kebijakan. Dalam buku ini mencoba untuk melakukan sebuah pendekatan yakni menemukan model pemetaan dan strategi penanggulangan kemiskinan berbasis warga sebagai sebuah alternative. Lokasi yang dipilih adalah desa Bangak, desa Banyudono dan desa Teras kabupaten Boyolali.
Dalam buku ini, menjelaskan bahwa mengenali kemiskinan dan mengenal siapa itu si miskin ternyata tidak mudah. Apalagi mendefinisakanya dan kemudian memetakan siapa sebenarnya si miskin itu. Berbeda dengan pendekatan Bradley R. Schiller yang menulis the economic of provety and discrimination, yang mengunakan pendekatan absolute approach dan relative approach dalam mengenal kemiskinan dan menentukan siapa si miskin. Dalam buku ini pendekatan yang digunakan dengan melibatkan unsur warga, sebagai subyek kemiskinan itu sendiri. Dengan pengertian sederhana, yaitu kemiskinan itu pasti ada sebabnya. Jika sebab itu bisa ditemukan dan diharapkan akan mampu mengentaskan dirinya dari kemiskinan itu sendiri. Dengan melakukan beberapa kali FGD (focus group discussion) di masing-masing RT ditemukan 8 tahapan penanggulanagan kemiskinan berbasis RT,sbb :
Mendefinisikan dengan mendiskusikan dan mengkritisi program-program penanggulangan kemiskinan yang ada. Tahap awal dalam mengenali kemiskinan dengan mendiskusikan program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan dimasing-masing desa. Lalu mencoba mengukur sejauh mana program ini berjalan serta melihat ke efektifan atas program-program tersebut.
Menentukan akar kemiskinan. Membagi kemiskinan melalui akar penyebab, yaitu kemiskinan karena ekonomi, kemiskinan karena pendidikan serta pengetahuan yang rendah, kemiskinan karena factor kesehatan, kemiskinan karena sikap mental yang cenderung ke gaya hidup, kemiskinan sarana dan prasarana, dan yang terakir adalah kemiskinan yang disebabkan akses akan program pemerintah.
Membuat definisi keluarga miskin per akar. Menentukan definisi keluarga miskin melaluiakar yang disebutkan diatas. Bagaimana karakteristik kemiskinan yang melanda dimasing-masing desa dan melihat kecenderunganya dengan melihat aspek-aspek pengetahuan warga.
Maaping/memetakan keluarga miskin dalam komunitas RT. Membuat peta distribusi sebaran kemiskinan di masing-masing komunitas keluarga. Indicator nya di dapat dari akar-akar kemiskinan diatas.
Mengukur potensi dan kelemahan di tiap KK. Mendiskusikan sumber daya apa saja yang dimiliki di masing-masing desa. Memetakan kebutuhan warga, dengan melihat potensi-potensi yang ada.
Membuat visi dan misi secara kolektif. Penyusunan visi misi penangulangan kemiskinan adalah pemahaman konsep dan bagaimana cara merumuskanya. Visi disusun atas sesuatu yang nyata pada saat ini. Visi dimasing-masing desa akan berbeda, karena keadaan yang diinginkan sangatlah beda dan diseuaikan dengan temuan-temuan serta kesepakatan masing-masing warga. Sedangkan misi adalah strategi untuk mencapai visi tersebut, dengan melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau hambatan.
Menyusun program aktifitas. Menyusun beberapa program sesai dengan kesepakatan pada masing-masing warga, RT Tegalharjo memilih untuk beternak bebek, ini didasar potensi yang dimiliki atau ketrampilan yang dimiliki warga yaitu beternak bebek dan sumber alam yang memadahi. Sedangkan dilain RT ingin membuat bank RT, atau simpan pinjam. Dengan alasan dana akan bisa dipakai untuk cadangan kebutuhan dan mampu dinikmati oleh banyak orang dengan cepat.
Menyusun strategi monitoring dan evaluasinya. Monitoring dan evaluasi masing-masing program dilakukan oleh warga sendiri, dengan mekanisme yang disusun oleh warga sendiri berdasarkan kesepakatan.
Model ini diyakini menjanjikan dinamika yang lebih hidup jika dilihat dari situasi yang dipelajari, situasi yang diproyeksikan dan strategi pecapainya yang dibawah control warga sendiri. Artiya ada pergeseran strategi kepemilikan program, dari yang biasanya pemerintah ataupun program lembaga lain yang menyusun untuk menjadi program warga. Model ini mengutamakan aspek pemberdayaan langsung, dengan memberikan kepercayaan sepenuhnya bahwa sebenarnya rakyat biasapun mempunyai kemapuan untuk mengatasi maslah yang mereka hadapi. Pennanggulanagan akar ekonomi masih menjadi arus utama dari opini warga. Walaupun ada keswadayaan warga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak utamanya soal fasilitas pengetahuan, ketrampilan, dan pendanaan, sehingga bisa terjadi perceatan kesejahteraan. Catatan dari proses kegiatan ini adalah perlunya desa untuk proaktif dalam mengakses anggaran public dari kabupaten misalnya, sehingga lebih banyak anggaran yang bisa dikelola langsung oleh masing-masing desa. Pada giliranya warga local juga perlu proaktif membangun mekanisme akses anggaran public yang ada di desa. Model ini masih perlu diperbaiki, misalkan pada tahapan penggalian keinginan dari masyarakat yang seharusnya menjadi penggalian kebutuhan masyarakat.
Buku :
Chambers Robert. PEMBANGUNAN DESA (Mulai Dari Belakang). 1983. LP3S : Jakarta. Penerjemah : Pepep Sudradjat
Arif Akbarudin. Catatan Proses dan Sebuah Alternatif : Pemetaan Kemiskinan di Desa, Kabupaten Boyolali. 2005. LeSKAP : Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar