Senin, 16 Juni 2014

Sell Books > Buku TEMPUTN, Myths of the Benuaq and Tunjung Dayak

Jual Buku TEMPUTN; Myths of the Benuaq and Tunjung Dayak  Michael Hopes, Madrah, Karaakng,  Penerbit Puspa Swara dan Rio Tinto Foundation
Buku TEMPUTN; Myths of the Benuaq and Tunjung Dayak
Michael Hopes, Madrah, Karaakng Harga Rp 49.000
Penerbit Puspa Swara dan Rio Tinto Foundation
Terbit September 1997
Ukuran 14x21
Tebal 199hlm
Bahasa : Inggris
Kondisi Stok Lama, Bagus

....mitologi penciptaan alam semesta yang dimiliki suku Dayak-Benuaq dan suku Dayak-Tunjung di Pulau Kalimantan.
Seperti yang gue dah bilang sebelumnya, karena mereka belom mengenal bahasa tulisan, jadi mitologi yang keren ini belom dialihkan ke tulisan, jadi masih dinyanyiin. Beruntung seorang bule, namanya Michael Hopes, pernah meneliti mitologi ini dan mengalih-tulisanin mitologi yang hingga saat ini masih dinyanyiin itu. Gue beruntung nemuin tulisan die. Berikut ini adalah nyanyian suku Dayak-Benuaq & suku Dayak-Tunjung tentang asal mula terciptanya alam semesta, yang berhasil ditulis dalam bahasa Inggris oleh Michael Hopes, dalam bukunya Temputn: Myths of the Benuaq and Tunjung Dayak (1997):
In the beginning, before ever there was a world, there was a vast and empty space which was blacker than the darkest night. Within this space there was, it is said, a web which swayed slowly back and forth as though blown by a gentle breeze. Perched within this web was a giant bird called Beniak Lajang Langit-‘Wild Eagle of the Skies’. On the back of Beniak Lajang Langit there stood a spirit known as Wook Ngesok, his arms stretched out in front of him, his thumbs almost touching. On the left shoulder of Wook Ngesok was a place called Belikutn Tana, Bengkolokng Langit, literally, ‘A Handful of Earth; a Bulge of Sky’. Before and below this constricted place was one of Wook Ngesok outstretched arms, in the form of a long rock called Batuq Ding Dingkikng. On the right shoulder of Wook Ngesok was Tana Kuasa, Bengkolokng Tana, ‘The Land of Power, a Bulge of Earth’. In front of this place stretched the other long arm of Wook Ngesok in the form of a rock known as Batuq Rangkang Bulau…At Belikutn Tana, Bengkolokng Langit there grew eight Potukng Reyus trees and near them lived a family, eight generations of them together. The oldest couple were Itak (Grandmother) and Kakah (Grandfather) Jiur Jemputn (Black Shadow)…and finally, in the eighth generation, their son Imang Mengkelayakng… At Tana Kuasa, Bengkolokng Tana, there grew eight Nancang Suyatn trees, and by them dwelt another family, also of eight generations. The oldest couple were Itak (Grandmother) and Kakah (Grandfather) Diang Denapm (Blackest Darkness)…and finally, the child of the last couple, a woman named Lolang Kintang…so by chance the two (Imang and Lolang) met…they might as well marry…they live together…they made…a house which spanned the distance between the ends of the rocks, at the place thereafter called Batuq Ding Dingkikng Leputukng Rankang Bulau...
(Madrah & Karaakng 1997:20-29).
Ini terjemahannye dalam bahasa Indonesia:
…sebelum segalanya ada, terdapat suatu ruang kosong yang sangat luas yang gelapnya lebih pekat daripada malam. Di dalam ruang ini terdapat suatu sarang burung raksasa, yang melayang kesana-kemari, ditiup angin sepoi-sepoi. Di dalam sarang itu terdapat ‘Elang Raksasa Langit’ (Beniak Lajang Langit). Di atas pundak elang itu terdapat suatu ruh yang disebut Wook Ngesok. Wook Ngesok memiliki dua lengan berupa batu karang; lengan kanannya disebut Batuq Rangkang Bulau dan lengan kirinya disebut Batuq Ding Dingkikng.

Di bahu sebelah kiri Wook Ngesok terdapat suatu tempat yang disebut ‘segenggam bumi’ (Belikutn Tana) dan ‘segundukan langit’ (Bengkolokng Langit), sedangkan di bahu sebelah kanannya terdapat tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan’ (Tana kuasa) dan ‘segundukan bumi’ (Bengkolokng Tana). Di tempat yang disebut ‘segenggam bumi dan segundukan langit’, tumbuhlah delapan batang pohon Potukng Reyus. Di dekat pepohonan itu, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi; semuanya hidup dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan di tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan dan segundukan bumi’, tumbuhlah delapan batang pohon Nancang Suyatn. Di dekat pepohonan itu, hidup pulalah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi; semuanya juga hidup dalam waktu yang bersamaan. Generasi kedelapan dari keluarga yang hidup di bahu kiri Wook Ngesok adalah seorang lelaki bernama Imang Mengkelayakng, sementara yang hidup di bahu kanannya ialah seorang perempuan yang bernama Lolang Kintang. Mereka berdua menikah dan membangun sebuah rumah besar yang luasnya sebatas Batuq Rangkang Bulau dan Batuq Ding Dingkikng…
Abis alam semesta tercipta, maka manusia pun lalu tercipta. Gimana proses terciptanya manusia? suku Dayak-Benuaq nganggap manusia sekarang adalah keturunan dari dua keluarga yang pertama kali hidup di bahu kanan dan di bahu kiri suatu roh yang disebut ‘Wook Ngesok’. Generasi kedelapan dari keluarga yang tinggal di bahu kanan adalah seorang gadis bernama Lolang Kintang, sedangkan generasi kedelapan dari yang tinggal di bahu kiri adalah seorang perjaka bernama Imang Mengkelayakng. Gadis dan perjaka itu kemudian menikah dan beranak-pinak.
Walaupun waktu itu bumi dan langit telah diciptakan, trus dipisah oleh ‘Sang Ibu Pintar Lidah’ (Ayakng Siluq Urai) dan ‘Sang Putra Bijak Pertimbangan’ (Tataau Junyukng Ayus), tapi semua keturunan Imang lebih suka hidup di langit dan tak satupun yang mau hidup di bumi. Menyadari hal itu, maka ‘Sang Ibu Pintar Lidah’ dan ‘Sang Putra Bijak Pertimbangan’ mengumpulkan sisa-sisa bahan dari pembuatan bumi dan langit, lalu mereka menyuruh ‘Sang Putri Komakng Lolakng’ dan Potek Telose Sie untuk membuat suatu sosok manusia dari sisa bahan langit dan bumi tadi, yakni, manusia yang kelak mau mendiami bumi. ‘Sang Putri Komakng Lolakng’ dan Potek Telose Siepun membuatnya. Abis itu, sosok manusia itu ditempatkan di dalam segulung kain, lalu digoyang-goyang ke kiri dan ke kanan dan menghadap matahari terbit. Tiba-tiba sosok manusia itu ngegerak-gerakin tangan dan kakinya, lalu mengeluarkan suara seperti suara nyamuk. Lama-lama, sosok itu berubah bentuk dan kian besar, mulai bisa duduk dan ketawa, lalu berdiri dan berjalan, dan akhirnya ia bisa ngomong. Manusia pertama yang mendiami bumi adalah seorang berkelamin lelaki yang diberinama ‘Tamarikukng Langit’.
Tamarikukng hidup sendirian di bumi. Suatu hari, terbersit satu gagasan dalam benak Tamarikukng untuk mendapatkan seorang teman. Die matahin salah satu tulang iga sebelah kirinya sendiri, lalu melemparnya ke arah bahu kanannya. Sejak itu, Tamarikukng tidak mengetahui kemana perginya tulang iganya itu. Abis tujuh hari ngitarin bumi sendirian, nampaklah sesosok wanita di kejauhan. Wanita itu sedang dalam posisi merangkak, kaki dan tangannya masih menempel di dalam tanah, di tempat ia tumbuh. Wanita itu bernama Ape Tempere. Tidak sabar untuk memperistrinya, Tamarikukng mencoba menarik Ape dari tanah, tapi tak berhasil, lalu ia memotong tangan dan kaki Ape dengan pisaunya. Setelah berhasil mendapatkan Ape, Tamarikukngpun membersihkan sisa tanah yang masih menempel di tangan dan kaki Ape, yaitu, tanah yang belum menjadi daging sempurna. Tanah itu kemudian disebut ‘Tanah Putus Mate’ (Tanah yang Meniscayakan Kematian). Lantaran tanah itu tidak dibiarkan berubah menjadi daging, maka manusia sejak itu mengalami kematian. Jika Tamarikukng sabar menunggu tanah itu menjadi daging Ape yang sempurna, maka keturunan mereka pasti tidak mengalami kematian. Karena itu pulalah, jika manusia mati, ia harus dikubur di dalam tanah, untuk kembali ke asalnya semula.
(Michael Hopes, Madrah & Karaakng, h. 20-31) . by Ferry Hidayat





Tidak ada komentar:

Posting Komentar