Buku Cultural Studies, Teori dan Praktik
Penulis: Chris Barker
Harga: Rp. 85.000TERJUAL
Penerbit: Kreasi Wacana
Tahun : 2005
Tebal: 580 hlm
Ukuran 16 x 23cm
Kondisi: Stok lama ,bagus
Minat please sms.wa. 0896-6116-2026 BBM 3300A029
Istilah cultural studies relatif masih baru. Berasal dari Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) Universitas Birmingham, Inggris, yang berdiri pada 1964. Awal kemunculannya berpijak pada tulisan para penggagasnya: Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thomson, dan Stuard Hall. Pada 1972, untuk meletakkan cultural studies dalam wacana intelektual Inggris, CCCS menerbitkan edisi perdana Working Papers in Cultural Studies.
Terjemahan bebas cultural studies adalah kajian tentang budaya. Tetapi para ilmuwan berbeda pendapat soal definisi "budaya". Ada yang mengatakan sebagai abstraksi perilaku masyarakat. Definisi budaya tertua dari E.B. Taylor menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan lain yang dimiliki manusia.
Menurut Clifford Geertz, budaya hanyalah serangkaian cerita mengenai diri kita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri. Sedangkan Raymond Williams, salah satu peletak dasar cultural studies, mengatakan bahwa budaya meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan hubungan sosial, dan bentuk komunikasi anggota masyarakat.
Berdasarkan definisi itu, budaya meliputi hampir segala bidang. Begitu juga cultural studies. Ia tak memiliki objek kajian yang baku. Maka, cultural studies berbeda dengan disiplin keilmuan konvensional, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum, fisika, biologi, atau kimia yang punya batasan wilayah subjek yang jelas.
Menurut Chris Barker, profesor ilmu komunikasi di University of Wollongong, Australia, yang menulis buku ini, cultural studies memiliki sifat antidisiplin sekaligus multidisiplin. Dikatakan antidisiplin karena cara penyelidikannya tak mengikuti aturan standar seperti diterapkan pada disiplin ilmu lain. Disebut multidisiplin karena ia mencakup banyak hal, berisi berbagai perspektif yang bersaing.
Dalam wilayah akademis, cultural studies mempelajari kebudayaan sebagai praktek pemaknaan dalam konteks kekuasaan sosial. Dalam operasinya, ia menggunakan beragam teori, termasuk marxisme, strukturalisme, pascastrukturalisme, dan feminisme. Dengan metode yang eklektis, cultural studies menegaskan posisionalitas semua pengetahuan, termasuk dirinya sendiri, yang berputar di sekitar ide-ide kunci seperti budaya, praktek pemaknaan, representasi, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca, dan konsumsi.
Maka, wajar jika banyak akademisi tak mengakui cultural studies sebagai disiplin ilmu. Ia konvensi bagi usaha intelektual yang menggeluti berbagai persoalan dari banyak posisi teoretis dan politis yang berbeda-beda. Kelebihannya, ia menawarkan fleksibilitas untuk bergerak dari disiplin ke disiplin dan dari satu metodologi ke metodologi lain sesuai minat, kebutuhan, dan motivasi.
Walaupun berpredikat sebagai praktek intelektual yang multidisiplin, antidisiplin, dan sulit terdefinisi, Barker mengklaim bahwa kajian ini bukan berarti tak memiliki acuan sedikit pun. Ia memberikan beberapa karakteristik. Pertama, relasi kuasa. Cultural studies bertujuan mengungkapkan bagaimana hubungan kekuasaan memberikan dampak luas dan membentuk praktek kebudayaan.
Contoh sederhana bisa dilihat pada relasi antara budaya seni dan kelas. Barker mengikuti Pierre Bourdieu (1984) yang secara saksama menunjukkan hubungan kompleks antara kekuasaan sosial dan penggunaan produk kebudayaan oleh kelompok sosial yang berbeda. Bourdieu memperlihatkan bagaimana pengunjung galeri seni terbagi menurut tingkatan kelas dan pendidikan.
Galeri seni, bagi Bourdieu, diperuntukkan bagi kelas berbudaya dengan hak-hak istimewa. Selanjutnya, perbedaan hak ini dilegitimasi dengan pembedaan cita rasa antara yang baik dan yang buruk, antara yang diperuntukkan bagi kelas pekerja dan kelas konglomerat.
Kedua, cultural studies tak independen, terpisah, dan menyendiri dari budaya, melainkan inheren dalam objek kajiannya. Ia bertujuan memahami kompleksitas budaya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan diri. Ketiga, cultural studies memiliki fungsi ganda. Selain sebagai objek studi, juga sebagai media tindakan kritisisme politik. Tujuannya menjadi usaha intelektual sekaligus usaha pragmatis.
Keempat, cultural studies antispesialisasi. Ketika sifat solidaritas organik masyarakat modern menuntut adanya spesialisasi dan pemilahan ilmu pengetahuan, ia malah melakukan penyatuan dan mengatasi perpecahan itu. Ia ingin membentuk identitas dan kepentingan bersama dalam hubungan antara yang mengamati dan yang diamati, antara yang mengetahui dan yang diketahui.
Karakteristik terakhir, dengan melakukan evaluasi moral atas masyarakat modern, cultural studies bertujuan mengubah struktur dominasi, terutama dalam struktur masyarakat kapitalis industrial. Ia bukanlah tradisi intelektual bebas nilai yang mengabaikan atau mendukung penindasan. Melainkan tradisi yang memiliki komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan terjun ke dalam praktek politik.
Bagi siapa saja, buku yang terbagi dalam tiga bagian ini punya banyak kelebihan. Di antaranya, penyajian yang tertata dan mudah dicerna.
Tasyriq Hifzhillah, Aktivis Lingkar Studi Pembebasan Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar