Tampilkan postingan dengan label Umberto Eco. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Umberto Eco. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Agustus 2014

Jual Buku Tamasya dalam Hiperealitas /Umberto Eco

Jual Buku Tamasya dalam Hiperealitas, oleh: Umberto Eco, Penerbit : JalasutraJudul Buku Tamasya dalam Hiperealitas
oleh: Umberto Eco

Harga Rp 89.000 TERJUAL MAKASAR 15/1
Penerbit : Jalasutra
Edisi : Soft Cover
ISBN-13 : 9789793684666
Tgl Penerbitan :2004-00-00
Bahasa : Indonesia
Halaman : 455
Ukuran :  150x210x0 mm

Kondisi : -Baru.rP 89.000
              -Seken  Rp 65.000

Sinopsis Buku:
"Tamasya dalam Hiperealitas menawarkan sekumpulan tulisan yang gemilang karya salah seorang pemikir yang paling berpengaruh pada masa kita."
LOS ANGELES TIMES

Umberto Econovelis, pakar semiotika, dan kritikus budaya yang luar biasa dalam buku ini memperlihatkan kecerdasan, pembelajaran dan kecemerlangan inteligensi sebagaimana yang membuat para pembaca The Name of the Rose dan Foucaults Pendulum merasa begitu bergembira. Cakupan tulisan Eco dalam buku ini sangat luasmulai dari budaya pop hingga filsafat, dari Peoples Temple hingga Thomas Aquinas, dari Casablanca hingga Roland Barthes.

Wawasan Eco dalam esai-esai ini sangat tajam, tak jarang bernada ironis, dan seringkali benar-benar lucu. Mengutip San Francisco Chronicle, Eco memiliki "begitu banyak wawasan untuk mengajari kita semua tentang pentingnya (tidak menyebutkan kepuasan) observasi dan kritisisme, karena kedua perkara kembar inilah yang mengistimewakan dan, sebagaimana dikatakannya, mewajibkan seluruh umat manusia yang berpikir"
***
"SEPERTI YANG TELAH kukatakan dalam wawancara, aku mengetahui tentang masa sekarang ini hanya melalui layar televisi, sebaliknya aku mempunyai pengetahuan langsung tentang Abad Pertengahan." Pernyataan Eco tersebut memang terkesan bernada ironis atau parodi untuk seseorang yang hidup di salah satu negara Eropa dan mengalami zaman modern. Namun, ungkapan-ungkapan bernada seperti itu pulalah yang akan kerap dijumpai dalam buku ini. Eco memang seorang pakar Abad Pertengahan, dan pernyataannya tersebut menandaskan bahwa pengetahuannya tentang Abad Pertengahan didapatnya secara formal dan berijazah. Sedang pengetahuan dia tentang modernitas, popular culture, dan berbagai pengetahuan ensiklopedik lainnya, lebih banyak dia dapatkan dan kembangkan secara informal dan memperoleh pengakuan internasional.

Buku Tamasya dalam Hiperealitas ini merupakan buku Eco yang paling banyak dikutip oleh peminat cultural studies hingga saat ini, dan merupakan buku Eco ketiga yang diterbitkan oleh Jalasutra setelah Dua Khotbah dari Iman dan The Name of the Rose. Dalam buku ini Eco banyak mengkritisi berbagai hal dengan nada parodi, ironi, terkadang mengejek, dan, tanpa terduga, tiba-tiba saja dia melemparkan lelucon yang membuat geli. Dalam suatu kesempatan, Eco sendiri pernah menyatakan bahwa...

"Saat ini saya menyadari bahwa banyak praktek pembacaan dekonstruktif baru-baru ini seakan terinspirasi oleh parodi saya. Misi parodi ini adalah: parodi tidak boleh takut beranjak terlalu jauh. Jika tujuannya benar, parodi hanya menggembar-gemborkan sesuatu yang nantinya akan dihasilkan oleh orang lain, tidak malu, dengan tenang dan keseriusan yang tegas."

Topik yang dibahasnya dalam buku ini pun merentang mulai dari Tuhan hingga Superman. Cara berpikirnya memang agak divergen, dan seringkali silang-menyilang dengan berbagai topik lainnya yang tak terbayangkan seandainya kita juga membicarakan topik yang serupa. Eco seperti sedang memamerkan pengetahuan ensiklopediknya kepada para pembaca.

Istilah hiperealitas yang digunakan Eco dalam buku ini akan sangat mudah menggiring pikiran pembaca kepada sosok Jean Baudrillard yang sangat identik dengan isu tentang hiperealitas. Agak sulit untuk memastikan siapakah pencetus orisinal dari istilah ini, karena keduanya memang hidup di zaman yang sama dan menulis pada zaman yang bersamaan juga. Namun, selain itu, ada satu hal yang menarik, bahwa kedua pemikir ini tidak menyinggung atau bahkan mengkritisi pemikiran satu sama lain. Seperti mengesankan bahwa keduanya tidak mengetahui (atau tidak mau tahu) keberadaan satu sama lain di dunia pemikiran. Selain itu, ada perbedaan yang cukup signifikan tentang definisi hiperealitas menurut Baudrillard maupun Eco, sebagaimana yang diuraikan oleh Yasraf Amir Piliang dalam buku Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika (Jalasutra, 2004, hlm. 58-59), bahwa...

"...Simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian khusus, yang disebutnya simulakrum sejati (pure simulacrum), dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri, atau it is its own pure simulacrum." Dalam hal ini, salinan dan asli, duplikasi dan orisinal, model dan referensi adalah objek atau entitas yang sama. Hanya simulakrum sejati seperti ini yang merupakan bagian dari apa yang disebut Baudrillard hiperealitas.

Umberto Eco, di dalam Travels in Hyper-reality, menggunakan istilah-istilah copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan apa yang disebutnya hiperealitas. Bagi Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan atau imitasitepatnya simulacrumdari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan di dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Jadi, Eco lebih melihat fenomena hiperealitas sebagai persoalan penjarakan (distanciation), yaitu obsesi menghadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, terkubur (seperti dinosaurus) dalam rangka melestarikan bukti-buktinya, dengan menghadirkan replika, tiruan, salinan dan imitasinya. Akan tetapi, ketika masa lalu tersebut dihadirkan di dalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak ...(seakan-akan) lebih nyata dari kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah kondisi ... meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original).

Tampak di sini, ada sedikit perbedaan antara Baudrillard dan Eco dalam memaknai hiperealitas. Eco, berdasarkan penjelasan di atas, masih menemukan di dalam fenomena hiperealitas adanya prinsip representasi (representation), dengan perkataan lain, bahwa sebuah salinan atau tiruan masih merupakan representasi dari rujukan atau referensinya. Sebaliknya, Baudrillard secara lebih tegas dan eksplisit membedakan representasi dan simulasi sebagai konsep yang bertentangan secara diametrikal. Baginya, simulasi kebalikan dari representasi. Dan, disebabkan dunia hiperealitas adalah produk sejati dari simulasi, maka representasi bukan merupakan prinsip pembentuk dunia hiperealitas. Sebagaimana yang secara tegas dikatakannya, sesuatu itu dikatakan simulasi, selama ia berlawanan dengan representasi. Bila representasi masih menggantungkan diri pada sesuatu di luar dirinya sebagai rujukan atau referensinya; simulasi, sebaliknya, tidak merujuk pada sesuatu di luar dirinya, malahan ia menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi. Tampak di sini, pengertian hiperealitas Baudrillard jauh lebih radikal dibandingkan Eco

Menariknya lagi, tulisan Tamasya dalam Hiperealitas memang tak ubahnya catatan perjalanan Eco di daratan Amerika dan terkesan sengaja mengejek bangsa tersebut yang memang memiliki tingkat kemajuan teknologi yang sangat tinggi, sehingga mampu membuat berbagai tiruan yang presisi. Eco seperti mempertanyakan akar budaya macam apakah yang mendasari bangsa ini untuk membuat tiruan dari berbagai puncak budaya dan mahakarya Eropa dengan detail yang mati-matian. Bagaimana Eco juga menyindir cita rasa estetis para OKB (Orang Kaya Baru) Amerika yang norak akan arsitektural. Hal seperti ini ternyata dialami juga oleh Baudrillard ketika pergi mengadakan perjalanan keliling Amerika, dan kemudian dituangkannya berbagai kesan tersebut dalam bukunya yang berjudul America, seperti diungkapkannya bahwa...

"Amerika bukanlah impian ataupun realitas. Amerika adalah hiperealitas. Amerika itu hiperealitas karena merupakan utopia yang sejak awal sudah berlagak seolah ia telah mencapainya. Segala sesuatu di sini riil dan pragmatis, namun dari sini juga impian tercipta. Boleh jadi sejatinya Amerika hanya bisa dilihat oleh seorang Eropa, sebab dialah yang akan menemukan simulakrum sempurna di siniimanensi dan rekaman material dari segenap nilai. Orang-orang Amerika sendiri, tidak mempunyai sense terhadap simulasi. Mereka sendirilah simulasi dalam tahapnya yang paling maju, namun mereka tak punya bahasa untuk menjelaskannya, karena mereka sendiri adalah modelnya. Walhasil, mereka adalah objek ideal bagi analisis atas berbagai varian yang mungkin dari dunia modern. Bahkan tak kurang dan tak lebih ketimbang masyarakat primitif pada masanya. Kehebohan legenda dan analisis yang sama yang membuat kita berminat pada masyarakat zaman dahulu itu memaksa kita untuk melihat ke arah Amerika. Dengan hasrat dan prasangka yang sama."

Foucault pun pernah merasakan keterkejutan yang sama ketika pertama kali mengunjungi Amerika, hanya saja Foucault lebih mengamini kebebasan yang ditawarkan Amerika; misalnya, bagaimana Foucault sangat terkesan dengan banyaknya bar dan klab malam khusus kaum gay, juga S&M (Sadomasokisme dan Masokisme), bagaimana dia diperkenalkan dengan LSD, dan pulang ke Prancis dengan membawa oleh-oleh berupa berbagai alat untuk praktek seksual S&M. Namun, setidaknya dari contoh pengalaman ketiga pemikir ini tetap tampak suatu gejala gegar budaya dari Eropa yang relatif konservatif ke Amerika yang liberal. Terlebih mengingat latar belakang bahwa sebagian besar filsafat lahir di daratan Eropa, kecuali pragmatisme yang lahir di Amerika dan menjadi ciri khas watak berpikir orang Amerika pada umumnya.

(Sekadar intermezo, orang Indonesia pun sangat lazim mengalami gegar budaya tersebut ketika pertama kali berkunjung ke Amerika. Namun, mungkin, bedanya reaksi orang Eropa dan orang Indonesia adalah dalam hal refleksinya. Tampaknya, orang Eropa akan pulang ke kampungnya dengan setumpuk renungan filosofis tentang kebudayaan untuk dituliskan, sementara orang Indonesia akan pulang dengan perilaku yang "lebih Amerika dari orang Amerika" untuk dipamerkan dalam pergaulan sehari-hari.)

Refleksi Eco ini memang cukup menyengat bagi orang Amerika yang membacanya, misalnya sebagaimana yang dikomentari oleh Tansy Couture, seorang penulis Amerika, bahwa...

"Ya, hiperealitas memang bagian dari gaya hidup Amerika, tetapi bukan kami yang mesti dipersalahkan atas hal itu, beberapa orang pun berupaya menjauhi citra itu. Sementara nyaris seisi dunia memandangi Amerika dan cemburu pada kemampuan hiperealitas mereka, Eco membuat orang-orang Amerika malu pada diri mereka sendiri karena memuja-muja sejarah bangsa Eropa. Orang Amerika mesti bangga atas hiperealitas mereka; tak ada bangsa lain yang mampu mencapai apa yang kita punyai dengannya. Inilah yang membuat kita dikenal, inilah sejarah kita. Hiperealitas adalah realitas Amerika."

Yah, demikianlah Eco, salah satu pemikir terpenting di zaman kita yang mempunyai kebiasaan menulis sambil duduk di atas kloset (mungkin Eco-lah pelopor renungan kloset), seorang pemikir yang pernah berkata dalam suatu wawancara bahwa berdusta tentang masa depan akan menghasilkan sejarah.
***
UMBERTO ECO lahir di Alessandria, sebuah kota kecil di sebelah timur Turin dan berjarak 60 mil di sebelah selatan Milan di bagian barat laut propinsi Piedmont, pada tanggal 5 Januari 1932. Hampir sebagian besar kota Alessandria dikelilingi oleh sebuah perusahaan yang memproduksi topi Borsalino, dan adalah suatu hal yang lazim di kota-kota propinsi Piedmont bahwa para penduduknya terlahir dalam budaya yang unik di tengah budaya lainnya yang ada di Italia. Sebagai daerah pegunungan, orang-orang di propinsi Piedmont umumnya memiliki watak mandiri, dan dalam banyak hal mereka lazim dikenal dengan watak yang dingin yang lebih dekat kepada watak orang Prancis ketimbang gairah berapi-api khas orang Italia bagian selatan. Eco seringkali mengutip bentukan watak budayanya ini sebagai sumber temperamen unik dalam tulisannya: Elemen-elemen tertentu tetap ada sebagai dasar bagi pandangan duniaku: skeptisisme dan ketidaksukaan terhadap retorika. Tidak pernah melebih-lebihkan, tidak pernah membuat pernyataan bombastik.

Ayahnya, Giulio Eco, adalah seorang akuntan dan veteran tiga perang, lahir dari sebuah keluarga dengan tiga belas anak. Kakeknya Eco menyatakan bahwa dirinya adalah seorang bayi terlantar, dan bahwa dia diberi nama Eco oleh seorang pegawai sipil yang kreatif. Menurut dugaan, nama tersebut adalah akronim dari ex caelis oblatus, atau tawaran dari surga. Giulio menikahi Giovanna Bisio, dan ketika mereka pindah untuk membina keluarga, sedikit banyak keputusan tersebut diambil karena keyakinan mereka bahwa untuk memelihara kecerdasan keluarganya mereka harus bersumpah untuk menjauhkan diri dari politik. Umberto Eco teringat kasih sayang neneknya, dan seperti Borges maupun Garca Mrquez, dia menyatakan bahwa dia mengembangkan kesukaannya terhadap hal-hal yang absurd dari selera humor neneknya yang ganjil.

Ketika meletus Perang Dunia Kedua, Eco dan ibunya pindah ke sebuah desa kecil di propinsi Piedmont di pegunungan. Di sanalah, Eco muda melihat baku tembak antara Fasis dan para partisannya dengan emosi yang campur aduktak dapat disangkal bahwa Eco marah melihat tindakan tersebut, dan dia pun agak menyesalkan bahwa dia masih terlalu muda untuk terlibat dalam insiden tersebut. Itulah peristiwa yang di kemudian hari akan membentuk kerangka karya semi-otobiografisnya dalam buku Foucault's Pendulum, novel keduanya.

Eco pun pindah ke Turin, tak lama sebelum dia genap berusia dua puluh tahun, untuk kuliah di Universitas, karena didesak oleh ayahnya untuk menjadi pengacara. Namun, sebagaimana umumnya menjadi suratan nasib banyak penulis besar, dia meninggalkan kuliah hukumnya, dan melawan keinginan ayahnya dengan mengambil kuliah sastra dan filsafat Abad Pertengahan. Pada tahun 1954 dia meraih gelar doktor dalam bidang estetika (supervisor-nya adalah Luigi Pareyson), dengan tesis tentang Santo Thomas Aquinas. Ini merupakan titik awal bagi kajian Abad Pertengahan yang akan mempengaruhi sebagian dari karya fiksinya yang sukses.

Setelah itu, Eco memasuki dunia jurnalisme dengan menduduki jabatan di Milan sebagai Editor untuk Program Budaya di jaringan televisi milik pemerintah Italia, RAI, yang memberinya kesempatan langsung untuk menelaah budaya modern melalui sudut pandang media. Pada tahun 1956, dia menerbitkan buku pertamanya, yang sebenarnya merupakan perluasan dari tesisnya: Il problema estetico in San Tommaso. Pada tahun itu pula dia mulai mengajar di almamater-nya, dan selama masa inilah dia mulai membangun jaringan penulis, musisi, dan pelukis avant-garde, yang kebanyakan dari mereka masih berteman dengannya hingga saat ini.

Pada tahun 1959 dia menerbitkan karya keduanya dan juga kehilangan pekerjaannya di RAI. Buku tersebut, Sviluppo dell'estetico medievale, merupakan karya yang signifikan bukan hanya karena telah mengukuhkan Eco sebagai salah seorang pemikir tentang medievalisme yang paling terkemuka, tetapi juga akhirnya meyakinkan ayahnya bahwa Eco memang membuat keputusan yang tepat ihwal karirnya. Hilangnya jabatan Eco di RAI terobati dengan meningkatnya permintaan kepada Eco untuk menjadi dosen, dan pada tahun 1959 dia menjadi editor senior nonfiksi di Casa Editrice Bompiani, Milan; jabatan yang dipangkunya hingga tahun 1975. Pada tahun 1959 jugalah Eco mulai bekerja untuk Il Verri, dan membuat kolom mingguan yang disebut Diario minimo. Di majalah yang mewadahi ide-ide avant-garde dan eksperimentasi linguistik ini, Eco mendapatkan jabatan yang menyenangkan untuk menulis kolom yang memparodi dengan jenaka banyak hal yang disuarakan oleh majalah tersebut. (Kebanyakan dari para penulis ini belakangan membentuk Gruppo 63, dan Eco pun ikut bergabung serta menggeluti banyak riset yang berbeda, termasuk puisi avant-garde, sejarah estetika dan komunikasi massa.)

Pada awalnya, kolom mingguan Eco serupa gayanya dengan kolom mingguan Barthes (yang kemudian dibukukan dengan judul Mythologies), namun setelah membaca buku Barthes tersebut, dengan rendah hati Eco meninggalkan gaya tersebut dan secara perlahan bergeser ke format pastiche. Kebanyakan kolom mingguan ini nantinya akan dikumpulkan menjadi buku berjudul Misreadings. Selama tahun-tahun ini, Eco secara serius mulai mengembangkan ide-idenya tentang teks terbuka dan tentang semiotika, menulis banyak esai tentang subjek ini, dan pada tahun 1962 dia menerbitkan Opera aperta, atau The Open Work. Pada bulan September di tahun yang sama dia menikahi Renate Ramge, seorang instruktur seni Jerman.

Walaupun jabatannya sebagai kolumnis termasyhur tampak mapan, namun beberapa tahun berikutnya terlihat banyak transisi dalam kehidupannya. Tulisan-tulisannya mulai muncul di berbagai media, termasuk Il giorno, La stampa, Corriere della Sera, La Repubblica, L'Espresso dan Il Manifesto. Pada tahun 1964 Eco pindah ke Milan dan memegang jabatan sebagai dosen, namun setahun kemudian dia terpilih sebagai Professor Komunkasi Visual di Florensia. Pada tahun 1966 dia pindah ke Politeknik Milan sebagai Professor Semiotika, dan pada tahun yang sama dia menerbitkan Le poetische di Joyce: dall summa al Finnegans Wake. Di Milan dia mulai menyusun teori-teori semiotikanya, dan pada tahun 1968 dia menerbitkan teks pertamanya yang benar-benar membahas tentang subjek tersebut: La struttura assente (The Absent Structure.) Buku ini, yang nantinya akan direvisi seluruhnya dan diberi judul baru A Theory of Semiotics pada tahun 1976, yang menentukan arahan kajiannya setelah ketertarikannya terhadap estetika Abad Pertengahan yang berubah ke arah yang lebih umum akan nilai-nilai budaya dan sastra sebagai satu kesatuan utuh.

Pada tahun 1971 dia memegang jabatan sebagai profesor semiotika pertama di universitas tertua di Eropa, Universitas Bologna. Di sini, teori-teorinya benar-benar mulai mendapatkan tempat, dan di sepanjang tahun tujuh puluhan dia menerbitkan sejumlah buku tentang semiotika. Pada tahun 1974, Eco mengorganisir kongres pertama International Association for Semiotic Studies, dan ketika pidato penutupan, dia merangkumkan definisi bidang tersebut dengan pernyataan yang kini sangat terkenal, bahwasanya semiotika adalah a scientific attitude, a critical way of looking at the objects of other sciences. Pada tahun 1979, Eco mengedit A Semiotic Landscape, kumpulan esai yang awalnya merupakan makalah dalam konferensi tersebut.

Di akhir tahun tujuh puluhan, Eco telah memantapkan reputasinya sebagai pakar semiotika yang sangat terkemuka; tapi tak seorang pun mengharapkan terjadinya perubahan radikal karir Eco di akhir dekade tersebut.

Novel pertamanya adalah The Name of the Rose (Il nome della rosa) (1980), sebuah novel yang sangat sukses (dan juga telah diterbitkan oleh Jalasutra), dan menyusul novel lainnya seperti Foucault's Pendulum (Il pendolo di Foucault) (1988), The Island of the Day Before (Lisola del giorno prima) (1994) dan Baudolino (Baudolino) (2002). Buku-bukunya antara lain adalah: The Open Work (Opera aperta) (1962), Apocalypse Postponed (Apocalittici e integrati) (1964), La definizione dellarte (1968), La struttura assente (1968), Le forme del contenuto (1971), A Theory of Semiotics (Trattato generale di semiotica) (1975), Lector in fabula (1979), Semiotics and the Philosophy of Language (Semiotica e filosofia del linguaggio) (1984), Sugli specchi e altri saggi (1985), The limits of interpretation (I limiti dellinterpretazione) (1990), The search for the perfect language (La ricerca della lingua perfetta) (1993), Six Walks in the Fictional Woods (Sei passeggiate nei boschi narrativi) (1994), dan Kant and the Platypus (Kant e lornitorinco) (1997). Beberapa karya lainnya yang tercatat adalah Misreadings (Diario minimo) (1963), Il superuomo di massa (1976), Travels in Hyperreality (1983), How to travel with a salmon (Il secondo Diario Minimo) (1990), Cinque scritti morali (1997) and La bustina di Minerva (2000).

Rabu, 23 Juli 2014

The Prague Cemetery /Umberto Eco

The Prague Cemetery
/Umberto Eco
Yayasan bentang
Kondisi Seken, 1 buah, super bagus
Harga Rp 110.000
TERJUAL JAKARTA UT 24/7/14

Jual Novel Baudolino /Umberto Eco

Jual Novel Baudolino Umberto Eco
Judul Buku: Baudolino
Penulis: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Rika Iffati Farihah, Wendratama
ISBN: 979-3062-89-4
Format: 13 x 20,5 cm
Tebal: vi + 752 hlm
Kondisi Stok lama, Bagus,
Tersedia 1 buah
Harga Rp 150.000 
TERJUAL PALU 30/8/14
SINOPSIS
Ya, aku tahu, itu bukanlah kebenaran, tetapi dalam suatu sejarah besar, kebenaran kecil-kecil bisa diubah sedemikian rupa sehingga muncul kebenaran yang lebih besar.”

Jangan percaya begitu saja pada apa yang disebut sebagai sejarah. Jangan-jangan itulah pesan Umberto Eco dalam buku ini.

Niketas —seorang tokoh nyata yang menelurkan buku sejarah, The Sack of Constantinople— dijadikan salah seorang pemeran dalam novel ini. Ia diselamatkan oleh Baudolino —si tokoh utama— dan dalam perjalanan menyelamatkan diri bersama dari keganasan para penjarah Konstantinopel, akhirnya mengetahui kisah hidup Baudolino.

Kisah itu adalah kisah yang luar biasa. Kisah penuh intrik, perebutan kekuasan, romantika, dan petualangan ke negeri ajaib penuh mahluk-mahluk fantastis. Sebagai anak angkat Frederick Barbarossa, Sang Kaisar Romawi, Baudolino ikut berperan dalam berbagai keputusan yang diambil ayah angkatnya, dan dengan demikian bisa dikata ia berada di balik berbagai peristiwa besar yang terjadi di Roma pada masa itu. Dari Baudolinolah, Niketas mengetahui banyak hal. Hal-hal besar yang mengubah wajah dunia pada zaman itu.

Masalahnya, Baudolino adalah seorang pembohong kelas wahid. Dia bisa mengarang apa saja yang ia inginkan, membuat uraian sangat meyakinkan mengenai sesuatu yang sebenarnya hanya ada dalam khayalannya. Bahkan, karena kebohonganlah ia berjumpa dengan Frederick Barbarossa dan bisa menjadi anak angkatnya. Jadi, apa yang harus dilakukan Niketas? Apa yang harus ditulisnya sebagai sejarah?

Cerita dengan nuansa komikal ini akan terasa agak berbeda dengan karya-karya Eco sebelumnya. Akan tetapi satu hal tetap sama : lapisan-lapisan makna dalam novel ini akan membuat pembaca merasa tak puas bila membaca novel ini hanya satu kali saja.

TENTANG PENULIS

Umberto Eco lahir di Turin, Italia pada 1932. Ia adalah seorang penulis dan cendekiawan Italia, dikenal luas terutama karena novel pertamanya, Il Nome De La Rosa (1980) atau The Name of The Rose (1983), sebuah misteri pembunuhan berlatar biara abad pertengahan. Sementara di dunia akademis, ia dikenal sebagai seorang ahli semiotika.

Setelah memperoleh gelar doktornya dari Universitas Turin pada 1954, Eco bekerja pada program budaya untuk jaringan siaran radio dan televisi negara. Sejak 1956 sampai 1970, ia mengajar Estetika dan Semiotika di pelbagai universitas Italia, dan pada 1971, ia menjadi dosen semiotika di Universitas Bologna. Sejak saat itu, Eco juga menjadi dosen tamu pada beberapa universitas di Amerika Serikat, termasuk New York University, Yale, dan Columbia.

Meskipun karya teoritis Eco di bidang semiotika telah memengaruhi dunia akademis, dia lebih dikenal sebagai kolumnis di pelbagai surat kabar dan majalah Italia serta sebagai penulis fiksi. Selain The Name of The Rose dan Baudolino, Eco telah menulis beberapa novel lain yang menunjukkan pengetahuannya yang luas di bidang sejarah, filsafat, dan sastra. Novel-novelnya antara lain : Il Pendolo Di Foucault (1988; Foucault's Pendulum, 1989), Isola del Giorna Prima (1994; The Island of The Day Before, 1995).

Yang termasuk karya teoritis Eco adalah: Opera Aperta (1962; The Open Work, 1976); La Struttera Assente (1968), yang direvisi dan diterjemahkannya dalam bahasa Inggris sebagai A Theory of Semiotics (1976); dan The Limits of Interpretation (1991), yang ditulis dalam bahasa Inggris.

KEUNIKAN BAUDOLINO
1. Ditulis oleh pengarang terkenal plus ahli semiotika asal Italia: Umberto Eco
2. Bercerita tentang sisi lain perang salib
3. Bercerita tentang sejarah yang bisa direka-reka oleh orang-orang yang memegang wewenang.

Kamis, 24 April 2014

Jual Buku Beriman atau Tidak Beriman Umberto Eco

Jual Buku Beriman atau Tidak Beriman ,sebuah Konfrontasi,  Penulis Umberto Eco & Cardinal Martini, Penerbit: Pustaka PrometheaTitle Judul Buku Beriman atau Tidak Beriman ,sebuah Konfrontasi
Harga Rp 35.000 OFF
Penulis Umberto Eco & Cardinal Martini
Penerbit: Pustaka Promethea, 2001
Tebal: 102 halaman
Kondisi: Stok lama ,Bagus
Surat-menyurat Eco-Martini membuka kemungkinan pembicaraan cerdas perihal agama dalam tataran yang baru. Hal ini membuktikan bahwa berlawan-bicara dalam diskusi semacam itu dapat menjadi penuh selidik dan menantang, tetapi masih saling menjunjung rasa hormat yang tulus. Jaranglah ditemukan seorang intelektual agnostik yang cemerlang, seperti Eco, yang begitu terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan terdalam perihal keyakinan. Demikian pun, tidaklah lazim ditemukan ada seorang Pangeran Gereja yang sedemikian terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan serius dari pemikir agnostik.



Jumat, 04 April 2014

Jual Buku Lima Serpihan Moral / Umberto Eco

Jual Buku Lima Serpihan Moral, Penulis Umberto Eco, Penerbit: Jendela, Judul Buku : Lima Serpihan Moral
Penulis Umberto Eco
Harga Rp 75.000 TERJUAL
Penerbit: Jendela,
Tahun 2002
Tebal: 174 hlm,
Kondisi: Seken, Lumayan
Tersedia 1 buah


Essay pertama dalam buku Lima serpihan Moral-nya Umberto Eco (sekaligus satu-satunya essay yang kubaca sebelum mengembalikannya lagi ke Perpus) berjudul; Renungan Atas Perang. Melalui essay ini, Umberto Eco mengajukan pertanyaan besar mengenai perang; apakah perang memang dibutuhkan? Mungkin ini adalah salah satu pertanyaan terbesar kita, umat manusia. Hampir semua orang membenci perang. Kenyataannya perang tidak pernah absen di muka bumi. Ia masih saja terjadi hingga detik ini.

Selama berabad-abad apa sih sebenarnya tujuan perang?

Perang dijalankan untuk mengalahkan musuh dan memperoleh keuntungan dari kekalahannya. Bahkan sekarang perang tidak hanya soal mengalahkan musuh. Perang juga melibatkan bisnis senjata: yang diproduksi besar-besaran di dunia barat, Perang juga merupakan lahan yang subur bagi industry media. Kalau tidak ada perang, media akan membosankan. Serta banyak kepentingan lain yang bermain di dalamnya.

Disamping itu, selalu ada alasan untuk melancarkan perang. Perang untuk membela diri, membela agama, membela Negara dari ancaman teroris, mempertahankan wilayah, menjaga sumber daya alam, dsb. Melihat alasan-alasan yang muncul, perang terkesan sebagai solusi yang masuk akal. Tidak peduli sebenci apapun kita terhadap perang.

Perang Itu Tabu
Akhirnya Umberto Eco membawa kebencian kita terhadap perang kedalam pengertian tabu. Tabu tidak dinyatakan, ia menyatakan dirinya sendiri, begitu tulisnya.

salah satu contoh tabu adalah incest (pernikahan sedarah). Incest telah menjadi tabu selama berabad-abad. Meski jaman dulu belum ada sains yang bisa membuktikan pernikahan sedarah tidak sehat, namun manusia telah menerapkan aturan yang ketat agar tidak terjadi perkawinan jenis ini. Hampir semua budaya—kecuali mesir kuno—menabukan incest.

Berabad-abad kemudian, lewat ilmu pengetahuan incest terbukti berakibat negatif.

Mungkin perang juga begitu. Kita membenci perang karena sebenarnya ia memang tidak dibutuhkan. Mungkin suatu hari kelak, kita menemukan rumusan ilmiah, rumusan moral, atau apalah namanya, sebuah rumusan tak terbantahkan yang menyatakan bahwa perang sebenarnya tidaklah diperlukan.

Perang Adalah Kesia-siaan
Menanggapi pertanyaan tersebut, Umberto jelas mengatakan perang tidaklah penting. Perang adalah kejahatan besar-besaran terhadap kehidupan manusia. Perang adalah kesia-siaan. Sebanyak apapun alasan yang diajukan para pendukung perang.

Tapi aku juga teringat sebuah pernyataan yang mendukung perang. Sayangnya aku lupa dimana aku telah membaca pernyataan ini; Perang tidak mungkin dihindari. Perang merupakan bagian dari peradaban manusia yang alami. (kalau tidak salah di blognya Paulo Coelho).

Kalau dipikir-pikir, iya juga. Perang selalu ambil bagian dalam sejarah peradaban kita. Perang turut serta membentuk kita. Perang sepertinya lahir dari naluri alamiah kita yang kompetitif dan kecenderungan kita untuk membalas dendam.

Tapi aku tetap setuju dengan pernyataan si Umberto Eco, perang itu kesia-siaan. Lihat berapa juta manusia yang tidak berdosa menjadi korban. Kalau dihitung semenjak peradaban manusia dibangun pertama kali, mungkin sudah milyaran nyawa yang telah terbuang sia-sia. Belum lagi kerusakan ekosistem yang diakibatkan. Saat ini kita sampai pada teknologi nuklir. Kalau semua negara memakai teknologi nuklir mereka dalam berperang, bisa-bisa bumi lenyap dari tata surya.

Tapi toh…perang masih saja terjadi. Masih saja ada yang nafsu untuk berperang. Masih saja ada alasan untuk melancarkan serangan.

War is suck!
Mungkinkah suatu hari kita bisa benar-benar terlepas dari perang? Mungkin kah suatu hari kita membawa nafsu kompetitif kita ke level yang berbeda? Ke level yang jauh lebih positif? Alih-alih berlomba-lomba memproduksi senjata, kita mungkin berlomba-lomba menghijaukan kembali bumi ini. Alih-alih berlomba membunuh tentara musuh sebanyak-banyaknya, kita mungkin berlomba-lomba menjaga kehidupan setiap manusia apapun bangsa, warna kulit, dan keyakinannya.

Mungkinkah suatu hari perang tidak lagi bisa ditemukan di kehidupan nyata kita sehari-hari. Ia menjadi sesuatu yang usang, atau sekedar hiburan di video game, film, atau buku cerita?

Mungkinkah?
Seperti yang dikatakan John Lennon; you may say I’m a dreamer, but I’m not the only one….
Kalau Anda membenci perang, Anda tidak sendirian....
Stok langka
Minat sms.wa. 0896-6116-2026  BBM 3300A029
email: sibukmainbuku@gmail.com