Judul : Menggugat Modernisme
Penulis : Medhy Aginta Hidayat
Harga Rp 49.500
Cetakan : I, Juni 2012
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : xii + 176 hlm
ISBN : 978-602-8252-77-5
Kondisi : Baru
Buku ini merupakan sebuah upaya untuk melakukan inventarisasi pemikiran Jean Baudrillard melalui studi pustaka terkait tema budaya postmodern, kemudian memberi tinjauan kritis dan sistematis sehingga terbentuk pemahaman yang integral dan komprehensif pada tataran filsafat. Yang tak kalah penting lagi adalah penulis menawarkan evaluasi kritis melalui refleksi dan interpretasi pemikir lain sehingga memunculkan sintesis berupa pemahaman baru yang bermanfaat dalam tataran praksis.
“Jean Baudrillard adalah salah satu penulis yang paling penting sekaligus provokatif di era kontemporer ini.” - Douglas Kellner
Kutipan:
“Apa yang kita alami sekarang adalah hilangnya acuan bagi segala sesuatu. Yang ada hanyalah simulakra.”
“Semua yang nyata kini menjadi simulasi.”
“Simulasi merupakan era yang dibangun dari model-model realitas tanpa asal-usul; sebuah dunia hipereal.”
DAFTAR ISI
Pengantar
Dunia Kita dan Kebudayaan Postmodern ~ v
Daftar Isi ~ xi
Bab 1
Dari Miletos Hingga Las Vegas ~ 1
Bab 2
Melacak Akar Modernisme dan
Postmodernisme ~ 19
Runtuhnya Era Modernisme ~ 19
Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya ~ 32
Jean Baudrillard dan Beberapa Karyanya ~ 51
Bab 3
Jean Baudrillard dan Kebudayaan
Postmodern ~ 59
Nilai Tanda dan Nilai Simbol ~ 59
Simulakra/Simulakrum dan Simulasi ~ 71
Postmodernisme: Sebuah Dunia Hiperealitas ~ 89
Mitos Impian Amerika ~ 98
Bab 4
Budaya Populer dan Postmodernisme ~ 105
Budaya Massa dan Budaya Populer ~ 105
Estetika Seni Postmodern ~ 119
Model Dialogisme dan Intertekstualitas ~ 121
Model Perversitas dan Abnormalitas ~ 123
Model Simulasi dan Hiperealitas ~ 124 Pastiche ~ 129
Parodi ~ 130
Kitsch ~ 131
Camp ~ 132
Skizofrenia (Schizophrenia) ~133
Membaca Film, Televisi dan Iklan ~ 134 Membaca Film ~ 134
Membaca Televisi ~ 140
Membaca Iklan ~ 146
Bab 5
Beberapa Catatan Kritis ~ 153
Daftar Pustaka ~ 163
Tentang Penulis ~ 169
Indeks ~ 171
PENGANTAR
Dunia Kita dan Kebudayaan Postmodern
TEPAT pukul 15.30, tanggal 15 Juli 1972, kompleks bangunan perumahan Pruitt Igoe St. Louis, Missouri, diledakkan. Kompleks bangunan yang dirancang dengan konsep arsitektur modern ortodoks oleh arsitek Jepang, Minoru Yamasaki, pada tahun 1950 itu diledakkan karena dianggap sudah tidak lagi fungsional. Kerusakan konstruksi, pencurian listrik dan air, tunggakan kontrakan yang besar, vandalism grafiti, mural, dan lukisan porno yang dilakukan para penghuninya dianggap sudah kelewat batas. Hancurnya bangunan Pruitt Igoe, yang merepresentasikan konsep arsitektur modern dengan karakter ruang isotropis, homogen, monoton, anti-ornamen, anti-metafora, antihumor, mono-simbolik dan berestetika mesin, sekaligus menandai kematian era arsitektur modern dan lahirnya sebuah era baru: era arsitektur postmodern.
Arsitektur postmodern, seperti yang disuarakan oleh Charles Jenks, Heinrich Klotz dan Robert Venturi, sebenarnya hanyalah salah satu interpretasi wacana estetis-filosofis yang saat itu sedang membentuk diri: postmodernisme. Apa itu postmodernisme? Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme; kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara masif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperealitas dan simulasi, serta tumbangnya nilai-guna dan nilaitukar oleh nilai-tanda dan nilai-simbol.
Serangkaian kesadaran dan keyakinan baru ini mencakup pelbagai bidang kehidupan. Dalam dunia seni misalnya, terdapat nama Marcel Duchamp dengan seni ready-made-nya, dan Andy Warhol dengan seni pop kaleng sup. Dalam dunia arsitektur terdapat nama Charles Jenks dengan karya teoretisnya The Language of Postmodern Architecture (1984) dan Robert Venturi dengan bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang memproklamirkan semboyan: “less is bore” (mengejek semboyan less is more dalam arsitektur modern yang dikumandangkan oleh Mies van der Rohe, salah seorang penggagas awal arsitektur modern) (Andy Siswanto, 1994: 36). Dalam dunia drama ada Bertolt Brecht dengan konsep pengasingan dan Antonin Artaud dengan teater absurd. Dalam dunia musik terdapat nama Robert Cage dengan musik alam dan Stockhausen dengan musik oriental. Dalam dunia sinema terdapat nama David Lynch dengan film Blue Velvet dan Quentin Tarantino dengan serangkaian film generasi baru (Denzin, 1988: 461).
Sementara dalam dunia sastra muncul nama Burroughs dengan cerita cut up dan Gabriel Marquez dengan novel realisme magis One Hundred Year of Solitude (1976). Dalam disiplin antropologi terdapat nama S.A Tyler, M.J Fischer dan kelompok Rice Circle dengan etnografi eksperimen (experimental ethnography). Dalam disiplin sosiologi terdapat nama Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bordieu dengan theatrum politicum. Dan dalam wilayah filsafat terdapat nama Jean-François Lyotard dengan konsep paralogi, disensus dan delegitimasi, Jacques Derrida dengan dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan, genealogi sejarah seksualitas, dan teknologi kekuasaan, serta Jean Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperealitas, simulakra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988: 196).
Kesemarakan dan kegairahan terhadap tema postmodernisme ini bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigm modernisme yang dipandang gagal menuntaskan Proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya pelbagai patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmuilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap modernism (Rosenau, 1992: 10). Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya pelbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memerhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.
Dengan latar belakang demikian, modernism mulai kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu diagungagungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad pertengahan yang menindas, kini justru terbukti membelenggu manusia dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak. Pada titik inilah pemikiran tentang kebudayaan postmodern memiliki arti penting. Perubahan watak dan karakter modernisme dalam tampilannya yang paling kontemporer, telah mendorong lahirnya tanggapan kritis terhadap kebudayaan dewasa ini. Pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard, sebagai salah satu kajian penting paradigma postmodernisme, adalah salah satu kunci untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.
Studi mengenai pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard pada gilirannya memiliki beberapa tujuan. Pertama, melakukan inventarisasi pemikiran Jean Baudrillard melalui sumber-sumber pustaka yang ada, baik secara langsung ataupun tidak, yang berhubungan dengan tema kebudayaan postmodern. Kedua, melakukan tinjauan kritis dan sistematis terhadap pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard agar diperoleh pemahaman yang integral dan komprehensif pada tataran filsafat. Juga diupayakan pemaparan komentar, penilaian dan interpretasi, dukungan serta keberatan yang diajukan terhadap pemikiran Jean Baudrillard. Ketiga, melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran Jean Baudrillard dengan mengadakan refleksi dan interpretasi pemikiran dan kritik filsuf atau komentator lain agar didapatkan sebuah pemahaman baru berupa sintesis menuju tataran praksis yang konsisten.
Selamat membaca!
Medhy Aginta Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar