Penulis : Saleh As’ad Djamhari
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta 2004
Paperback ,Tebal : xix + 342 halaman
Harga Rp 130.000
TERJUAL 26/9/14 JEMBER
Mengapa dalam historiografi kolonial Belanda pemberontakan Diponegoro
tidak disebut sebagai pemberontakan, tetapi Java Oorlog? Begitu pula
dalam historigrafi Indonesia, pemberontakan itu disebut Perang
Diponegoro.TERJUAL 26/9/14 JEMBER
Menurut aliran sejarah militer baru, dengan John Keegan sebagai salah satu pelopornya, perang yang terjadi dalam satu wilayah negara disebut perang kecil (small war). Bentuk aksi politiknya adalah pemberontakan, revolusi, atau perang saudara. Mengacu pada pendapat ini, maka pemberontakan yang dipimpin Diponegoro sebagai upaya politik yang dilakukan orang Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya dapat dikategorikan sebagai perang. Serta dipenuhinya tiga indikasi yang menjadi tolak ukur. Pertama, memiliki ideologi, yaitu untuk berjihad, kedua memiliki organisasi dan dukungan lingkungan serta ketiga menguasai medan.
Di samping itu, Java Oorlog (Perang Jawa), seperti halnya Atjeh Oorlog (Perang Aceh), berlangsung lama (1825-1830), menelan korban yang besar, hampir membakar sebagian besar daerah di Pulau Jawa serta memaksa Pemerintah Hindia Belanda mengocek kantong hingga 25 juta gulden. Bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran masa itu. Keletihan luar biasa dan rasa frustrasi akibat kegagalan strategi dalam perang tersebut membuat para petinggi militer Belanda memeras otak mencari strategi baru.
Diangkat dari disertasi Saleh As’ad Djamhari di Pascasarjana UI tahun 2002, buku ini menguraikan teknis strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng secara gamblang. Dalam memoar Kolonel Stuers, anak menantu Jenderal De Kock, diungkapkan, Java Oorlog tersebut merupakan awal diterapkannya strategi militer baru, suatu strategi yang unik, baik dari sisi pemikiran maupun pelaksanaan yang berhubungan dengan aspek politik, sosial, dan kultural (hal 5-6). Strategi ini lahir berdasarkan pada kesalahan strategi mobilitas pasukan di lapangan dalam upaya mengejar pasukan Diponegoro selama dua tahun. Perkiraan De Kock yang membiarkan lawan berperang dengan cara berperangnya sendiri sampai kehabisan logistik ternyata keliru. Pasukan Diponegoro ternyata mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering dan garam (hal 79).
Strategi Stelsel Benteng bertujuan melindungi pasukan dari serangan mendadak dengan mendirikan semacam kubu perlindungan (battlefield fortification) sederhana dari bahan baku yang tersedia di Pulau Jawa. Model perlindungan sederhana ini kemudian ditiru oleh beberapa komandan pasukan lainnya yang secara populer disebut “benteng” dan dapat menampung 25-30 orang (hal 85). Tercatat dalam buku ini ada 258 benteng berukuran kecil dan sedang, termasuk 16 benteng berukuran besar dibangun.
Meskipun buku ini dipenuhi istilah-istilah kemiliteran, tetapi kita seakan-akan dibawa ke medan pertempuran oleh seorang guide militer dan seolah-olah ikut menyaksikan pertempuran secara langsung. Hal ini tentu tak lepas dari latar belakang penulis di kemiliteran. Di samping itu, penulis Memoar Jend (Pur) Soemitro dan staf pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ini begitu rajin menyusun data renik berdasarkan sumber-sumber primer seperti memoar Kolonel de Stuers Memoires sur la guerre de ile de java de 1825-1830, dokumen Verzameling van officiele Rapporten serta memoar Diponegoro Babad Diponegoro in Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Babad ini sering disebut Babad Diponegoro versi Manado yang ditulis dengan gaya bahasa sederhana dan lebih lugas dari Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta yang pernah diteliti oleh Peter Carey. Namun, penulis tidak hanya membahas kronologis jalannya perang, data-data kehidupan sehari-hari para prajurit masa itu juga dihimpunnya sehingga buku ini tidak semata-mata berisi uraian teknis strategi militer (hal 217).
Saleh pun tak terjebak dengan polemik yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa mengenai apakah Pangeran Diponegoro itu seorang “pahlawan” atau “pengkhianat”. Di sini ia mencoba menjelaskan alasan-alasan Pangeran Diponegoro memberontak apakah berkaitan dengan isu balad Islam/negara Islam (hal 36), diterapkannya konsep mesianistik dalam perangnya serta strategi yang diterapkannya menghadapi pasukan kolonial (hal 44). Saleh juga membahas apakah strategi perang yang dilancarkan Diponegoro itu ada kaitannya dengan taktik pasukan elite Kerajaan Turki Usmani.
Hal yang tidak kalah menarik lainnya dari buku ini adalah pada bagian ketika Diponegoro dipaksa menyerah dengan cara mengeksploitasi nilai-nilai budaya karakter kesatria bangsawan Jawa yang ada pada pribadi Diponegoro. Di mana salah satu nilai kesatria yang dianggap luhur itu adalah “seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji” (hal 219). Meskipun menyadari telah tertipu, ia menyatakan dirinya bertanggung jawab dan bersalah atas pecahnya peperangan. Namun, ia tetap menolak untuk menyerah dan menyatakan lebih baik mati. Akhirnya, Diponegoro yang sempat emosi dan berniat membunuh Jenderal De Kock mengurungkan niatnya. Ia sadar dan pasrah pada takdir lalu memutuskan untuk meninggalkan tanah Jawa karena tak ada yang dimilikinya lagi di tanah Jawa (hal 223-224). Drama penangkapan ini tampak sesuai dengan pilihan gambar sampul buku yang merupakan repro lukisan karya Raden Saleh “Historiches Tableau; die Gefangennachmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”
Pemicu memberontaknya Diponegoro dapat dilihat dari beberapa faktor. Bermula dari konflik internal Keraton Yogyakarta pada tahun 1792 antara Sultan Hamengkubuwono II dan putra mahkota, Pangeran Adipati Amangkunagoro, yang akhirnya melibatkan Diponegoro. Hingga keputusan politis Residen Baron de Salis pada tahun 1822 dengan mengangkat RM Menol yang masih berusia dua tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V untuk menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV yang meninggal tiba-tiba. Diponegoro pun merasa terhina ketika harus menyembah seorang bocah ingusan karena menurut tata krama keraton, setiap pangeran diwajibkan menyembah sultan dalam audensi resmi. Ini sesuai dengan pandangan Jawa di mana sultan adalah penguasa tertinggi yang ditakdirkan Tuhan karena mendapat wahyu kerajaan.
Faktor berikutnya adalah masalah penyewaan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta oleh Pemerintah Hindia Belanda serta faktor kultur. Pada masa pemerintahan adiknya-Hamengkubuwono IV-banyak bangsawan yang tiba-tiba menjadi kaya dari hasil penyewaan tanah, suka bermewah-mewahan, dan meniru gaya hidup orang Belanda. Mereka mulai meninggalkan nilai dan norma-norma kehidupan Jawa dan Islam yang disakralkan. Ditambah lagi perilaku para pejabat Belanda yang seenaknya memasuki keraton dan berhubungan gelap dengan beberapa putri keraton. Hal ini membuat prihatin Diponegoro yang berlatar belakang Islam taat. Berkuasanya orang asing terhadap tanah milik kerajaan (melalui penyewaan tanah) merupakan pertanda jatuhnya tanah Jawa ke tangan orang asing sehingga Jawa harus direbut kembali dengan perang sabil.
Konflik politik puncaknya pada penutupan jalan ke Tegalrejo dengan pemasangan pancang secara sengaja di tanah milik Diponegoro di Tegalrejo sebagai tanda pembuatan jalan baru. Residen Smissaert-pengganti Residen Baron de Salis-yang mendapat laporan bahwa pancang-pancang itu dicabut oleh para pengikut Diponegoro segera memerintahkan untuk memasang kembali pancang-pancang itu dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka. “Insiden pancang” dan penutupan jalan menjadi konflik terbuka antara Diponegoro dan residen yang melibatkan senjata. Insiden ini justru membangkitkan simpati masyarakat dan mengundang para demang beserta anak buahnya berdatangan ke Tegalrejo untuk membela Diponegoro pada pertengahan tahun 1825. Peristiwa ini merupakan awal mobilisasi kekuatan Diponegoro.
Buku ini dilengkapi pula dengan peta lokasi benteng-benteng tahun 1825- 1829, peta operasi, tabel-tabel, serta sajak penutup “Diponegoro” karya Sitor Situmorang yang menggambarkan percakapan Diponegoro dengan kudanya Kiai Gentaju seakan menjadi “gong” simpulan buku ini. Semua itu memudahkan kita-dengan meminjam ungkapan AB Lapian dalam kata pengantarnya-seperti juga John Keegan dalam The Battle for History Re-Fighting World War II untuk ikut “mengulangi pertempuran”, to refight, sebuah perang penting dalam sejarah Indonesia. Perang yang cukup lama membingungkan dan menggoyahkan kedudukan pemerintah kolonial di Pulau Jawa pada dekade ketiga abad ke-19. Tidaklah berlebihan jika buku ini patut dikoleksi para penikmat sejarah, khususnya sejarah militer, yang dapat menambah wawasan dan bahan diskusi lebih lanjut.
Dimuat di Kompas, 21 Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar