Judul Buku TATO.
Penulis: Hatib Abdul Kadir Olong.
Harga Rp 69.000 Pengantar: Lono Lastoro Simatupang.
Penerbit: LKIS.
Terbit : Cet I, Februari 2006
Tebal : xi + 368 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
ISBN : 979-8451-61-9
Kondisi : stok lama, segel
Yang menarik dari buku ini adalah, pemaparan materi yang berlimpah mengenai tato. Membaca isi serta biodata sang penulis dalam buku ini membuat saya iri. Alih-alih sang penulis ketika menulis buku ini adalah seorang mahasiswa S1 jurusan Antropologi sekaligus Program Diploma III Kepariwisataan di Universitas Gadjah Mada. Materi dalam buku ini menurut saya cukup lengkap dan kompleks, tak hanya berbicara tato dari segi sakral dan religiusitas tetapi juga buku ini mencoba menyelami fenomena tato dalam perspektif kontemporer. Juga mas Negro –panggilan si penulis- dalam buku ini mencoba meluruskan pandangan apriori mengenai tato. Penulis dalam buku ini seperti berusaha mengenali tato lebih luas kepada pembaca, termasuk pembaca awam seperti saya. Dia tak hanya memaparkan dengan detil mengenai sejarah dan perkembangan tato, tetapi juga membahas tentang makna dan konteks sosial budaya tato. Bagaimana pada zaman orba tato diidentikan sebagai bentuk kriminalitas dan pemberontakan terhadap apartur negara. Tato pada saat itu digambarkan sebagai sebuah bentuk anti-kemapanan. Dengan mengambil studi kasus Petrus (baca : penembak misterius) buku ini dalam bagian ke empat memaparkan bagaimana tato dijadikan konsumsi politik dan symbol kriminalitas pada masa orde baru. “tubuh bukanlah entitas yang genetis saja, melainkan juga bersifat evolutif dan diakronik.” (hal. 240). Dapat saya katakana bahwa, buku ini sarat akan pemaparan tubuh dalam klasifikasi sosial, hierarki politik, dan struktur budaya yang pada gilirannya membentuk sebuah tatanan. Saya lagi-lagi yang sebagai pembaca awam, dipaksa menelan mentah-mentah mengenai penjelasan bahwa pada era 1960-1980-an orang-orang bertato kehilangan hak diterima sebagai PNS dan ABRI. Orang bertato pada masa itu mengalami kesulitan untuk diterima secara baik oleh sosial.
Saya mencoba menyelami dengan dalam berbagai fenomena yang dipaparkan dalam buku ini. Saya selalu menyiratkan dahi ketika mas Negro bercerita dengan data juga fakta yang ia rangkum dalam buku ini. Dia menyebutkan dalam buku bersampul merah ini, bahwa petrus yang dilakukan pemerintah orba adalah semata-mata kehendak dari aparatur negara dengan restu dari presiden Soeharto. “Soeharto (mantan presiden) mengakui bahwa tindakan penumpasan tersebut dilakukan aparat yang berwajib berdasar restu yang telah diberikannya, sebagaimana tercermin dalam bigrafinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), bahwa Petrus itu itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment (shock therapy).” (hal. 253). Saat membaca bagian ini, ingin sekali rasanya saya cepat-cepat membalik ke halaman berikutnya. Karena saking serunya buku ini bercerita. Buku ini saya baca sekitar akhir tahun 2011 didalam gerbong sebuah kereta menuju Jakarta. Kadang saya menguap saat membaca buku ini, karena pemaparan yang cukup banyak dan berat untuk manusia awam seperti saya, kadang tertawa geli sekali dengan istilah-istilah yang digunakan dalam dunia tato dalam buku ini. Bagi saya pribadi, buku ini sungguh menggelitik dan menyentil imaji akan tato dari masa ke masa. Terima kasih buat sang penulis, si bapak dosen!
@bungabond
Tidak ada komentar:
Posting Komentar