Rabu, 07 Mei 2014

Jual Buku Iklan Politik dalam Realitas Media

Title / Judul: Iklan Politik dalam Realitas Media
Penulis : Sumbo Tinarbuko
Cetakan : Maret, 2009
Tebal : 120 halaman
Ukuran : 15 x 21 cm
ISBN : 602-8252-10-7
Kondisi : Baru
Harga Rp35.000
Deskripsi:
Iklan politik, sebagaimana dikemukakan dengan menarik dalam buku ini, tidak ada bedanya dengan iklan komersial, yang di dalamnya antara gemerlap citra-citra yang ditampilkan dan realitas yang sesungguhnya terdapat jurang yang dalam. Citra-citra tentang ‘cinta rakyat kecil ‘, ‘peduli orang miskin’, ‘sahabat petani’, ‘peduli pendidikan’, atau pembela nurani bangsa tak lebih dari citra-citra indah dan meyilaukan yang berputar-putar di dalam ruang pertandaan semiotik (the semiotic space), tetapi tak pernah menyentuh dan direalisasikan dalam dunia kehidupan nyata.

Daftar Isi
Narsisisme Politik: Banalitas, Simplisitas, dan Minimalitas (Pengantar Yasraf Amir Piliang)
Pengantar Penerbit
Awalan

Babak 1  Iklan Politik dalam Realitas Media
Iklan Politik dan Konflik Ruang Publik
Kemasan Iklan Politik
Matinya Iklan Politik
Nomor Versus Logo Partai Politik
Pelanggaran Kampanye Pemilu
Perang Iklan Politik
Popularitas Versus Elektabilitas
Sampah Visual Iklan Politik
Vandalisme Iklan Politik
Zaman Narsisme

Babak 2 Iklan Politik dalam  Perspektif Desain Komunikasi Visual          
Pedagang Ide dalam Ranah Periklanan
Desain Komunikasi Visual dalam Ranah Iklan Politik
Pembabakan Ranah Desain Komunikasi Visual
Tipografi dalam Ranah Pesan Verbal
Desainer Komunikasi Visual dalam Ranah Penelitian Sosial

Babak 3 Iklan Politik dalam Perspektif Pakar Komunikasi Politik             
Ahmad Zaini
Daniel Rembeth             
Djito Kasilo
Dody Oktavian
Dyah Pitaloka
I Ketut Martana, S.Sos
Ricky Pesik
Sauki Basya
              
Babak 4 Mengkhayal Iklan Politik yang Ideal
Akhiran
Daftar Pustaka
Indeks
Biodata Penulis

Kata Pengantar
Narsisisme Politik: Banalitas, Simplisitas, dan Minimalitas
Yasraf Amir Piliang

Setiap akan diadakannya Pemilihan Umum Legislatif atau Presiden, maka perhatian, pikiran dan energi para elit politik dicurahkan untuk menyiapkan kampanye politik, mengadakan konsolidasi, mengunjungi berbagai tempat umum, menemui rakyat kebanyakan, membagikan pamflet dan kartu nama, memasang foto diri di jalanan, mengirim pesan singkat ke masyarakat, mengaktifkan website, berbicara di radio dan memasang iklan diri di media elektronik
Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik—terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimilikinya—seakan menjadi mantra yang menentukan pilihan politik. Melalui mantra elektronik itu, maka persepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Politik kini menjelma menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik—the politics of image.

Citra Narsistik
Kekuatan mantra elektronik telah menghanyutkan para elit politik dalam gairah mengkonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Beberapa citra itu tak saja berbeda, tetapi malah bertolak belakang dengan realitas diri sesungguhnya. Citra terputus dari realitas yang dilukiskannya. Kesenangan melihat citra diri menggiring pada narsisisme politik.
Narsisisme tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri (Freud), tetapi juga segala bentuk penyanjungan diri (self-admiration), pemuasan diri (self-satisfaction), atau pemujaan diri (self-glorification) (Erich Fromm), atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau proyeksi dari ketakutan dan hasrat seseorang.1
Narsisisme politik adalah kecenderungan pemujaan diri berlebihan para elit politik, yang membangun citra diri, meskipun itu bukan realitas diri yang sebenarnya: ‘dekat dengan petani’, ‘pembela wong cilik’, ‘akrab dengan pedagang pasar’, ‘pemimpin bertakwa’, ‘penjaga kesatuan bangsa’, ‘pemberantas praktik korupsi’, atau ‘pembela nurani bangsa’.
Narsisisme politik adalah cermin artifisialisme politik melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri yang sebenarnya. Melalui politik pertandaan, berbagai tanda palsu tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan pandangan publik.
Narsisisme politik adalah bentuk keseketikaan politik yang merayakan citra instan dan efek yang segera, tetapi tak menghargai proses politik. Aneka citra politik: ‘jujur’, ‘cerdas’, ‘bersih’, atau ‘nasionalis’ adalah citra yang mestinya dibangun secara alamiah melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, dan prestasi politik. Akan tetapi, mentalitas menerabas telah mendorong tokoh miskin prestasi untuk mengambil jalan pintas dengan memanipulasi citra secara instan.
Narsisisme politik adalah cermin politik seduksi, yaitu aneka trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang tujuannya meyakinkan setiap orang, bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. Padahal, citra-citra itu tak lebih dari wajah penuh make up, gincu, kosmetik dan topeng-topeng politik, yang menutupi wajah sebenarnya—political camouflage.

Simplisitas Politik
Wacana komunikasi politik abad informasi yang sangat menggantungkan diri pada citra visual, seperti citra televisi, kini menyerahkan diri pada logika media berwatak kapitalistik, yang merayakan logika ‘popularitas’, ‘rayuan’, ‘pengelabuan’, ‘kesenangan’; bukan ‘substansi’, ‘pengetahuan’, ‘kebenaran’ dan ‘pencerdasan’ politik.
Sebagaimana dikatakan Jeffrey Scheuer, di dalam The Sound Bite Society: Television and the American Dream, televisi berwatak kapitalistik cenderung menolak segala bentuk kompleksitas demi merayakan simplisitas. Ia merayakan segala yang mudah, instan, segera, provokatif, menggoda, dan menolak yang rumit, berbelit-belit, akademik, ilmiah, dan terlalu serius. Politik yang terjebak di dalamnya menghasilkan simplifikasi politik.2
Simplifikasi politik adalah politik anti nalar, yang mengabaikan kompleksitas konteks, logika formal atau hukum kausal dari suatu persoalan. Ia sebaliknya merayakan logika informal, yang mentolerir aneka sesat pikir, kedangkalan, jalan pintas, pernyataan tanpa argumen, penjelasan tanpa bukti, pembicaraan lepas konteks, dan cara pikir tak logis. Inilah wajah simplisitas politik bangsa dewasa ini.
Simbiosis budaya politik dan budaya media kapitalistik menciptakan budaya yang dilandasi hasrat ‘keuntungan cepat’, ‘personalitas artifisial’, dan ‘popularitas prematur’. Politik yang tunduk pada logika media melakukan aneka pembesaran efek terhadap segala yang mediocre. Politik semacam itu memanipulasi emosi, mematikan rasa, memasung daya kritis, dan membuat pikiran kenyang dengan aneka stereotip sosial yang banal.
Media politik berkembang ke arah anti-kedalaman (depthlessness), dengan memuja gaya ketimbang substansi, citra ketimbang realitas, retorika ketimbang intelektualitas, efek ketimbang proses, emosi ketimbang nalar, pesona ketimbang moral. Ia menghindar dari relasi abstrak, argumen konseptual, pikiran logis, hukum kausal, karena dianggap tak menarik. Godaan menciptakan komunikasi politik yang menarik telah mengubur tugas pencerahan politik.

Nihilisme Demokrasi
Apakah segala banalitas, kedangkalan, bahkan tipu daya komunikasi politik merupakan buah dari demokrasi? Bila demokrasi dipahami sebagai sistem politik yang mempunyai spirit pencerdasan dan pemberdayaan individu dan warga, untuk menciptakan masyarakat demokratis sejati, maka apa yang berlangsung di atas panggung politik telah melampaui demokrasi yang ideal itu sendiri.
Cornel West, di dalam Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism, mengatakan bahwa demokrasi berlebihan menciptakan nihilisme demokratik, yaitu praktik demokrasi yang diwarnai strategi kebohongan, manipulasi dan kepalsuan. Demokrasi lebih merayakan trik-trik mengangkat emosi, perasaan, dan kesenangan dengan mengabaikan substansi politik.3
Memang, politik pencitraan sangat penting dalam demokrasi abad informasi karena melaluinya aneka kepentingan, ideologi, dan pesan politik dapat dikomunikasikan. Akan tetapi, ia harus dilandasi etika politik karena tugas politik tidak hanya menghimpun konstituen sebanyak mungkin—melalui persuasi, retorika dan seduksi politik—tetapi lebih penting lagi membangun masyarakat politik yang sehat, cerdas, dan berkelanjutan.

Iklan Politik Dalam Realitas Media
Bagaimanakah kecenderungan narsisisme, simplisitas, dan nihilisme dalam dunia politik bangsa di atas yang memberikan implikasi pada iklan politik—baik iklan cetak maupun televisi—sebagai bentuk komunikasi politik dominan di abad informasi, serta bagaimana ia berkaitan dengan berbagai aspek desain komunikasi visual? Jelas, desain komunikasi visual mempunyai peran sangat sentral dalam merumuskan komunikasi politik di abad informasi karena melalui citra visual itulah pesan politik secara efektif dapat disampaikan.
Akan tetapi, di dalam iklim komunikasi politik yang penuh muatan manipulasi, retorika, seduksi, narsisisme, simplisitas, banalitas dan sampah visual semacam itu, konstituen politik dan masyarakat politik pada umumnya cenderung dimanfaatkan sebagai alat perburuan kekuasaan semata, dengan memanipulasi pikiran, kesadaran, emosi, dan persepsi mereka, tetapi sama sekali tidak ada reward bagi mereka, berupa pencerdasan, pengetahuan, dan pencerahan politik. Dalam kondisi asimetris macam ini, massa politik digiring untuk menjadi mayoritas tak-kritis.
Dalam kondisi politik tanpa pencerahan dan daya kritis di atas, kehadiran buku Sumbo Tinarbuko, Iklan Politik Dalam Realitas Media, mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun kembali kesadaran kritis tersebut, yang secara sistematis dirusak dan dihancurkan dalam wacana politik mutakhir yang penuh manipulasi. Hanya melalui kesadaran kritis itulah, masyarakat politik dapat lebih cerdas membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, citra dan substansi, penampilan luar dan kapasitas diri, dan ilusi dan realitas politik.
Iklan politik, sebagaimana dikemukakan dengan menarik di dalam buku ini, tidak ada bedanya dengan iklan komersial, yang di dalamnya antara gemerlap citra yang ditampilkan dan realitas yang sesungguhnya terdapat jurang yang dalam. Citra tentang ‘cinta rakyat kecil’, ‘peduli orang miskin’, ‘sahabat petani’, ‘peduli pendidikan’ atau ‘pembela nurani bangsa’ tak lebih dari citra indah dan menyilaukan, yang berputar-putar di dalam ruang pertandaan dan semiotik, tetapi tak pernah menyentuh dan direalisasikan di dunia kehidupan nyata.4
Buku ini secara cerdas mencoba merelasikan iklan politik sebagai realitas kedua dengan aspek-aspek komunikasi visual yang berperan membangun citra di dalamnya, serta berbagai relasi sosial dan kultural yang terbangun. Penyertaan pandangan beberapa pakar komunikasi politik tentang iklan politik di dalam buku ini, dapat mempertegas lukisan realitas komunikasi politik yang ada. Melalui lukisan komprehensif itulah, pada akhirnya, penulis buku ini mengajak kita untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik yang ideal, yang bila tak mampu dilakukan akan menggiring pada kondisi kematian iklan politik. Selamat berimajinasi!

Catatan Akhir
1.      Christopher Lasch, The Culture of Narcissism, Warner Books, New York, 1985, hlm. 33.
2.      Jeffrey Scheuer, The Sound Bite Society: Television and the American Dream, Four Walls Eight Windows, New York, 1999, hlm. 122.
3.      Cornel West, Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism, Penguin Books, 2004, hlm. 52.
4.      Untuk penjelasan lebih jauh mengenai manipulasi tanda di dalam dunia politik, lihat Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Realitas Politik di dalam Era Virtualitas, Jalasutra, 2005.

klan Politik dalam Realitas Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar