Title / Judul: Nashar Oleh Nashar
Penulis: Nashar
Harga Rp 75.000
Penerbit: Bentang Budaya,
Terbit 2002
Tebal: 310 halaman
Ukuran 14 x21
Kondisi : Stok lama, Bukan Bekas,Bagus
Hanya ada dua tugas dalam hidup Nashar: melukis dan berpameran. ''Apa pun yang terjadi, saya harus melukis,'' begitu kata Nashar dalam tulisan Efix Mulyadi di harian Kompas, 11 September 1992. Nashar merokok sembari duduk mencangkung. Tidur mendengkur di atas alas tikar. Menulis dan melukis di malam hari.
Nashar kere, tidak punya rumah, karena lukisan-lukisannya tidak laku. Nashar begini-begitu, ke sana-kesini; kini hanya bisa kita baca, lihat, dan dengar dari sumber lain. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 16-24 April lalu memajang 53 lukisan Nashar dalam pameran tunggal bertajuk ''Elegi Artistik Karya Nashar''.
Pameran itu juga menandai peluncuran buku Elegi Artistik tentang Nashar dan Lukisan-lukisannya, yang disunting Agus Dermawan T. Dalam beberapa pameran kolektif, saya punya kesempatan melihat satu-dua karya Nashar. Sehingga tampakan garis, pengemukaan warna, dan komposisi, terutama pada karya periode ''abstrak''-nya, terasa cukup akrab dan dalam beberapa kesempatan relatif mudah ditandai sebagai karya Nashar. Tentunya, selain tanda tangan khas Nashar, berupa gabungan huruf N dan H dalam konstruksi visual sebuah rumah.
Anehnya, keyakinan mengenali karya Nashar itu jadi melempem begitu berhadapan dengan karyanya dari periode lain yang dipajang dalam pameran ini. Misalnya ketika menemukan karya-karya pada periode figuratif di awal kariernya, panorama, atau sosok-sosok gaib; visi tentang ''makhluk lain'' yang dibuat menjelang akhir hayatnya.
Dan, lebih penting dari itu, sebentar saja, saya merasa menjadi seorang peragu dalam menyimak karya Nashar pada periode abstraknya --periode yang paling sering dipergunjingkan untuk mencaritahu nilai akademis karya Nashar dan hubungan karyanya dengan kisah penderitaan hidup. Atau sekadar celoteh miring tentang upaya kontroversial seorang pelukis yang pernah disebut "tidak berbakat'' oleh mentornya itu dalam menegaskan kepemilikannya atas garis dan warna.
Pada titik itu, buku Elegi Artistik memberi panduan cukup tepat untuk membenarkan keterbatasan saya dalam mengapresiasi karya Nashar. Buku itu berisi kumpulan catatan, ulasan, dan kisah sehari-hari tentang Nashar dan karya-karyanya. Ditulis kritikus seni rupa, wartawan, sastrawan, teaterwan, dan budayawan dengan muatan personal yang sedemikian rupa membentuk garis yang menghubungkan perjalanan hidup Nashar dengan kelahiran karya-karyanya.
Tentang Nashar, Agus Dermawan T. menulis sebuah cerita. Pada zaman Jepang, Nashar belajar melukis di Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan Jepang). Kepada Agus, Nashar berkisah bahwa S. Sudjojono, seorang pengajar di lembaga itu, suatu ketika berkata kepadanya, ''Dik, lebih baik kau bekerja di kantor saja, jadi klerek, atau mendaftarkan diri jadi polisi perkebunan, karena untuk jadi pelukis harus punya bakat. Dan kau tak memiliki itu.''
Dalam sebuah kesempatan bertemu Sudjojono, Agus iseng-iseng mengonfirmasikan pernyataan tentang ''bakat Nashar'' itu. Sudjojono menjawabnya dengan mengibaratkan Nashar sebagai musisi yang sering mengabaikan notasi. ''Untuk menutupi pengabaian itu, ia langsung berekspresi secara merdeka,'' tulis Agus, mengutip ucapan ''bapak seni lukis modern Indonesia'' itu.
Dalam buku yang sama, sastrawan Ajip Rosidi sempat juga menanyakan pernyataan seputar bakat itu kepada Sudjojono. Kali ini, jawaban yang dilontarkannya, ''Mas Ajip, pelukis itu hidupnya tidak bisa berpisah dari cahaya matahari. Tapi, coba lihat Nashar, sekarang pukul 11 lewat, si Nashar masih tidur!''
Nashar yang ceking dan miskin, sepengetahuan orang-orang dekatnya, lebih sering bekerja suntuk di malam hari sehingga jarang bangun pagi. Nashar bukannya tidak gusar mendengar kritik itu. Tapi ia tidak mendendam. Sebaliknya, ia menempatkan kritik itu sebagai pelecut semangat untuk melukis dan terus melukis.
Nashar menyatakan, ''Bila kau dikatakan tidak memiliki bakat, kau harus menerobos tembok yang memisahkan tidak berbakat dan berbakat itu. Dengan begitu, kau akan tahu, apakah kau memang tidak berbakat atau justru berbakat.'' Pernyataan ini, menurut Agus, sering dilontarkan Nashar dari serambi Balai Budaya, tempatnya menumpang tinggal selama beberapa tahun.
Nashar memulai kiprahnya di dunia seni rupa dengan lukisan figuratif. Karya impresionistik Sepatumu (1958) menjadi satu jejak keseriusannya mendalami seni lukis. Nashar juga menggambar Perempuan dan Tiga Anaknya (1964), Rakit (1967), Bunga Sri Rejeki (1969), dan figur-figur lain dengan strategi pemberian judul yang terang.
Memasuki pertengahan 1970-an, ''pembangkangan'' Nashar terhadap selera pasar mulai terlihat. Garis-garis dalam lukisannya seperti dibuat tidak melalui proses perencanaan, tanpa orientasi, tidak mengacu pada tema atau objek tertentu dan tidak diandalkan sebagai goresan awal atau akhir lukisannya.
Suatu ketika garis itu tebal, kali lain kerempeng. Melengkung lugas di satu sisi dan kaku membentuk sudut pada sisi lainnya. Ada yang memotong garis lain, ada juga yang menindih, tanpa kecenderungan penegasan atas dimensi ruang dan objek tertentu. Kadang satu kumpulan garis merupakan bagian dari ide tentang "kayu-kayu tua". Kali lain, kumpulan yang mirip-mirip itu terjudulkan sebagai "banjir bandang".
Sekali waktu "angin gunung, di lain waktu "instalasi". Saya menebak sebuah bentuk dengan kemungkinan judul yang berkaitan dengan perahu. Saya cukup senang begitu mendapati judul sesungguhnya, Perahu (1979). Tapi, untuk formasi garis dan goresan yang mirip-mirip itu, saya kecele karena menemukan judulnya ternyata Jembatan (1978).
Tidak jarang Nashar mempersilakan orang lain memberi judul pada lukisannya, sesuai dengan kata hati yang mengalir ketika dia melukis. ''Pada suatu kali, ia menggambarkan makhluk-makhluk biomorfis yang menggeletar dan menghadirkan ritme,'' tulis Agus Dermawan. Orang lain lantas memberinya judul Cacing Tanah (1986).
Putu Wijaya mengungkapkan, tema-tema lukisan Nashar dalam periode ini sarat dengan tema lingkungan dan kemanusiaan. ''Entah kenapa, saya merasa, Nashar sangat dekat dengan manusia, meskipun yang dilukisnya hanya kaktus,'' tulis Putu Wijaya dalam sebuah katalog pameran tunggal karya-karya Nashar di Bali pada tahun 2000.
Perubahan dari modus ungkap figuratif ke non-figuratif itu, menurut Nashar dalam beberapa kesempatan, dipengaruhi tiga pementasan drama Putu Wijaya, Lho, Entah, dan Nol. Pada saat itu, Nashar terlibat dalam kelompok teater Putu. Ketika latihan, Nashar meminta setiap pemain mengosongkan pikiran dan berekspresi secara total, setotal-totalnya.
Periode ini dikukuhkan oleh Nashar dengan memproklamasikan kredo ''tiga non''-nya yang terkenal. Yakni non-teknik, non-estetik, dan non-prakonsepsi. ''Melalui kredo tiga non itu, karya-karya Nashar lahir melalui proses yang alami tanpa dibebani oleh bingkai estetika tertentu,'' tulis Agus.
Kemudian, pada awal 1990-an, ketika penyakit mulai menuntut tubuhnya berlama-lama di rawat di rumah sakit, lukisan Nashar banyak dihiasi bentuk wajah, seperti topeng dan atau sosok hantu dalam cerita animasi kanak-kanak. Ajip Rosidi menyebut objek-objek itu sebagai ''tuyul''.
Konon, gambaran serupa hantu itu adalah sosok yang sering dilihat Nashar pada saat dirawat di rumah sakit. Kali lain, kepada Efix Mulyadi, Nashar berkata bahwa wujud-wujud itu bukanlah manifestasi rencananya untuk menggambarkan bentuk manusia. ''Pada waktu itu saya sakit, dan setiap kali baca koran tentang situasi dan kondisi yang tidak pantas, seperti muncul tampang-tampang manusia menderita,'' tulis Efix, mengutip ucapan Nashar.
Pada 1994, menjelang saat-saat terakhir kehidupannya, Nashar memperlihatkan tiga lukisan kepada Ajip Rosidi. Lukisan itu menunjukkan perubahan kecenderungan objeknya: berupa jejak-jejak atau telapak kaki. ''Motif lukisanku berikutnya adalah telapak kaki,'' kata Nashar kepada Ajip ketika itu.
Nashar meninggal pada 13 April 1994 karena penyakit paru-paru. Telapak-telapak kaki itu seperti penanda menjelang kepergiannya membawa kekerasan hati, pembangkangan, idealisme, kemelaratan, dan absurditas hidupnya. Pergi meninggalkan lukisan-lukisannya yang belum laku di pasaran.
Lima tahun setelah Nashar meninggal, menurut catatan Agus Dermawan, lukisannya mulai dilirik banyak kolektor. Rumah lelang lukisan komersial lantas melelang karya Nashar. Apresiasi yang berangkat dari jendela ekonomi semacam ini, kata Agus, jauh dari bayangan kehidupan lukisan Nashar dan pribadinya yang "puritan".
Penulis: Nashar
Harga Rp 75.000
Penerbit: Bentang Budaya,
Terbit 2002
Tebal: 310 halaman
Ukuran 14 x21
Kondisi : Stok lama, Bukan Bekas,Bagus
Hanya ada dua tugas dalam hidup Nashar: melukis dan berpameran. ''Apa pun yang terjadi, saya harus melukis,'' begitu kata Nashar dalam tulisan Efix Mulyadi di harian Kompas, 11 September 1992. Nashar merokok sembari duduk mencangkung. Tidur mendengkur di atas alas tikar. Menulis dan melukis di malam hari.
Nashar kere, tidak punya rumah, karena lukisan-lukisannya tidak laku. Nashar begini-begitu, ke sana-kesini; kini hanya bisa kita baca, lihat, dan dengar dari sumber lain. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 16-24 April lalu memajang 53 lukisan Nashar dalam pameran tunggal bertajuk ''Elegi Artistik Karya Nashar''.
Pameran itu juga menandai peluncuran buku Elegi Artistik tentang Nashar dan Lukisan-lukisannya, yang disunting Agus Dermawan T. Dalam beberapa pameran kolektif, saya punya kesempatan melihat satu-dua karya Nashar. Sehingga tampakan garis, pengemukaan warna, dan komposisi, terutama pada karya periode ''abstrak''-nya, terasa cukup akrab dan dalam beberapa kesempatan relatif mudah ditandai sebagai karya Nashar. Tentunya, selain tanda tangan khas Nashar, berupa gabungan huruf N dan H dalam konstruksi visual sebuah rumah.
Anehnya, keyakinan mengenali karya Nashar itu jadi melempem begitu berhadapan dengan karyanya dari periode lain yang dipajang dalam pameran ini. Misalnya ketika menemukan karya-karya pada periode figuratif di awal kariernya, panorama, atau sosok-sosok gaib; visi tentang ''makhluk lain'' yang dibuat menjelang akhir hayatnya.
Dan, lebih penting dari itu, sebentar saja, saya merasa menjadi seorang peragu dalam menyimak karya Nashar pada periode abstraknya --periode yang paling sering dipergunjingkan untuk mencaritahu nilai akademis karya Nashar dan hubungan karyanya dengan kisah penderitaan hidup. Atau sekadar celoteh miring tentang upaya kontroversial seorang pelukis yang pernah disebut "tidak berbakat'' oleh mentornya itu dalam menegaskan kepemilikannya atas garis dan warna.
Pada titik itu, buku Elegi Artistik memberi panduan cukup tepat untuk membenarkan keterbatasan saya dalam mengapresiasi karya Nashar. Buku itu berisi kumpulan catatan, ulasan, dan kisah sehari-hari tentang Nashar dan karya-karyanya. Ditulis kritikus seni rupa, wartawan, sastrawan, teaterwan, dan budayawan dengan muatan personal yang sedemikian rupa membentuk garis yang menghubungkan perjalanan hidup Nashar dengan kelahiran karya-karyanya.
Tentang Nashar, Agus Dermawan T. menulis sebuah cerita. Pada zaman Jepang, Nashar belajar melukis di Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan Jepang). Kepada Agus, Nashar berkisah bahwa S. Sudjojono, seorang pengajar di lembaga itu, suatu ketika berkata kepadanya, ''Dik, lebih baik kau bekerja di kantor saja, jadi klerek, atau mendaftarkan diri jadi polisi perkebunan, karena untuk jadi pelukis harus punya bakat. Dan kau tak memiliki itu.''
Dalam sebuah kesempatan bertemu Sudjojono, Agus iseng-iseng mengonfirmasikan pernyataan tentang ''bakat Nashar'' itu. Sudjojono menjawabnya dengan mengibaratkan Nashar sebagai musisi yang sering mengabaikan notasi. ''Untuk menutupi pengabaian itu, ia langsung berekspresi secara merdeka,'' tulis Agus, mengutip ucapan ''bapak seni lukis modern Indonesia'' itu.
Dalam buku yang sama, sastrawan Ajip Rosidi sempat juga menanyakan pernyataan seputar bakat itu kepada Sudjojono. Kali ini, jawaban yang dilontarkannya, ''Mas Ajip, pelukis itu hidupnya tidak bisa berpisah dari cahaya matahari. Tapi, coba lihat Nashar, sekarang pukul 11 lewat, si Nashar masih tidur!''
Nashar yang ceking dan miskin, sepengetahuan orang-orang dekatnya, lebih sering bekerja suntuk di malam hari sehingga jarang bangun pagi. Nashar bukannya tidak gusar mendengar kritik itu. Tapi ia tidak mendendam. Sebaliknya, ia menempatkan kritik itu sebagai pelecut semangat untuk melukis dan terus melukis.
Nashar menyatakan, ''Bila kau dikatakan tidak memiliki bakat, kau harus menerobos tembok yang memisahkan tidak berbakat dan berbakat itu. Dengan begitu, kau akan tahu, apakah kau memang tidak berbakat atau justru berbakat.'' Pernyataan ini, menurut Agus, sering dilontarkan Nashar dari serambi Balai Budaya, tempatnya menumpang tinggal selama beberapa tahun.
Nashar memulai kiprahnya di dunia seni rupa dengan lukisan figuratif. Karya impresionistik Sepatumu (1958) menjadi satu jejak keseriusannya mendalami seni lukis. Nashar juga menggambar Perempuan dan Tiga Anaknya (1964), Rakit (1967), Bunga Sri Rejeki (1969), dan figur-figur lain dengan strategi pemberian judul yang terang.
Memasuki pertengahan 1970-an, ''pembangkangan'' Nashar terhadap selera pasar mulai terlihat. Garis-garis dalam lukisannya seperti dibuat tidak melalui proses perencanaan, tanpa orientasi, tidak mengacu pada tema atau objek tertentu dan tidak diandalkan sebagai goresan awal atau akhir lukisannya.
Suatu ketika garis itu tebal, kali lain kerempeng. Melengkung lugas di satu sisi dan kaku membentuk sudut pada sisi lainnya. Ada yang memotong garis lain, ada juga yang menindih, tanpa kecenderungan penegasan atas dimensi ruang dan objek tertentu. Kadang satu kumpulan garis merupakan bagian dari ide tentang "kayu-kayu tua". Kali lain, kumpulan yang mirip-mirip itu terjudulkan sebagai "banjir bandang".
Sekali waktu "angin gunung, di lain waktu "instalasi". Saya menebak sebuah bentuk dengan kemungkinan judul yang berkaitan dengan perahu. Saya cukup senang begitu mendapati judul sesungguhnya, Perahu (1979). Tapi, untuk formasi garis dan goresan yang mirip-mirip itu, saya kecele karena menemukan judulnya ternyata Jembatan (1978).
Tidak jarang Nashar mempersilakan orang lain memberi judul pada lukisannya, sesuai dengan kata hati yang mengalir ketika dia melukis. ''Pada suatu kali, ia menggambarkan makhluk-makhluk biomorfis yang menggeletar dan menghadirkan ritme,'' tulis Agus Dermawan. Orang lain lantas memberinya judul Cacing Tanah (1986).
Putu Wijaya mengungkapkan, tema-tema lukisan Nashar dalam periode ini sarat dengan tema lingkungan dan kemanusiaan. ''Entah kenapa, saya merasa, Nashar sangat dekat dengan manusia, meskipun yang dilukisnya hanya kaktus,'' tulis Putu Wijaya dalam sebuah katalog pameran tunggal karya-karya Nashar di Bali pada tahun 2000.
Perubahan dari modus ungkap figuratif ke non-figuratif itu, menurut Nashar dalam beberapa kesempatan, dipengaruhi tiga pementasan drama Putu Wijaya, Lho, Entah, dan Nol. Pada saat itu, Nashar terlibat dalam kelompok teater Putu. Ketika latihan, Nashar meminta setiap pemain mengosongkan pikiran dan berekspresi secara total, setotal-totalnya.
Periode ini dikukuhkan oleh Nashar dengan memproklamasikan kredo ''tiga non''-nya yang terkenal. Yakni non-teknik, non-estetik, dan non-prakonsepsi. ''Melalui kredo tiga non itu, karya-karya Nashar lahir melalui proses yang alami tanpa dibebani oleh bingkai estetika tertentu,'' tulis Agus.
Kemudian, pada awal 1990-an, ketika penyakit mulai menuntut tubuhnya berlama-lama di rawat di rumah sakit, lukisan Nashar banyak dihiasi bentuk wajah, seperti topeng dan atau sosok hantu dalam cerita animasi kanak-kanak. Ajip Rosidi menyebut objek-objek itu sebagai ''tuyul''.
Konon, gambaran serupa hantu itu adalah sosok yang sering dilihat Nashar pada saat dirawat di rumah sakit. Kali lain, kepada Efix Mulyadi, Nashar berkata bahwa wujud-wujud itu bukanlah manifestasi rencananya untuk menggambarkan bentuk manusia. ''Pada waktu itu saya sakit, dan setiap kali baca koran tentang situasi dan kondisi yang tidak pantas, seperti muncul tampang-tampang manusia menderita,'' tulis Efix, mengutip ucapan Nashar.
Pada 1994, menjelang saat-saat terakhir kehidupannya, Nashar memperlihatkan tiga lukisan kepada Ajip Rosidi. Lukisan itu menunjukkan perubahan kecenderungan objeknya: berupa jejak-jejak atau telapak kaki. ''Motif lukisanku berikutnya adalah telapak kaki,'' kata Nashar kepada Ajip ketika itu.
Nashar meninggal pada 13 April 1994 karena penyakit paru-paru. Telapak-telapak kaki itu seperti penanda menjelang kepergiannya membawa kekerasan hati, pembangkangan, idealisme, kemelaratan, dan absurditas hidupnya. Pergi meninggalkan lukisan-lukisannya yang belum laku di pasaran.
Lima tahun setelah Nashar meninggal, menurut catatan Agus Dermawan, lukisannya mulai dilirik banyak kolektor. Rumah lelang lukisan komersial lantas melelang karya Nashar. Apresiasi yang berangkat dari jendela ekonomi semacam ini, kata Agus, jauh dari bayangan kehidupan lukisan Nashar dan pribadinya yang "puritan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar