Senin, 05 Mei 2014

Sell Books > Jual Buku POLITIK LOKAL DI INDONESIA

Jual Buku POLITIK LOKAL DI INDONESIA Henk Schulte NordholtJudul Buku: POLITIK LOKAL DI INDONESIA
(Judul Asli: Renegotiating Boundaries; Local Politics in Post-Suharto Indonesia)
Editor : Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
Penerjemah : Bernard Hidayat
Penerbit : YOI dan KITLV-Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xvi + 706 Halaman
Harga Rp 150.000
Sejak sepuluh tahun proses reformasi digulirkan, terjadi pergeseran politik pasca lengsernya Soeharto yang merambah hingga ke ranah politik lokal. Terhitung mulai Juli 2005, sejak penerbitan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mengatur sistem pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada), banyak “festival demokrasi” atau pesta politik digelar di berbagai daerah: gubernur di tingkat provinsi dan bupati atau wali kota di tingkat kabupaten/kota.
Inilah pendulum demokrasi yang bakal mengubah peta politik lokal, setelah selama lebih dari tiga dasawarsa masyarakat terbiasa dengan drop-dropan pejabat daerah yang dikendalikan dari pusat. Lantas, bagaimana kita merefleksikan kembali tumbangnya Orde Baru dan proses reformasi ini secara empiris dan teoretis? Bagaimana membaca bangkitnya politik lokal di tengah penerapan instrumen Pilkada itu? Apakah praktek desentralisasi kekuasaan itu otomatis akan menumbuhkan demokratisasi lokal? Atau hanya akan mengembangkan gejala desentralisasi oligarki? Apakah daerahisme akan lebih menonjol? Atau apakah sektarianisme dan separatisme berbasis politik etnisitas dan agama bakal menjadi praksis politik yang menguat di pelbagai daerah?
Buku yang aslinya berjudul Renegotiating Boundaries; Local Politics in Post-Suharto Indonesia ini secara garis besar mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Secara sistematis, di samping pengantar dan pendahuluan, buku ini berisi 18 hasil penelitian mendalam yang dilakukan 24 penelititerutama dari Indonesia dan Belanda, juga dari Amerika Serikat, Australia, Jerman, Kanada, dan Portugal-selama dua tahun, dan disajikan dengan bahasa yang mudah dicerna.
Berbagai tulisan dalam buku ini menghadirkan dinamika politik lokal secara spesifik dan tajam. Dari mulai dinamika di Aceh, Riau, Sumatra Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, sampai dengan di Papua dikupas secara mendetail dan menarik. Para penulisnya memiliki pemahaman yang sangat baik tentang subjek yang menjadi kajiannya, dan hal ini membuat kejadian- kejadian di tiap wilayah itu diberi konteks yang benar dan dianalisis dengan alat analisis yang tepat pula.
Setiap tulisan dalam buku ini seakan memberikan potret mikro Indonesia dan membawa pembaca untuk melihat bentuk mozaik Indonesia dengan indikasi-indikasi, bahwa di berbagai daerah yang diteliti masih percaya pada potensi politik pluralis yang cukup besar sebagai basis pengembangan masyarakat sipil. Tetapi para peneliti juga melihat besarnya kemungkinan berlanjutnya kekuasaan negara yang berwatak otoritarian, juga berbagai operasi politik kalangan elite dominan yang memainkan isu-isu pertentangan agama dan etnis dalam berbagai konflik sosial di seluruh wilayah di Indonesia. Dua kecenderungan tersebut, menurut editor dalam pendahuluan buku ini, masih berlangsung di dalam proses politik lokal.
Meski desentralisasi belum menghasilkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan lokal.
Dengan gambaran tersebut, Jaap Timmer, misalnya, dalam penelitiannya Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua juga menunjukkan bahwa politik lokal tampaknya memang segera akan berkembang menjadi lokus bagi perluasan praktek oligarkis. Desentralisasi kekuasaan yang dimanfaatkan oleh aliansi-aliansi kepentingan elite politik dan ekonomi di tingkat lokal tak lain hanya menjadi wahana bagi desentralisasi oligarki (hlm. 595).
Begitu kelamkah potret desentralisasi demokrasi di era pasca- Soeharto? Kalau kita membaca hasil penelitian dalam buku ini secara keseluruhan dan mendalam, jawabannya tentu saja: ya. Buku ini memang enak dibaca kalau kita tertarik dengan pendekatan-pendekatan teoretis untuk memahami dinamika politik lokal di era pasca- Soeharto. Ada sebuah pesan implisit tentang betapa parsialnya kajian politik Indonesia bila hanya memfokuskan pada dinamika politik nasional saja. Lebih jauh lagi, ada berbagai persoalan politik nasional yang dapat dirunut awalnya dari daerah dan begitu pula sebaliknya.
Selain itu, buku ini juga menggambarkan harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan dalam masyarakat Indonesia di pengujung abad ke-21, khususnya di daerahdaerah yang terabaikan kebijakan Orde Baru, seperti rusaknya gagasan tentang bangsa, legitimasi negara dipertanyakan, sifat dan masa depan identitas-identitas daerah digugat, dan batas-batas antara ‘negara’, ‘bangsa’, ‘daerah’ telah menjadi wilayah-wilayah konflik.
Namun di tengah pergunjingan mengenai batas-batas itu, buku ini menyimpulkan bahwa orang-orang Indonesia juga menunjukkan kepercayaan diri yang mengagumkan bahwa masa depan bisa dibuat baru, sebuah ketahanan yang mencengangkan dalam menghadapi ketidakpastian dan kemiskinan, beserta tingkat kesantunan yang tinggi dalam menghadapi perbedaan- perbedaan (hlm. 41).
Sebenarnya, ada banyak hal yang dapat diceritakan tentang dinamika politik lokal di berbagai tempat di Indonesia. Namun, yang masih terasa kurang dalam buku ini adalah gambaran perbandingannya dengan daerah lain di Asia Tenggara. Tema inilah yang harus terus digali mengingat ada kemungkinan menawarkan kemajemukan data empiris dan karena itu akan memperkaya penafsiran teoretis.
Demikian pula halnya dengan perspektif perbandingan di mana politik lokal di Indonesia bisa dibandingkan dengan Thailand, Filipina, dan Malaysia. Misalnya, studi politik lokal tingkat provinsi dan tambon (setingkat kabupaten/kota) di Thailand telah maju pesat. Begitu juga studi di Filipina untuk tingkat provinsi dan barrio (desa). Barangkali dan semoga kekurangan ini akan diisi oleh para peneliti dan akademisi lain, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Hadirnya buku ini jelas membuat pemahaman kita akan politik lokal Indonesia makin mendalam dan bernuansa. Editor dan terutama para penelitinya harus dihargai atas upayanya melebarkan horizon penelitian berspektrum luas. Karenanya, buku ini sayang diabaikan, terutama bagi mereka yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema politik lokal.
TASYRIQ HIFZHILLAH Pemerhati sosial, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar