Judul : Rakyat dan Senjata
Penulis : Imam Soedjono
Harga : Rp. 60.000.
Penerbit : Resist Book
Terbit : I, November 2011
Halaman : x + 352 Halaman
Kondisi Baru
Pemberontakan bersenjata acap kali dipicu oleh ketidakpuasan rakyat yang berlangsung menahun. Ketidakadilan, perasaan tertindas, hingga diskriminasi adalah faktor-faktor yang menyulut pemberontakan tersebut.
Hal di atas biasanya diperparah oleh ketidakmampuan rejim untuk memenuhi tuntutan rakyat. Rakyat yang tidak melihat titik terang penyelesaian persoalan, akhirnya merasa harus berbuat sesuatu. Mereka akhirnya mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan.
Lewat buku inilah akar sejumlah peristiwa pemberontakan yang terjadi di negara-negara Asia, yakni Tiongkok, Filipina dan Vietnam, dibongkar. Tidak hanya petikan sejarah, buku ini juga mencoba untuk memperlihatkan bagaimana konflik berkembang di tengah kelompok yang saling berseberangan. Kelompok tersebut misalnya saja kaum borjuis dan kaum proletar.
Seperti yang terjadi di Tiongkok. Lahirnya PKT (Partai Komunis Tiongkok) pada tahu 1921, didasari atas pertentangan kelas antara kaum buruh dengan kaum borjuis. Bahkan dalam kongres pertama PKT dideklarasikan bahwa organisasi itu harus menggulingkan kaum borjuis dengan menggunakan tentara revolusioner proletar.
Sedangkan yang terjadi di Filipina, salah satu faktor pemicu pemberontakan bersenjata adalah kekuasaan asing yang dominan, yakni kekuasaan Jepang. Hal ini tidak saja terjadi di Filipina, namun juga di sejumlah negara Asia lainnya seperti Indonesia.
Selain itu, masih di Filipina, pemberontakan rakyat juga terjadi melawan para tuan tanah. Pemberontakan ini pecah ketika kaum Sakdal yang menginginkan reformasi nasional menuntut pembagian tanah dari para tuan tanah.
Karena keinginan tersebut dianggap mengganggu, maka gerakan kaum Sakdal dinyatakan dilarang. Sebagai reaksi, terjadi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh puluhan ribu petani. Namun pemberontakan tersebut berhasil diredam oleh tentara pemerintah.
Pemberontakan lain yang tercatat dari Filipina adalah pemberontakan untuk menggulingkan presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Kediktatoran Marcos yang tidak dapat ditolerir oleh berbagai elemen masyarakat, telah menyudutkan presiden itu ke jurang kehancuran.
Berbagai janji Marcos yang tidak sepenuhnya dipenuhi, serta semakin merajalelanya korupsi para pejabat, telah memperkuat sikap anti Marcos. Oposisi bermuculan dari berbagai arah. Marcos akhirnya tidak dapat menahannya lagi dan ia harus menyerahkan kekuasaannya
Buku ini mengingatkan, mencuatnya pemberontakan bersenjata tidak semata-mata terjadi demi perebutan kekuasaan. Pemberontakan, yang kadang-kdang menjadi gerakan revolusi, selalu memiliki akar historis yang panjang.
Akar historis itu adalah tidak tercapainya keadilan dari lembaga-lembaga ataupun otoritas yang seharusnya dapat memberikannya. Merosotnya kemampuan lembaga pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan rakyat juga memperparah kondisi ini.
Oleh sebab itu, siapa pun yang tengah memegang tampuk kekuasaan sebaiknya memerhatikan hal ini. Lalai dalam memenuhi rasa keadilan rakyat, pembiaran terhadap penindasan, dan ketidakberpihakan kepada rakyat, adalah awal dari perlawanan yang dampaknya panjang.
dimuat di HU Koran Jakarta 27 januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar