Judul : Tangklukan, Abangan, dan Tarekat agama di Jawa
Penulis : Ahmad Syafi’i Mufid,
Harga : Rp 65.000,- jadi 59.000
Pengantar : Tangklukan, Abangan, dan Tarekat agama di Jawa
Penerbit : Yayasan Obor Jakarta,
Terbit : 2006
Tebal : xi + 322 halaman
Kondisi Baru Bagus
Sinopsis: Perubahan kebudayaan karena strategi modernisasi juga
memiliki dampak, yakni kecemasan dan keterasingan. Gejala psikologis
semacam ini mendorong sebagian warga kembali mengamalkan ajaran dan
praktik tarekat. Sebagai elemen Islam yang pertama kali diterima oleh
orang Jawa, tarekat pada dekade 1980-an tumbuh dan berkembang dengan
pesat. Salah satu aliran tarekat yang paling berpengaruh di Indonesia
adalah tarekat Qadariyah wan Naqsabandiyah. Tarekat ini menjadi menarik
karena ajaran dan pengelamannya relatif mudah dan tidak memberatkan
termasuk bagi orang abangan dan tangklukan.
Resensi: Membaca trend keberagamaan di Indonesia dewasa ini, terlihat sekali bahwa spirit agama belum menjadi common denominator (kalimatun sawa’) dalam merancang etika kebangsaan dan kenagaraan. Yang terjadi agaam justru dijadikan komoditas kepentingan (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya), sehingga pesan agama dalam membangun persaudaraan dan perdamaian seringkali tersendat, terlantar, bahkan tergadaikan. Sejarah mencatat bahwa sidang konstutuante tahun 1950-an gagal mencapai kesepakatan dikarenakan elite politik menjadikan agama sebagai komoditas kepentingan, sehingga rumusan agenda kebangsaan gagal terwujud. Berbeda dengan yang dilakukan para Wali Songo. Agama ditangan para wali justru tampil sebagai spirit dalam melakukan kerja-kerja kebangsaan. Spirit agama tampil digarda depan untuk membuka kran-kran penindasan dan penjajahan.
Spirit keberagamaan Wali Songo inilah yang coba ditelaah lebih mendalam dalam buku “Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa”. Penulis melihat bahwa para wali mampu menampilkan agama sebagai spirit persaudaraan dan perdamaian. Agama tidak melihat perbedaan status sosial masyarakat tertentu. Pesan keberagamaan para wali itu kemudian dilanjutkan para kiai di Jawa. Buku secara kritis membaca gerakan perdamaian dakwah agama KH Ahmad Durri Nawawi, mursyid tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah Kajen Pati Jawa Tengah. Para kiai pemimpin tarekat di Indonesia telah membawa agama Islam dengan strategi yang sangat halus, damai, dan moderat. Jalan moderat para kiai tarekat tersebut terlihat ketika mereka mengajak umat memeluk agama. Mereka tidak pernah memaksakan agama Islam kepada masyarakat. Mereka lebih concern mengajak masyarakat untuk menebarkan persaudaraan. Terbukti, para kiai bisa tampil berdakwah dengan lapisan masyarakat yang beragam. Gus Mik Kediri, misalnya, justru tampil dengan para preman, germo, dan para gelandangan di Surabaya dan sekitarnya. Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari justru memilih desa Tebuireng sebagai tempat pesantren, padahal Tebuireng waktu itu merupakan markas besar para bromocoroh (penjahat). Demikian juga KH As’ad Samsul Arifin yang mampu mengakrabi pimpinan bromocoroh daerah Tapal kuda, sehingga banyak pengikutnya yang masuk Islam kepada Kiai As’ad. Dalam konteks perjuangan membela kemerdekaan, merekalah yang mampu memobilisasi massa dalam mengusir berbagai tindak penjajahan. Bahkan ketika melakukan pertempuran di Ambarawa Jawa tengah, banyak para kiai yang gugur, termasuk KH Mahfudh Salam, ayah KH MA. Sahal Mahfudh (hal. 230).
Potret keberagamaan yang ditorehkan para wali dan kiai tersebut sungguh telah banyak terdistorsi dewasa ini. Agama sering kali dijadikan sebagai modal menggapai kursi kekuasaan. Simbol-simbol agama bukannya dijadikan modal untuk menggelorakan perlawanan atas ketidakdilan dan kesewenangan, melainkan dijadikan media menduduki posisi strategis tertentu. Ironisnya lagi, mereka sering mendemontrasikan agama sebagai ideologi negara, padahal itu hanya akan mendistorsi pesan damai kehadiran agama. Karena agama telah terkooptasi gerakan dan tafsir kelompok tertentu, sehingga wajah agama seolah tunggal, menafikan tafsir spirit lain yang lebih transformativ dan emansipatoris (hal 89). Berbagai distorsi spirit agama tersebut di Indonesia pasca reformasi telah terjadi. Banyak partai politik yang mengatasnamakan agama tertentu, dan mengklaim merekalah wakil umat agama tersebut. Dari kasus era reformasi terlihat bahwa agama justru menjadi media menggapai kekuasaan, bahkan menjadi sumber konflik, karena sering menafikan kelompok lain yang tidak sefaham dan sealiran.
Pesan damai bangkitnya agama di Jawa yang telah dicontohkan para wali dan kiai yang telah terekam dalam buku ini mampu membantu pembaca dalam menganalisis berbagai trend keberagamaan kontemporer. Bukan sekedar memotret relasi agama dan kekuasaan, buku ini juga menawarkan konsep agama dalam merumuskan agenda kebudayaan dan peradaban di masa depan. Beradasarkan pemaparan buku ini, agama yang harus kita hadirkan di Nusantara adalah agama yang mampu tampil sebagai kritik sosial untuk menggapai kemaslahatan sosial. Kritik sosial berarti agama harus memihak berbagai tindakan yang menggerus ketidakadilan dan menyuburkan kesewenangan.
Agama selalu memihak kaum mustad’afin yang selama ini selalu dimarginalkan. Setelah tampil sebagai kritik sosial, maka hasilnya harus dimaksimalkan untuk kemaslahatan sosial. Hal inilah yang dilakukan Umar bin Khattab ketika menjadi pemimpin Islam. Dia dengan gagah berani mengkritik berbagai diskriminasi dan ketidakadilan, tetapi hasil kritik semata untuk kemaslahatan umat, bukan dirinya dan keluarganya (hal 132). Berbeda dengan manusia pascamodern sekarang. Pada awalnya mereka begitu gigih mengkritik rezim tertentu, tetapi ketika diberi kursi kekuasaan, mereka diam seribu bahasa.
Spirit kritik sosial untuk kemaslahatan umat inilah yang oleh penulis harus terus dilestarikan umat beragama di Nusantara. Mereka yang menyandang pemimpin, oleh penulis, sebaiknya mengkaji ulang peran politisnya dalam lingkaran kekuasaan. Karena ternyata para pemimpin agama, kiai misalnya, gagal mentransformasikan spirit agama ditengah lingkaran kekuasaan. Para pemimpin agama sebaiknya berada dalam garis oposan yang leluasa mengkritik kebijakan yang tidak merakyat dan bebas melakukan pemberdayaan dakwah masyarakat tanpa terikat kepentingan politik kekuasaan partai.
Demikian itu yang telah dilakukan para kiai dulu, sehingga Indonesia mampu menggapai kemerdekaan. Para kiai sukses menyajikan agama untuk membebaskan Indonesia dari penjajah. Para kiai berjuang tanpa kepentingan politik. Mereka ikhlas, sehingga ketika Indonesia merdeka mereka tidak berebut kursi kekuasaan. Mereka mengamanahkan kuasa negara kepada kaum cendekiawan dan negarawan yang lebih kompeten dalam administrasi kenegaraan. Pesan-pesan perjuangan dan kebangkitan keberagamaan di Jawa yang penuh kedamaian dan ketulusan dalam buku ini sangat tepat untuk menghadirkan agama sebagai etika kebangsaan dan kenegaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar