Harga Rp 95.000
Penulis Ibrahim Hasan
Yayasan Malem Putra
Tahun 2003
Tebal xx+584hlm
Ukuran 16 x 23cm
Kondisi Stok lama , Fisik Baru, 1buah
Oleh Teuku Kemal Fasya
Ketika selesai membaca biografi yang tebal ini, saya kemudian mencari-cari di manakah posisi yang tepat untuk saya sebagai seorang pembaca dan juga agen sejarah? Hal ini sebagai reaksi agar terhindar dari sikap fetishism atau apriori yang bisa saja tertular akibat terlalu banyak mengonsumsi sejarah yang dituliskan orang lain, atau sejarah dari versi di luar kita.
Sejarah harus dilihat sebagai sesuatu yang membuka mata dari kemungkinan-kemungkinan dan pencarian-pencarian generasi masa depan. Saya jadi paham apa yang pernah diungkap oleh seorang sejarawan Inggris terkenal, H.A.L Fisher�dan dikutip oleh Richard J. Evans, In Defence of History, (1997)�bahwa tujuan mempelajari sejarah bukan hanya untuk mengetahui ritme, plot, atau ketetapan-ketetapan yang ada sebelumnya, tapi menjadi takdir yang harus dihadapi manusia.
Seperti menyusuri satu gelombang yang datang setelah gelombang lain terempas.
Apa yang terceritakan dalam biografi Ibrahim Hasan juga merupakan bagian dari gelombang yang datang dan terempas itu. Saya, masyarakat Aceh manapun, atau siapapun yang pernah hidup dalam setting atau kondisi itu tentu memiliki persepsi yang tak mudah digoyang, kecuali hanya melengkapi apa yang pernah termiliki.
Ada beberapa hal yang bagi saya tetap tersimpan dalam dokumen dan memori sosial. Di antaranya adalah keberhasilannya menancapkan paradigma pembangunan ekonomi bagi daerah yang sebelum itu tak mampu ditaklukkan �Jakarta�. Hanya perlu setahun (1986) setelah menjabat sebagai gubernur, ia mampu memecahkan rekor memenangkan Golkar di provinsi terakhir pertahanan PPP itu. Bukanlah kerja biasa mempengaruhi kultur Islam yang telah membumi di negeri Serambi Mekkah ini.
Dengan cara yang konkret dan pragmatis, ia mampu menyibak-nyibakkan pecut politik dengan misi �sepuluh terobosan pembangunan Aceh�. Belum lagi upayanya memindahkan makna simbolis bahwa Islam tak hanya di Ka�bah (simbol PPP), tapi juga di rerimbunan beringin besar. Ada banyak jargon yang menjadi sistem bujukan kompleks yang digunakan oleh Ibrahim Hasan. Strategi komunikasinya menggunakan pantun juga turut melunturkan sikap keras pendirian politik masyarakat Aceh.
Sebagian pantun ia munculkan dalam biografi ini. Kegigihannya melakukan muhibah ke daerah-daerah terpencil turut menaikkan citra dan popularitasnya. Tercatat hanya dua kecamatan saja yang belum ia singgahi sepanjang menjabat sebagai gubernur.
Dokumen lain yang tersimpan dalam ingatan sosial adalah tentang pemberlakuan DOM, yang dikenal dengan istilah �Operasi Jaring Merah�. Konon pemberlakukan ini berdasarkan desakan beberapa konglomerat Aceh yang tinggal Aceh dan Medan, untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan setelah kesuksesan pemilu 1987 dan menjelang pemilu 1992.
Tak syak lagi, ramai orang menggunjingkan permasalahan ini pascareformasi, dan mengaitkan dirinya sebagai penyebab langgengnya harmoni derita dengan represivitas militer di Daerah Istimewa Aceh. Mungkin kita ingat sebuah tinju sempat melayang ke muka Ibrahim Hasan dari seorang pemuda Aceh di Jakarta, 17 September 1998, yang kesal dengan pilihannya itu saat menjadi gubernur.
Sekarang konflik telah bertunas banyak dan tak menemukan jalan kembali. Ada sebagian orang mengandaikan, jika saja pusat mendengarkan surat ulama dayah (pesantren), awal April 1986, yang dikirimkan kepada Presiden Soeharto dan mereka sempat juga bertemu dengan Mendagri Sudharmono menjelang pemilihan gubernur di Aceh.
Para ulama meminta pusat mendukung periode kedua Teuku Hadi Thayeb. Cerita yang berkembang di pesantren-pesantren, hal ini dikaitkan dengan konsep �ilm al-laduny ulama, kemampuan melihat respons manusia masa depan, yang ternyata diabaikan demi kepentingan kekuasaan sesaat.
Walaupun demikian tetap saja ada sejarah netral dari diri Ibrahim Hasan yang dapat dibaca melalui biografi ini. Sejarah netral berbicara tentang kesungguhannya melanjutkan pengembangan seni budaya dengan ajang-ajang yang sulit terlupa.
Kelompok seniman, tidak hanya yang berasal dari Aceh tapi juga nasional, telah mendapat peran penting semasa kepemimpinannya. Mereka ditawarkannya hak untuk memberi masukan, mengimbangi laju pembangunan dengan visi estetika dan artistika.
Kekayaan ornamen Aceh terbangun di masanya. Komunitas seni kraf juga tumbuh subur dengan kampanye-kampanye yang beragam. Invitasi, eksebisi, dan muhibbah berlangsung meriah.
Ia bahkan turut memarakkan amatan seni gubernur-gubernur Aceh sebelum dan sesudahnya. Ia termasuk di antara tokoh yang berasal dari Aceh yang mampu menasional (prestasi terakhir sebagai Menteri Urusan Pangan dan KaBulog Kabinet Pembangunan VI). Dan yang sulit dilupa, ia memang lebih banyak memperkenalkan Aceh dari perspektif seni dibanding lainnya ke panggung nasional, bahkan internasional.
Khusus mengenai tulisan, ada dimensi kesenangan, kebahagiaan, dan komunikatif mengalir melalui daya tutur naratif teks biografi ini. Saya tak dapat membiarkan bahwa kepentingan plot, informasi, setting kesejarahan, dan penonjolan prestasi pribadi Ibrahim Hasan dapat begitu saja menggantikan kesenangan membaca teks.
Karena itu tak mudah mengklasifikasi biografi ini, kecuali kita memang telah mempersiapkan diri membacanya. Kita harus membaca seperti pengalaman seorang anak-anak ketika menjeput banyak misteri.
Pengetahuan yang mendahului sebelum membaca buku ini hanya sinisme, dan konsumsi terlalu banyak pun akan terserang penyakit jantung. Lebih baik menyaring dan menakar fakta dan data yang terkumpul dalam biografi ini, sebab biografi bukanlah sejarah (dalam pengertian formal), meskipun ia bernilai sejarah.
Terima sajalah ia sebagai sejarah perspektif lain. Seperti kesenangan kita membuka-buka album lama dan memperlihatkannya kepada tetangga atau kekasih hati. Tak ketinggalan juga tuturan yang melengkapi bunga-bunga imajinasi.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Religi
dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Ketika selesai membaca biografi yang tebal ini, saya kemudian mencari-cari di manakah posisi yang tepat untuk saya sebagai seorang pembaca dan juga agen sejarah? Hal ini sebagai reaksi agar terhindar dari sikap fetishism atau apriori yang bisa saja tertular akibat terlalu banyak mengonsumsi sejarah yang dituliskan orang lain, atau sejarah dari versi di luar kita.
Sejarah harus dilihat sebagai sesuatu yang membuka mata dari kemungkinan-kemungkinan dan pencarian-pencarian generasi masa depan. Saya jadi paham apa yang pernah diungkap oleh seorang sejarawan Inggris terkenal, H.A.L Fisher�dan dikutip oleh Richard J. Evans, In Defence of History, (1997)�bahwa tujuan mempelajari sejarah bukan hanya untuk mengetahui ritme, plot, atau ketetapan-ketetapan yang ada sebelumnya, tapi menjadi takdir yang harus dihadapi manusia.
Seperti menyusuri satu gelombang yang datang setelah gelombang lain terempas.
Apa yang terceritakan dalam biografi Ibrahim Hasan juga merupakan bagian dari gelombang yang datang dan terempas itu. Saya, masyarakat Aceh manapun, atau siapapun yang pernah hidup dalam setting atau kondisi itu tentu memiliki persepsi yang tak mudah digoyang, kecuali hanya melengkapi apa yang pernah termiliki.
Ada beberapa hal yang bagi saya tetap tersimpan dalam dokumen dan memori sosial. Di antaranya adalah keberhasilannya menancapkan paradigma pembangunan ekonomi bagi daerah yang sebelum itu tak mampu ditaklukkan �Jakarta�. Hanya perlu setahun (1986) setelah menjabat sebagai gubernur, ia mampu memecahkan rekor memenangkan Golkar di provinsi terakhir pertahanan PPP itu. Bukanlah kerja biasa mempengaruhi kultur Islam yang telah membumi di negeri Serambi Mekkah ini.
Dengan cara yang konkret dan pragmatis, ia mampu menyibak-nyibakkan pecut politik dengan misi �sepuluh terobosan pembangunan Aceh�. Belum lagi upayanya memindahkan makna simbolis bahwa Islam tak hanya di Ka�bah (simbol PPP), tapi juga di rerimbunan beringin besar. Ada banyak jargon yang menjadi sistem bujukan kompleks yang digunakan oleh Ibrahim Hasan. Strategi komunikasinya menggunakan pantun juga turut melunturkan sikap keras pendirian politik masyarakat Aceh.
Sebagian pantun ia munculkan dalam biografi ini. Kegigihannya melakukan muhibah ke daerah-daerah terpencil turut menaikkan citra dan popularitasnya. Tercatat hanya dua kecamatan saja yang belum ia singgahi sepanjang menjabat sebagai gubernur.
Dokumen lain yang tersimpan dalam ingatan sosial adalah tentang pemberlakuan DOM, yang dikenal dengan istilah �Operasi Jaring Merah�. Konon pemberlakukan ini berdasarkan desakan beberapa konglomerat Aceh yang tinggal Aceh dan Medan, untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan setelah kesuksesan pemilu 1987 dan menjelang pemilu 1992.
Tak syak lagi, ramai orang menggunjingkan permasalahan ini pascareformasi, dan mengaitkan dirinya sebagai penyebab langgengnya harmoni derita dengan represivitas militer di Daerah Istimewa Aceh. Mungkin kita ingat sebuah tinju sempat melayang ke muka Ibrahim Hasan dari seorang pemuda Aceh di Jakarta, 17 September 1998, yang kesal dengan pilihannya itu saat menjadi gubernur.
Sekarang konflik telah bertunas banyak dan tak menemukan jalan kembali. Ada sebagian orang mengandaikan, jika saja pusat mendengarkan surat ulama dayah (pesantren), awal April 1986, yang dikirimkan kepada Presiden Soeharto dan mereka sempat juga bertemu dengan Mendagri Sudharmono menjelang pemilihan gubernur di Aceh.
Para ulama meminta pusat mendukung periode kedua Teuku Hadi Thayeb. Cerita yang berkembang di pesantren-pesantren, hal ini dikaitkan dengan konsep �ilm al-laduny ulama, kemampuan melihat respons manusia masa depan, yang ternyata diabaikan demi kepentingan kekuasaan sesaat.
Walaupun demikian tetap saja ada sejarah netral dari diri Ibrahim Hasan yang dapat dibaca melalui biografi ini. Sejarah netral berbicara tentang kesungguhannya melanjutkan pengembangan seni budaya dengan ajang-ajang yang sulit terlupa.
Kelompok seniman, tidak hanya yang berasal dari Aceh tapi juga nasional, telah mendapat peran penting semasa kepemimpinannya. Mereka ditawarkannya hak untuk memberi masukan, mengimbangi laju pembangunan dengan visi estetika dan artistika.
Kekayaan ornamen Aceh terbangun di masanya. Komunitas seni kraf juga tumbuh subur dengan kampanye-kampanye yang beragam. Invitasi, eksebisi, dan muhibbah berlangsung meriah.
Ia bahkan turut memarakkan amatan seni gubernur-gubernur Aceh sebelum dan sesudahnya. Ia termasuk di antara tokoh yang berasal dari Aceh yang mampu menasional (prestasi terakhir sebagai Menteri Urusan Pangan dan KaBulog Kabinet Pembangunan VI). Dan yang sulit dilupa, ia memang lebih banyak memperkenalkan Aceh dari perspektif seni dibanding lainnya ke panggung nasional, bahkan internasional.
Khusus mengenai tulisan, ada dimensi kesenangan, kebahagiaan, dan komunikatif mengalir melalui daya tutur naratif teks biografi ini. Saya tak dapat membiarkan bahwa kepentingan plot, informasi, setting kesejarahan, dan penonjolan prestasi pribadi Ibrahim Hasan dapat begitu saja menggantikan kesenangan membaca teks.
Karena itu tak mudah mengklasifikasi biografi ini, kecuali kita memang telah mempersiapkan diri membacanya. Kita harus membaca seperti pengalaman seorang anak-anak ketika menjeput banyak misteri.
Pengetahuan yang mendahului sebelum membaca buku ini hanya sinisme, dan konsumsi terlalu banyak pun akan terserang penyakit jantung. Lebih baik menyaring dan menakar fakta dan data yang terkumpul dalam biografi ini, sebab biografi bukanlah sejarah (dalam pengertian formal), meskipun ia bernilai sejarah.
Terima sajalah ia sebagai sejarah perspektif lain. Seperti kesenangan kita membuka-buka album lama dan memperlihatkannya kepada tetangga atau kekasih hati. Tak ketinggalan juga tuturan yang melengkapi bunga-bunga imajinasi.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Religi
dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar