Buku Kemunculan Komunisme Indonesia
Harga 198.000
Penulis Ruth T. McVey
Penerbit Komunitas Bambu
Berat 0.875 kg
Ukuran 21 x 14 cm
ISBN 9793731648
Jenis Sampul Hard Cover
Waktu Terbit 2010
Jumlah Halaman 680 hal.
Kondisi Baru
Buku klasik tentang sejarah kemunculan ideologi komunisme di Asia dan perannya dalam awal pergerakan kebangsaan Indonesia. McVey berhasil menguraikan secara lengkap lahir dan berkembangnya Partai Komunis Indonesia dalam pergolakan politik perlawanan terhadap kolonialisme serta pertarungan ideologi baik secara internal maupun dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa pra-kemerdekaan. Di masa orde baru, buku ini termasuk yang dilarang beredar di Indonesia dan hanya menjadi bacaan terbatas dikalangan akademisi. Catatan terpenting adalah buku ini mendokumentasikan dan menyingkap secara lengkap peristiwa 1926-1927.
Resensi: endibiaro.blogdetik
Tepat di awal Abad 20 (sekitar 1900-an awal), sejarah sosial di Hindia Belanda menggeliat kencang. Kurun waktu itu tanah koloni belanda di nusantara ini sibuk menjemput aneka inovasi, baik dalam bidang budaya, pemikiran, perdagangan, dan bahkan perangkat teknis (teknologi). Semua itu berakibat nyata: kaoem priboemi bergerak!
Di ranah budaya, misalnya, kaum priboemi sedang bergairah dengan hidangan hiburan moderen, seperti seni teater (dikenal dengan teater Stamboel), tayangan gambar idoep atau film, dan tumbuhnya elit-elit terdidik di kalangan ningrat dan kelas atas. Sementara di bidang pemikiran, bumi Hindia Belanda ramai dengan ide-ide baru, termasuk gagasan pembaruan ke-Islaman (terutama oleh SI, Muhammadiyah, dan dalam hal tertentu juga NU). Lantas di bidang teknologi, dengan pengaruh sosial yang meluas, adalah semakin kuatnya itikad kumpeni Belanda melakukan pembaharuan infrastruktur, misalnya jaringan kereta api, trem, dan pabrikasi (terutama industri gula).
Dalam celah perubahan sosial itulah komunisme masuk, awalnya oleh Sneevilt, Adolf Deboer dan puluhan Belanda atau Eropa lainnya. Ketika ISDV dibentuk (cikal bakal PKI), dari seratusan anggota, hanya tiga orang saja dari pribumi. Lalu dengan cepat merekrut anggota hingga mencapai angka seribuan. Tetapi yang mengejutkan, tanpa berlama-lama, PKI menyebar ke segala arah, hingga Ternate, Minangkabau, Solo, Banten, dan terutama Batavia.
Sejujurnya, fakta inilah yang bisa dijadikan pintu masuk, jika ingin menyelami proses perkembangan PKI yang sedemikian progresif-revolusioner. Betapa sebuah ide baru, di tengah rakyat yang terjajah dan (sebagian besar) buta hurup, yang mayoritas Islam, bisa menggerakan politik revolusioner dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (tak lebih dari 10 tahun PKI mampu melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Wong Londo). Tambahan lain, betapapun PKI adalah bagian dari eksperimen politik perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan mengisi kekosongan gerakan rakyat yang saat itu masih mencari bentuk.
Tanpa mengenyampingkan peran sejarah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan perserikatan kebangsaan lain di waktu itu, tetap saja tertinggal beberapa langkah dari PKI. Setidaknya dalam aksi-aksi real politik, seperti pemogokan, demonstrasi acak, boikot, atau bahkan propaganda serta agitasi yang terbuka.
PKI Populis
Meski sulit, terutama alam pemikiran Indonesia yang pekat dengan communistophobia (anti komunis!), kita bisa melakukan penalaran obyektif terhadap kontribusi PKI dalam sejarah sosial di tanah air. Minimal, dengan mencacah karakter gerakan yang mereka perlihatkan. Berbeda dari sebelumnya, seperti perlawanan perang Atjeh, perang Dipenogoro, Perang Maluku, dan Perang Paderi di Minangkabau, yang sempat menguras energi militer Belanda, toh, masih kental dengan spirit regional-kultural. Di sini, PKI berbeda (bahkan dengan Boedi Oetomo dan SI). Gerakan PKI, harus diakui, memiliki corak moderen, dengan mengusung gerakan yang bersifat internasional (misalnya dukungan cominteren Rusia, dan beberapa kelompok komunis di Eropa), ideologis, dan plural.
Buku Ruth McVey ini, yang berjudul Kemunculan Komunisme Indonesia, jelas-jelas membuka perspektif itu, yaitu sifat internasional PKI dan sekaligus dinamika nasionalnya (yaitu tumbuh geraknya di Indonesia). Dalam bagian Kata Pengantar, Ruth McVey tanpa ragu mengatakan: Pada 1924, PKI beranggotakan 1.000 orang, pada saat itu pula partai dipandang sebagai memiliki pengikut dan simpatisan terbesar di antara kelompok politik lain di Indonesia. Karena hubungan PKI tidak dibatasi hanya dengna kaum elite, tidak ada upaya membatas partai hanya untuk kalangan terdidik, dan melibatkan masyarakat moderen dan tradisional (halaman xxii).
Mari perlakukan keterangan itu untuk memenuhi interpretasi yang adil, misalnya dengan memancang acuan dari teori tafsir sosial dari Emile Durkheim, yang mengatakan bahwa perlakukanlah fakta sosial sebagai perihal saja (thing). Panduan ini cukup aman dipakai, untuk memberi apresiasi terhadap PKI —terutama di frase awal sejarahnya.
Konteks kontribusi sejarah sosial PKI adalah proses paling awal yang memperkenalkan Indonesia dengan politik populis, disertai dengan kerja-kerja terorganisir. Jangan lupa, saat itu, faktor kepemimpinan PKI yang sesungguhnya sangat berkelas. Sneevilit, misalnya, adalah alumni serikat buruh PKI di Belanda, yang berpengalaman dengan teori-teori marxis dan terlatih mengorganisasi kekuatan. Juga Adolf Deboer, yang sangat militant, idealis, serta pandai merancang kampanye publik.
Buku Ruth McVey ini juga menyebut, bahwa tokoh-tokoh pertama PKI di Indonesia, meski sebagian besar digodok di Sarikat Islam, adalah orang-orang cerdas dan sangat intelektual, sehingga memiliki kharisma mendalam. Sebut saja, misalnya Semaun, Alimin dan Darsono, yang rata-rata memiliki kepandaian berbahasa (Perancis, Inggris, dan tentu saja Belanda). Modal itu, tentu memperlancar gerakan politik mereka dalam meraih dukungan massa.
Kontra Islam (?)
Bagian menarik lain, adalah strategi PKI memasang blok dari dalam (halaman 283) terutama di tubuh SI. Dalam perjalanan, taktik ini membuat PKI kian mengakar dan bahkan mampu memperoleh dukungan signifikan dari kalangan Islam multi corak (bukan hanya Islam Abangan dan sekuler, tetapi juga Islam Religius, seperti di Solo melalui Haji Misbach, di Banten, di Semarang, Palembang, dan Minangkabau via Datuk Batuah, dan tempat-tempat lain).
Terlalu gampangan bila menyebut pola-pola ini culas, jika tanpa disertai informasi bahwa semangat zaman waktu itu terlampau menjengkelkan bagi darah perlawanan yang bergolak. Daripada sebagai peralihan ideologis, perpindahan Tokoh Islam SI ke PKI, lebih banyak berpola kekecewaan dan ketidaksabaran. Lantaran melihat SI yang sudah memudar dan tidak lagi kuat sebagai organisasi perlawanan. Di sini berlaku petuah musykil, bahwa siapa cepat, siapa dapat. PKI saat itu adalah organisasi politik paling cepat bergerak dan memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan terbuka. Meski demikian, adalah juga fakta bahwa perseteruan antara tokoh-tokoh Islam dengan PKI telah berlangsung lama dan tajam, misalnya di tingkat visi dan metode.
Perlu diperjelas, seperti uraian buku Kemunculan Komunisme Indonesia ini, saat itu gerakan komunisme internasional dan juga PKI, tidak memasang tembok tebal terhadap kelompok Islam —melainkan justru membacanya sebagai sekutu dan mitra aliansi strategis. Misalnya di Rusia, meski Lenin membenci Islam, tetapi ia mampu berkompromi, mengingat kekuatan aliansi Islam di dalam dan sekitaran Rusia, yang merupakan mayoritas terbesar (misalnya di Bukhara dan Turki). Sementara di tanah air, beberapa tokoh PKI, seperti Tan Malaka, justru terkesan sangat membela Islam (barangkali karena faktor latar budayanya yang Minang). Tak berlebihan, bila hubungan PKI dan Islam saat itu bersifat dialektis —dan belum tercemar oleh noda sejarah apapun, berbeda dengan saat ini.
Celah Revolusi
Tumbuh dengan cepat sekaligus tumpas dalam sekelebatan, maka PKI segera runtuh oleh pemberontakan yang gagal —-di 1926-1927. Imaji-imaji pemberontakan PKI dalam hal ini patah oleh ketiadaan basis yang solid. Tan Malaka misalnya, yang memang sama sekali tak setuju dengan skenario Prambanan (yang merancang pemberontakan 1926 ini), melihat kegagalan itu dengan getir. Menurutnya, agenda terpenting PKI adalah justru membebaskan alam pikir masyarakat Indonesia yang masih tersaput oleh mistisme, feodalisme dan perbudakan.
Begitu pun Semaun (cukup mengagetkan, bahwa menurut Ruth Mc Vey, penulis buku ini, Semaun justru sangat teoritis dan menghormati detil gerakan) juga melihat faktor kegagalan karena belum cukup kader dan organisasi yang tidak kuat. Masih banyak interpretasi lain tentang tumbangnya PKI saat itu, termasuk yang mencurigai provokasi dengan sengaja dari Pemerintah Belanda —yang memancing teror di masyarakat, untuk kemudian menuduh PKI sebagai pelakunya.
Begitulah, seperti nasehat Emile Durkheim, bahwa jika kita melihat sejarah sosial sebagai perihal biasa atau thing, maka akan berujung pada tatapan yang nyaman. Bahwa bagaimanapun, PKI adalah pernah menyebar benih perlawanan, menggerakan revolusi, sekaligus menjadi tumbal eksperimen politik nasional. Mau tak mau, untuk saat itu, peran politik PKI memang tak tergantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar