Judul: Pemikiran Politik dalam Al-Quran
Penulis: Dr. Tijani Abdul Qadir Hamid 40
Harga Rp 50.000Penerbit: Gema Insani Press,
Tahun : 2001
Tebal: 280 Halaman
Kondisi: stok lama, Bagus, ada yang segel
Tersedia 2
DI kalangan pakar Islam, terdapat tiga pemikiran yang berkembang tentang masalah: apakah Al-Quran berpretensi mengatur kehidupan sosial politik umat manusia, atau tidak. Kelompok pertama mengatakan bahwa Islam adalah agama yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia -termasuk politik. Karena itu, Al-Quran, sebagai pedoman hidup umat Islam, juga memuat ihwal sistem politik yang harus diterapkan manusia.
Kelompok ini diwakili oleh, antara lain, Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan Hasan al-Banna -pendiri dan pemuka Ikhwanul Muslimin. Kelompok kedua berpendapat bahwa Al-Quran tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan -dan tidak mengatur- masalah-masalah politik. Menurut kelompok ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah utusan Tuhan, dan tidak diutus untuk menjadi pemimpin politik.
Ke dalam kelompok kedua itu terhisablah, antara lain, Thaha Husein dan Ali Abdurraziq. Kelompok ketiga berpendapat bahwa Al-Quran bukan buku politik yang mengatur secara rinci masalah-masalah kenegaraan. Namun, sebagai pedoman hidup bagi manusia, Al-Quran tidak melupakan sama sekali pembicaraan tentang masalah kenegaraan dan pemerintahan.
Adapun mengenai bentuk dan sistemnya, Al-Quran menyerahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Ini terlihat pada pandangan-pandangan Husein Haykal, Abduh, Fazlur Rahman, dan Muhammad Natsir. Pandangan kelompok terakhir ini, tampaknya, lebih ''masuk akal'' dan dapat diterima.
Kehadiran Al-Quran tidak terlepas dari sistem sosial politik masyarakat Quraisy Mekkah yang despotik dan eksploitatif. Dalam bukunya, Major Themes of the Qur'an, Fazlur Rahman (1919-1988), tokoh neo-modernis Islam asal Pakistan, mengatakan bahwa sejak periode awal, Al-Quran sudah menegaskan cita-citanya untuk menegakkan sebuah masyarakat yang etis, demokratis, dan egaliter.
Pengarang buku ini, seorang pemikir politik Islam dari Sudan, masuk ke dalam kelompok ketiga. Sebagaimana halnya Rahman, Tijani juga menarik benang merah bahwa Al-Quran sudah membicarakan masalah politik ini sejak periode Mekkah. Tijani mengambil contoh surat Al- A'raf (surat ketujuh dalam Al-Quran). Ia membagi surat ini menjadi tiga bagian.
Bagian awal memuat kerangka deskriptif tentang kedudukan manusia di muka bumi, dan apa saja yang harus dilakukannya. Bagian kedua memuat kisah-kisah para rasul Allah yang menyampaikan risalah-Nya. Pada bagian ini dijelaskan pokok-pokok pemikiran politik Al-Quran tentang latar belakang sosio-historis masyarakat yang dihadapi para rasul tersebut, seperti Nuh, Hud, Shaleh, Syu'aib, dan Musa.
Ada benang merah yang dapat ditarik dari pertengahan surat Al-A'raf ini. Yakni, pembangkangan dan perlawanan terhadap kebenaran akan berakhir pada kehancuran suatu masyarakat, atau negara. Kisah para rasul itu menunjukkan bahwa masyarakat yang mereka hadapi pada umumnya menolak kebenaran, berlaku sewenang-wenang terhadap orang yang lemah, hidup mewah dan berfoya-foya, tidak memiliki kepedulian sosial, dan tidak menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan. Akibatnya, mereka mengalami siksaan yang mahahebat dari Allah.
Barulah pada bagian akhir surat ini Tuhan menghibur Nabi supaya tidak terlalu kecewa oleh pembangkangan masyarakat Quraisy Mekkah. Mereka juga akan mengalami nasib yang sama dengan umat-umat sebelumnya, karena sistem politik, ekonomi, dan sosial yang mereka bangun sangat rapuh dan tidak berbeda dengan masyarakat yang dihadapi para rasul sebelum Muhammad.
Buku ini mengombinasikan politik dan tafsir. Dalam buku ini, pengarang mengkaji masalah filsafat politik dengan berpijak pada kerangka tafsir tematik (mawdhu'i) Al-Quran. Tijani mengelaborasi Al-Quran periode Mekkah, sebuah upaya yang langka dilakukan para pengarang lain. Di sinilah letak keistimewaan buku ini.
Drs. Muhammad Iqbal, MA
Dosen ilmu politik Islam, Fakultas Syari'ah, IAIN Sumatera Utara, Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar