Judul Buku : Mahatma Gandhi : Sebuah Autobiografi Kisah tentang Ekserimen-ekperimen Saya
Harga Rp 180.000
Pengarang : M.K Gandhi
Penerbit : Narasi
Tahun terbit : 2009
ISBN 9791681600
Tebal : Xvi + 728
Kondisi Stok Lama, Bagus, Langka
Afrika Selatan. Sebuah negara dengan masa lalu yang cukup suram. Perbedaan identitas menjadi sebuah harga mati. Perlakuan hanya didasarkan pada warna kulit. Menurut saya, itulah penyalahgunaan wewenang Tuhan. Saat menciptakan manusia, Tuhan tak pernah memberitahukan apa warna kulit kita. Mau coklat, hitam, kuning, ataupun putih, bukan persoalan. Berbeda itu sebuah kenyataan yang tak terelakkan dan Tuhan sengaja melakukannya. Tuhan bisa saja membuat kita sama. Bisa saja membuat kita sama tinggi, sama warna kulit, sama ganteng dan sama cakep. Tapi, Tuhan tak melakukannya.
Maka, Afrika Selatan pada masa politik apartheid adalah pelanggaran terhadap rencana Tuhan untuk menghormati perbedaan. Tapi beginilah mungkin sejarah yang harus dituliskan. Karena dengan situasi di sana saat itu, Mahatma Gandhi memutuskan untuk melanglang buana ke sana. Bukan pekerjaan mudah untuk naik perahu dari India ke Afrika Selatan. Ini masa lalu dimana pesawat terbang belum ditemukan dan perlu waktu berbulan untuk mencapainya.
Warga India yang mendapat perlakuan tidak semestinya di negara itu merebut perhatian Gandhi. Meski bukan kali ini ia berada di luar negeri setelah sebelumnya ia belajar ilmu pengacara di Inggris. Tak urung keadaaan orang India di negeri tersebut membuatnya miris. Ini bukan sekedar kisah sinetron. Ia merasakan sendiri perbedaan itu. Tatkala ia kemudian diusir dari sebuah kereta hanya karena ada seorang kulit putih yang tak suka keberadaannya.
“Tapi saya membeli tiket, seperti layaknya tuan itu!” protes Gandhi yang membuatnya dikeluarkan dari gerbong kereta.
Kenyataan yang melukai perasaannya. Mengapa ada perbedaan untuk sebuah warna kulit di dalam gerbong kereta. Mereka yang berkulit putih dan yang berkulit berwarna membayar uang yang sama. Membayar dengan kepentingan yang sama. Tapi inilah yang terjadi, ketika seseorang merasa ada perbedaan di antara mereka, maka perbedaan itulah yang dijadikan landasan.
Ada sebuah pelajaran di sana bagi manusia yang menggunakan logikanya. Termasuk juga ada pelajaran dari Tuhan bagi Gandhi ketika ia harus berada di Afrika Selatan. Sebagai seorang manusia biasa, Gandhi awalnya bukanlah orang yang penuh dengan kepastian. Bukan orang yang pintar, juga bukan orang dengan tipikal membara di hadapan publik. Ia pemalu, bahkan untuk sekedar berkomunikasi dengan orang lain saja ia harus bergetar hebat. Gandhi memang bukan seorang orator yang ajaib, yang bisa menghipnotis banyak orang. Sama sekali jauh dari gambaran seorang tokoh yang bisa menggerakkan massa.
Tetapi, kenyataan bahwa di Afrika Selatan ia banyak menemukan warga India yang disepelekan, membuat hatinya terluka sekaligus terbuka. Ia harus mengerjakan sesuatu. Bukan semata demi uang, tetapi satu hal: kemanusiaan.
Gandhi bukanlah orang kaya, meski ia pengacara di negeri itu. Warga India di sana mengumpulkan uang. Hasil saweran itulah, sebagian digunakan Gandhi untuk menambal kehidupannya. Alhasil, ia bisa berkonsentrasi untuk membela hak-hak warga India tanpa bingung memikirkan panganan apa yang hendak ia santap bersama keluarganya.
Maka, ketika ia kembali ke India, ia membawa berjuta pengalamannya dari Afrika Selatan. Tentang kekerasan yang tak bisa dilawan dengan kekerasan, tentang ketidakadilan yang harus dilawan, dan bagaimana memadamkan nafsu dalam diri pribadi. Hal terakhir inilah yang menjadikan Gandhi agak berbeda dengan tokoh perlawanan lainnya. Ia melawan represifitas, sekaligus melawan ‘dirinya sendiri’.
Sebagai penganut Hndu yang taat, Gandhi melakukan berbagai ritual, seperti puasa. Meski Gandhi pernah merancu dengan ‘melawan’ Tuhan. Secara tidak langsung ia pernah merasakan kehidupannya tidak berarti. Sebuah hal yang manusiawi. Tetapi kelekatannya dengan agama Hindu membuatnya tetap berada pada jalurnya, ditambah dengan isterinya yang juga taat. Semangat kepercayaan yang didukung oleh keluarganya inilah yang membuatnya secara ketat memilah mana yang benar dan salah.
Inilah pertarungan yang ada dalam ‘dirinya sendiri’. Sebuah pertarungan yang tidak mudah. Hasil inilah yang ia bawa dalam perjuangannya melawan ketidakadilan Inggris di India. Ia tidak mengangkat senjata. Menurutnya, ini tidak perlu karena hanya akan memakan banyak korban. Perlawanannya adalah dengan diam. Sebuah bentuk protes yang akhirnya menimbulkan semangat perlawanan banyak pihak. Hingga ia menjadi simbol perjuangan rakyat India.
Saat kemanusiaan memanggil untuk menyatakan persamaan hak antara warga India yang mayoritas beragama Hindu dan minoritas Islam, saat itulah titik nadir datang. Seorang pria Hindu marah dan membunuhnya. Cerita Gandhi berakhir tragis, namun perjuangannya membahana ke saentero jagad.
Bagi Gandhi, proses untuk menjadi sama berartinya dengan perlawanan yang ia lakukan untuk mengakhiri kolonialisme Inggris di India. Tesisnya menjadi lain, bahwa kemerdekaan tidak selalu mengangkat senjata. Dengan diam, ia berhasil menyatukan semangat rakyat India. Keunikan Gandhi memang tak bisa disaingi banyak pihak yang selalu mengokang senjata. Tapi di tangan Gandhi, hal yang tak mudah itu ternyata bisa dipraktekkan.
Membaca buku ini yang sarat kisah humanis dan inspirasi menjadi menarik karena disampaikan dengan gaya feature. Meski terlalu tebal bagi pembaca pemula. Editor: Roed (beritaloka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar