Sedia dan Jual Buku Referensi Skripsi.:Thesis dan Research Bidang: Filsafat.Sosiologi.Antropologi.Pemerintahan.Hubungan Internasional. Politik.Komunikasi.Psikologi.Sejarah.Hukum.Pendidikan.Sastra Budaya dan Bahasa.
Kamis, 07 Agustus 2014
Jual Buku KeberAgamaan yang Saling Menyapa /Mohammad Sabri
Judul Keberagamaan yang Saling Menyapa, Perspektif filsafat Perenial
Mohammad Sabri
Harga Rp 35.000
Penerbit Bigraf
Terbit 1999
Ukuran 14 x21
Kondisi Stok lama, bagus ,1 buah
Ada 3 Masalah pokok yang hendak dikemukakan Muhammad Sabri dalam bukunya ini yakni: Landasan konseptual filsafat Perenial yang diakuinya sebagai kunci untuk memahami ajaran agama-agama yang sangat kompleks dan penuh misteri. Masalah pokok yang kedua adalah letak signifikasi filsafat perennial ini bagi study agama-agama pada masa yang akan datang dan masalah yang terakhir adalah relevansi filsafat perennial ini bagi kehidupan beragama yang beragam di Indonesia.
Pertanyaan pertama mengenai landasan konseptual filsafat perennial ini dijawabnya dengan mengetengahkan 3 konsep utama yang sering dipakai dalam cara atau pendekatan study agama-agama lainnya seperti fenomenologi agama-agama, historical approach dll. 3 Konsep tersebut menyangkut konsep Agama dan Tradisi; konsep Manusia; Alam dan Tuhan menurut Filsafat Perennial.
Suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam paparan Muhammad Sabri tentang konsep-konsep tersebut adalah hampir keseluruhan ide-ide diatas banyak dipengaruhi oleh pemikiran sang Sufi, Muhyi ad-Din ibn al- Arabi lewat ajarannya wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi) yang berbau neoplatonisme yang diacunya lewat karya tokoh pluralis Seyyed Hossein Nasr. Ide mengenai Agama (bentuk tunggal) dalam Filsafat perennial dibicarakan dengan apa yang disebut dengan Tradisi Tunggal yang universal. Dari Tradisi yang Tunggal itu kemudian menjadi agama-agama (bentuk plural) yang menggunakan perwujudan dan simbol-simbol yang beragam. Agama dipilah dalam 2 kategori esoterik atau hakekat (substansi) agama-agama yang menyangkut hubungan horisontal dan mementingkan essensi serta bersifat transendence, kedua adalah eksoterik atau perwujudan agama-agama yang menekankan manifestasi bentuk, simbol, ide-ide atau dogma. Agama-agama secara esoterik atau pada hakekatnya adalah sama karena bersumber dari Tradisi yang Tunggal atau merupakan manifestasi dari Yang Tunggal dan Mutlak itu, sedangkan yang berbeda adalah secara eksoterik atau perwujudan (bentuk-bentuk) lewat simbol-simbol dan dogma yang berbeda. Disini kita dapat pula mencium pengaruh ajaran sufi "kesatuan eksistensi" (wahdat al-wujud)-nya Ibn al-Arabi dimana bentuk-bentuk yang ada adalah hasil pancaran dari Yang Tunggal.
Konsep mengenai manusia menurut filsafat Perennial digambarkan dalam 2 prespektiv secara hitam putih yaitu prespektiv tradisional dan modern. Idealnya adalah ide manusia dalam prespektiv tradisional yaitu sebagai "perantara antara dunia langit dan dunia bumi" atau didalam agama Islam dikenal dengan istilah khalifatullah fi'l-Ard. Manusia ini disebut juga sebagai manusia perenial yang dalam bahasa sufi dikenal sebagai al-Insan al-Kamil (manusia sempurna).
Sementara manusia dalam prespektiv modern adalah "ciptaan dunia bumi ini" atau "manusia dunia" demikian menurut Seyyed Hossein Nasr yang ditandai dengan pengaruh-pengaruh negativ seperti kejatuhan manusia kedalam dosa, dekadensi moral, ketidakpuasan dan keputusasaan. Manusia dalam pandangan modern menempatkan dirinya sebagai pusat segala sesuatu sehingga hal yang bersifat spritual terabaikan. Muhammad Sabri mengutip uraian Seyyed Hossein Nasr yang mengambil contoh manusia di barat sebagai manusia modern yang disebabkan oleh 3 hal yakni gerakan renaisains, perkembangan Iptek dan sekularisasi sejak abad ke 17.
Pada dasarnya manusia -menurut pemahaman perennial- mempunyai kemampuan untuk menerima nilai-nilai yang sakral dengan kata lain manusia itu mahluk religius (homo religi?) karena didalam batin setiap insan terdapat apa yang dinamakan "wahyu batiniah" atau agama asli yang mengarahkan kepada hal-hal yang baik. Sehingga seseorang yang mengenal dirinya (suara hati nuraninya/batinnya) itu juga mengenal suara Tuhan seperti pengertian para sufi man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu.
Proses penciptaan manusia digambarkan secara bertahap yang mengingatkan saya pada tahapan-tahapan dalam ajaran wahdat al-wujud-nya Arabi atau ajaran martabat tujuh. Demikian halnya denga konsep dunia atau Alam yang benar-benar mengambil alih ajaran wahdat al-wujud tadi atau ajaran Emanasinya Neoplatonisme yakni: Alam dilihat sebagai tajalli atau penampakan diri Allah didunia atau tempat Allah bertajalli atau menampakkan diri. Dalam Filsafat perennial alam dilihat sebagai yang terefleksi dari sesuatu yang Esa atau Tunggal oleh sebab itu ditekankan keserasian alam karena ia adalah pantulan dari Sumber Cahaya Yang Tunggal dan Sempurna.
Konsep filsafat Perennial mengenai Tuhan yaitu Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa).
Sudah menjadi konsekwensi dari pemahaman Perennial yang menekannkan Keesaan Yang Mutlak itu sebagai Sumber dari yang beragam sehingga otomatis pengakuan akan Monotheisme ini menjadi sentral pemahaman Perennial dan juga menjadi bahan acuan atau parameter untuk menilai suatu agama yang benar/otentik atau tidak:
"Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti semua agama yang benar dan Otentik (hal. 66)."
Dari pemahaman semacam ini timbul pertanyaan: bagaimana dengan agama-agama yang tidak menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai inti ajaran keagamaan mereka, apakah agama-agama tersebut yang misalnya menekannkan kehidupan duniawi lewat ajaran-ajaran moral dan komitmen sosial yang tinggi kita langsung mencap sebagai agama yang tidak benar dan tidak otentik?, bukankan bentuk eksoteris agama -sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya dalam batasan tentang agama- adalah beragam tetapi hakekatnya satu. Hal ini menurut pemahaman saya, kita kembali membuat barier (batasan-batasan) ketika kita memulai menciptakan kriteria-kriteria tertentu sebagai parameter untuk menilai seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Fenomenologi agama seperti F. Heiler dan juga dikritik sendiri oleh Muhammad Sabri ketika mereka hendak menciptakan "Keimanan yang Universal". Pertanyaan yang berikutnya adalah dengan dasar manakah kita mengambil kriteria yang universal untuk semua?
Konsep Tuhan menurut Filsafat ini dipengaruhi juga oleh ajaran Arabi yaitu Konsep Tuhan sebagai Yang Esa sekaligus Plural dalam TajalliNya (penampakanNya) sehingga Tuhan dan Alam sebagai kesatuan ontologis yang saling melengkapi. Karena Alam adalah tempat Tuhan -yang pada hakekatnya/segi zatnya tersembunyi dan tidak dapat diketahui itu- menampakkan diri (mazhar), maka alam merupakan salah satu sifat/Atribut Tuhan yang nampak. Kesimpulan: Allah adalah transenden dalam zatnya dan imanen dalam sifatnya (bahasa sufi).
Tentang relevansi filsafat perennial terhadap kehidupan beragama di Indonesia dipaparkan oleh Mohammad Sabri melalui dialog antar umat beragama dan studi agama-agama yang mengarah pada usaha pencarian kemungkinan adanya apa yang disebut trancendent unity of religions" (kesatuan transenden agama-agama). Dari model-model dialog yang dipaparkan ada satu bentuk yang menjadi ciri pendekatan perenial yakni dialog Theologis. Disini para perennialis seperti Mohammad Sabri mengeritik lagi ahli fenomenologi agama seperti Rudolf Otto, Joachim Wach yang berhenti pada ide seperti yang kudus (das Heilige: Numinous) melainkan dialog dengan cara perennialistik adalah mengajak kita untuk lebih jauh menyelami sendiri pengalaman keagamaan (religious experience) berupa penyatuan diri dengan Tuhan. Mungkin yang dimaksud oleh Mohammad Sabri dengan hal ini yakni membagi pengalaman keagamaan lewat doa-doa bersama (doa oikumenis). Hal ini ditekankan oleh Moh. Sabri berangkat dari kenyataan kehidupan beragama di Indonesia dewasa ini, dimana dialog-dialog yang terjalin belum menyentuh hal yang azali dan masih bersifat formalistis. Diharapkan dari dialog theologis ala perennialis adalah mencari apa yang disebut sebelumnya yaitu: kesatuan transeden agama-agama sehingga dari padanya terungkap keEsaan Tuhan sebagai Sumber semua agama-agama.
Filsafat Perenial sebagai penyempurna metode studi agama-agama
Moh. Sabri dengan penuh keyakinan bahwa study agama-agama dengan menggunakan pendekatan perennial merupakan "kunci" dari study agama-agama masa depan. Saya -mungkin karena latarbelakang study yang menggunakan historical approach- merasa cara pendekatan perennial ini adalah suatu langkah yang berani menembus batas-batas yang memilah keberagaman yang ada, ia melangkah sangat jauh dibanding dengan pendekatan Fenomenologi yang mematok "daerah terlarang" seperti apa yang dimaksudkan oleh dengan das Heilige: Yang kudus, yang tidak boleh dijamah oleh orang yang tidak "berwewenang" artinya pertanyaan theologis yang mendasar dari suatu agama tidak boleh dijamah oleh orang yang tidak meyakininya secara mendasar karena itu tugas para theolog agama masing-masing dan disitulah letak perbedaan ahli ilmu agama-agama (Religionswissenschaftler/In) dengan para theolog. Bagi saya pendekatan perennial, dengan tidak mengecilkan peranan "aliran lain" (?) adalah yang menyempurnakan cara kerja studi agama-agama.
Terlepas dari upaya para perennial yang sungguh-sungguh untuk kehidupan yang sejuk ditengah-tengah situasi yang majemuk dan beranekaragam, saya masih menekankan (kentara orang historika-nya) masih pentingnya pendekatan historis. Mungkin saya berangkat dari pengalaman pribadi saja, ketika saya belajar ilmu agama-agama khususnya agama Islam, bagaimana historical approach misalnya menolong saya untuk memahami kenabian Nabi Muhammad s.a.w dengan melihat kenyataan sejarah bangsa Arab pada awal abad ke-7 M yang membutuhkan seorang tokoh pembaharu. Kalau nabi Musa mengantar bangsanya, bangsa Israel keluar dari perbudakan di tanah Mesir maka Nabi Muhammad s.a.w. menghantar bangsanya keluar dari perbudakan kebodohan dan zaman kegelapan (jahiliyya). Historical approach juga penting sebagai bahan kajian refleksi dan rekonsiliasi (belajar dari sejarah) dalam rangka mengatasi beban sejarah, contohnya bagaimana orang-orang jerman mengatasi beban sejarah mereka yang berkenaan dengan peristiwa Holocaust dengan cara kemauan untuk kembali mengungkap sejarah dengan jujur dan belajar dari padanya, dengan kata lain ada upaya rekonsiliasi dengan masa lalu. Berkenaan dengan perjumpaan agama-agama seperti yang saya ketengahkan pada awal, bahwa telah dan tengah terjadi kebencian, permusuhan, perpecahan bahkan kematian, diharapkan dari sejarah itulah kita bisa berkaca diri untuk menatap masa depan yang lebih baik. Oleh sebab itu sudah sangat mendesak untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan studi agama-agama yang lebih sejuk dan dapat memberi sumbangan yang besar untuk perdamaian dunia, salah satunya adalah studi agama-agama dengan pendekatan perennial.
Bahan Acuan:
Karl-Josef Kuschel, Vom Streit zum Wettstreit der Religionen. Lessing und die Herausforderung des Islam. Patmos-Dusseldorf, 1998
Makassar, Desember 1999
Pdt. A. Hildebrandt Rambe
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar