Buku EKOFEMINISME II
Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah
Harga 73,000 dari Rp 81.000
Diedit oleh Dewi Candraningrum
Diterbitkan oleh JALASUTRA
Cetakan I, 2014
xii + 332 hlm; 15,5 cm x 23 cm
ISBN: 978-602-8252-91-1
Kondisi : Baru
“Mitos sering dimobilisasi untuk berbagai keperluan politik dan ideologis yang sifatnya regresif, tetapi juga bisa mengalami perubahan ke arah transformatif. Mitos tidak hidup dalam ruang hampa, kedap terhadap dinamika wacana dan politik kekuasaan. Pembongkaran mitos-mitos penguasa perlu dilakukan karena masih banyak sang Dewi dalam mitos-mitos Nusantara tersebut, terperangkap, terepresi di sana”.
Sylvia Tiwon
(University California Berkeley)
“Bagi masyarakat Lombok, konsep lumbung menempatkan perempuan sebagai pengambil keputusan. Konsep yang memilah antara padi untuk konsumsi, padi sebagai bibit, padi yang harus dikonservasi, kepentingan ritual dan spiritual, pun untuk kegiatan pendidikan. Perempuan dan lumbung padi tidak bisa dipisahkan. Umpak atau tempat pijakan tiang-tiang pada bangunan lumbung, disimbolkan sebagai telapak kaki ibu. Artinya, perempuan sebagai penyangga sekaligus memiliki hak kelola atas padi dalam lumbung itu”.
Khalisah Khalid
(WALHI-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
“Saya juga sempat mewawancarai beberapa perempuan Pulau Pura NTT yang berusia lanjut. Mereka ingat bahwa dulu saat mereka masih kecil dan masih muat untuk dimasukkan dalam keranjang belanja, saudara laki-laki mereka di saat musim kelaparan menukarkan dirinya dengan bahan pangan yang didapat dari desa lain”.
Susanne Rodemeier
(Universität Heidelberg)
“Pengalaman penelitian risiko bencana di sekolah-sekolah di kawasan risiko tinggi erupsi Merapi menunjukkan ancaman risiko bencana meningkat jika erupsi Merapi terjadi pada waktu aktivitas sekolah berlangsung. Sekolah berubah menjadi tempat paling rentan bagi anak-anak dan perempuan. Sementara kapasitas sekolah dan kesadaran gender dan ekologi belum menjadi pendekatan penting dalam sistem manajemen sekolah”.
Ahmad Badawi
(YLSKAR-Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi & Refleksi)
KATA PENGANTAR
Arianti Ina Restiani Hunga
Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender, Universitas Kristen Satya Wacana
Dalam banyak penelitian menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim yang makin cepat memberikan dampak lebih buruk pada perempuan dan anak. Hal ini terjadi karena sistem dan struktur masyarakat yang patriarki tidak memberikan banyak pilihan yang tersedia bagi perempuan untuk mengekspresikan pengalamannya sebagai bagian yang setara di dalam menghadapi krisis lingkungan (Shiva, 2005). Faktanya pengetahuan dan pengalaman perempuan dan laki-laki berbeda dalam memahami, mengartikulasikan, merefleksikan alam/lingkungan. Hal ini terjadi karena peran gender yang dibentuk oleh masyarakat bagi diri mereka juga berbeda. Ketika pengetahuan dan pengalaman salah satu gender (laki-laki) kemudian dianggap ilmiah, terukur dan bisa mewakili masyarakat banyak, tentu ini menjadi persoalan. Krisis lingkungan yang terjadi, sangat berkaitan dengan cara kita mengelola alam. Krisis ini bersumber dari produksi/reproduksi pengetahuan lingkungan yang didominasi oleh pengetahuan yang maskulin dan ini yang menjadi acuan pengambil kebijakan dalam mengolah alam. Gambaran ini sangat jelas dalam dampak buruk dari tambang nasional seperti di Kalimantan Timur, Sawah Lunto-Sumatra Barat, Freeport di Timika-Papua, Molo-NTT, dll (Komnas Perempuan, 2010). Pandangan lainnya yang dibungkus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan melalui gerakan industri yang secara terstruktur dan masif masuk ke dalam dan mendominasi rumah pekerja yang merupakan area domestik perempuan.
Industri yang basis aktivitasnya dalam rumah-rumah pekerja berarti juga rumah menjadi area produksi untuk menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan industri memperoleh harga yang murah agar bisa bersaing di pasar bebas. Industri tidak lagi banyak melakukan produksi karena sebagian besar proses dipindahkan di dalam rumah pekerja, yaitu rumah perempuan. Komoditas batik, tenun, pakaian/konveksi, mebel, pengolahan makanan, dan banyak lagi komoditas lainnya menggunakan modus produksi ini. Persoalannya tidak hanya relasi produksi berbasis ekonomi menggeser relasi sosial-budaya dalam keluarga. Keluarga kehilangan ikatan-ikatan ini yang sebenarnya tidak tergantikan oleh uang. Persoalannya semakin kompleks karena proses ini menciptakan limbah produksi berbahaya yang dihasilkan dari penggunaan zat kimia yang tidak hanya berbahaya bagi pekerja (sebagian besar perempuan) juga keluarga, termasuk anak, serta berdampak buruk bagi lingkungan.Industri dalam rumah merupakan dilema bagi perempuan. Di satu sisi adalah peluang ekonomi, namun di sisi lain menciptakan berbagai dampak buruk yang memakan biaya sosial, budaya, dan ideologis yang tidak kecil.
Pada bagian yang lainnya, masyarakat disuguhi dengan produkproduk murah tanpa memiliki pengetahuan yang cukup dari apa, dengan apa, oleh siapa, dimana dan bagaimana produk tersebut dihasilkan. Keluarga dan rumahnya yang menjadi kumuh oleh limbah produksi, anggota keluarga yang tidak dibayar dan lingkungan yang rusak tidak menjadi biaya yang dipertanyakan untuk dibayar oleh siapa? Pada saat perempuan, anak, dan keluarga dari komunitas pekerja yang terpapar tersebut sakit, maka semuanya adalah tanggung jawab mereka sendiri, dan mereka seringkali tidak mampu membiayai. Pada akhirnya perempuan harus mencari akal bagaimana merawat keluarganya untuk keluar dari masalah ini. Tanaman sebagai obat menjadi alternatif untuk melindungi diri mereka dari gempuran obat kimia yang faktanya relatif mahal. Penggunaan tanaman sebagai obat merupakan pengetahuan lokal yang sudah ada, dekat, dan menjadi bagian dari pengetahuan perempuan.
Berbagai dampak buruk dari kehadiran berbagai aktivitas manusia mengelola alam pada akhirnya mengusik para perempuan untuk mencari ‘kembali’ dan menjadikan alam sebagai bagian dari gerakan mereka melindungi ruang domestiknya. Bersama dengan laki-laki yang sensitif gender menjadikan gerakan ini sebagai usaha transformasi masyarakat untuk membangun relasi yang adil gender dan adil terhadap lingkungan. Gerakan perempuan ini pada prinsipnya berupaya untuk menjadikan pengetahuan dan pengalaman perempuan sebagai bagian yang setara dengan laki-laki, dan secara bersama menjadikan alam sebagai partner dalam kehidupan yang luas. Gerakan ini juga bisa dipahami dalam kerangka pemikiran dan gerakan ekofeminisme. Oleh karenanya, ekofeminisme mengupayakan pemecahan masalah kehidupan manusia dan alam yang berangkat dari pengalaman perempuan dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai salah satu sumber belajar dalam pengelolaan dan pelestarian alam. Dalam buku Ecofeminism oleh Shiva dan Mies (1993), keduanya mengemukakan pemikiran dan gerakan ekofeminisme yang merupakan kritik terhadap pendekatan pembangunan yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekologis sekaligus meminggirkan salah satu entitas manusia di dalamnya, yaitu perempuan.
Buku Seri II Ekofeminisme yang pembaca pegang kali ini merupakan kelanjutan dari Seri I Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan Budaya yang didukung oleh United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA). Seri buku kedua ini mulai mengeksplorasi upaya-upaya awal untuk melakukan pengarusutamaan ekofeminisme dalam berbagai aspek yang dimulai dari pendidikan tinggi yang diharapkan tersampaikan dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang berbasis pada pengetahuan perempuan terkait dengan alam dan relasi keduanya (perempuan dan alam) dalam menghadapi krisis ekologi yang masih terus berlangsung. Upaya untuk membangun mainstreaming ekofeminisme dalam pendidikan tinggi membutuhkan komitmen bersama yang mengena dengan kebijakan baik pada aras individu, komunitas, dan kelembagaan. Semua adalah juga komitmen dan praktik politik dalam upaya mendorong terciptanya relasi gender yang setara dan keadilan bagi lingkungan yang dimulai dari pendidikan tinggi dan masyarakat akademik di universitas. Gelombang gerakan ini diharapkan menjadi gerakan yang terus membesar dalam masyarakat.
Tulisan dalam buku ini merupakan akumulasi pengalaman para dosen dan penelitian dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pusat Penelitian dan Studi Gender-UKSW, UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Universität Heidelberg, UNS (Universitas Sebelas Maret Surakarta), UNISSULA Semarang, LSM WALHI Semarang, YLSKAR (Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi, Salatiga) dan Jurnal Perempuan. Para penulis berusaha menyuarakan melalui tulisannya bagaimana menggali, memahami, dan mengekspresikan pengetahuan perempuan untuk menjadikannya sumber belajar bersama. Dalam buku ini pembaca menemukan pengetahuan dan pengalaman ini dalam berbagai aspek, mulai dari industri batik warna alam, tenun warna alam, tanaman obat, pariwisata berbasis lingkungan, pasar ramah lingkungan, media ramah lingkungan, serta menginterpretasikan ekologi dalam mitos tradisional dan religi, termasuk iman Kristen. Untuk itu, Pusat Penelitian dan Studi Gender UKSW, secara khusus mengucapkan terima kasih yang tinggi bagi semua penulis dalam buku ini, lembaga dan pimpinan lembaga dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pusat Penelitian dan Studi Gender-UKSW, UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Universität Heidelberg, UNS (Universitas Sebelas Maret Surakarta), UNISSULA Semarang, LSM WALHI Semarang, dan Jurnal Perempuan yang telah memberikan kesempatan kepada para dosen dan peneliti yang menyediakan diri mereka sebagai sumber belajar melalui tulisantulisannya yang memberikan spirit bagi gerakan ini.
Terima kasih yang tinggi untuk Dewi Candraningrum yang dengan setia, semangat, sabar, dan penuh dedikasi telah menyediakan diri untuk mengedit semua tulisan dan menjadikan tulisan-tulisan ini menjadi satu kesatuan tulisan dalam buku yang Anda pegang ini, termasuk lukisan dalam cover sampul buku ini. Terima kasih yang tinggi patut kami sampaikan juga kepada United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA) yang telah mendukung diterbitkannya seri buku "Ekofeminisme" ini. Juga terima kasih pada Penerbit Jalasutra yang sudah membantu menerbitkan buku ini. Tentunya sebagai kumpulan tulisan ada kekurangannya. Kami sangat berharap memperoleh masukan dari banyak pihak untuk terbitan Seri III Ekofeminisme untuk tahun 2015. Dan kami mengundang anda sekalian untuk menulis bersama kami. Lebih dari itu, kiranya isi tulisan ini memberikan inspirasi bagi banyak pihak dan menjadikan kekuatan dan komitmen dalam mainstreaming ekofeminisme di berbagai tempat.[]
Selamat membaca!
Salatiga, 21 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar