Buku Pemikiran Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern Harga Rp 88.000
Pengarang: F. BUDI HARDIMAN
Penerbit Erlangga
Tahun: 2011
Lebar Buku: 18.0 cm
Tinggi Buku: 25.0 cm
Tebal Buku: 288 hlm
Kondisi Baru
Buku ini ingin mengulas modernitas kita bukan dari segi material-empirisnya, seperti institusi sosial, teknik, industri atau gaya hidup, melainkan dari segi mentalitasnya, yaitu dari fundamen pemikiran yang melandasi peradaban Barat modern. Para pemikir yang diulas di dalam buku ini dapat membantu kita untuk memahami dasar-dasar mentalitas yang terdalam dari peradaban modern bukan hanya di Eropa, melainkan di dalam kebudayaan-kebudayaan lain yang melangsungkan modernisasi. Sains, teknik, ekonomi kapitalistis, negara hukum dan demokrasi modern berpangkal dari sebuah pemahaman filosofis yang lalu menjadi elemen modernitas kita, yakni: subjektivitas (rasionalitas), ide kemajuan (the idea of progress), dan kritik. Sekitar 50 filsuf yang dibahas di sini – 18 di antaranya dibahas secara rinci – mengembangkan ketiga elemen itu dalam berbagai ajaran, mulai dari humanisme renaisans, rasionalisme, empirisme, kritisme, idealisme, materialisme sampai dengan vitalisme. Gagasan-gagasan mereka kerap dicurigai sebagai ‘subversif’ oleh penguasa, dianggap ‘bidaah’ oleh ortodoksi agama, atau dipandang sinting’ oleh para mediocre yang tidak pernah menyangsikan kesehatan akal sehat. Namun tanpa gagasan-gagasan mereka mungkin umat manusia tidak akan sampai pada kematangan berpikir tentang dirinya, alamnya, masyarakatnya sebagaimana terungkap dalam ilmu-ilmu modern. Sudah saatnya masyarakat kita tidak hanya menguasai sains dan teknologi, melainkan juga memahami secara kritis alam pikiran yang mendasari produk-produk peradaban modern itu agar dapat menerapkan pemikiran mereka secara bijaksana.
Narasi modernitas bergerak bersama pemikir-pemikir ampuh. Narasi zaman modern itu diawali dengan dua peristiwa besar yang membidaninya, Renaisans dan Reformasi Protestan. Sejak saat itu filsafat mendapatkan tenaga intelektualnya untuk memberontak kemapanan cara berpikir abad pertengahan dengan filsuf termasyhurnya Thomas Aquinas.
F. Budi Hardiman (FBH) dalam buku Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern menceritakan secara gamblang bagaimana pemikiran-pemikiran ampuh itu memberontak, mengoyak kemapanan filsafat metafisika tradisional. Munculnya pemberontakan intelektual itu dapat dilihat dari dua sudut yang berbeda. Pada sisi yang pertama, lahirnya anggapan modernitas sebagai disintegrasi intelektual. Anggapan ini muncul di kalangan yang ingin mempertahankan metafisika tradisional. Mereka berpendapat bahwa filsafat modern adalah sebuah kemerosotan moral. Hal itu dikarenakan filsafat modern lebih menonjolkan dirinya sebagai anarki dan kekacauan daripada keutuhan dan ketertiban.
Pada sisi yang lain, menganggap bahwa filsafat modern merupakan sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari kemandegan dan pendewaan pemikir metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional dengan sumber otoritatif yang selalu menjadi acuannya yaitu filsafat Aristoteles dan Kitab Suci.
Perjalanan narasi empat abad Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern dimulai dari kemuculan tokoh-tokoh pendobrak di ambang modernitas. Orang-orang itu adalah Niccolo Machiavelli, Giordano Bruno, dan Sir Francis Bacon. Pemikiran-pemikiran mereka jelas mengarah pada dunia-sisi dengan segala proses materialnya. Sehingga mereka cenderung dianggap sebagai pemikir ‘subversif’.
Seperti yang dilakukan Machiavelli yang menentang keras pemikiran abad pertengahan yang meletakkan negara di bawah dominasi kekuasaan gereja Katolik yang dipegang oleh Paus. Gagasan ini mengalami krisis pada zaman Renaisans. Machiavelli menandaskan bahwa negara jangan sampai dikuasai agama. Justru sebaliknya, negara harus menguasai agama sebagaimana terjadi dalam kekaisaran Romawi kuno, saat agama Kristen diatur negara.
Gagasan sekular Machiavelli beranggapan bahwa agama memiliki peran pragmatis dalam kehidupan politis yaitu untuk mengintegrasikan negara.
Namun demikian, bukan lantas Machiavelli memproklamirkan dirinya sebagai atheis. Sebab, yang dipersoalkan bukanlah ada atau tidaknya Tuhan melainkan fungsi agama dalam kehidupan politis. Gagasan sekular Machiavelli beranggapan bahwa agama memiliki peran pragmatis dalam kehidupan politis yaitu untuk mengintegrasikan negara. Agama juga dapat mendukung patriotisme dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan.
Pandangan moncer Machiavelli ada dalam karyanya Il Principe. Dalam buku itu Machiavelli seolah menjelma menjadi makhluk terkejam, jika orang enggan menyebutnya sebagai makhluk yang jujur. Machiavelli mengungkapkan bahwa penguasa tidak harus menepati janjinya jika itu akan merugikan dirinya. Oleh karena itu, penguasa harus siap tampil sebagai rubah maupun singa. Penguasa harus menjadi rubah untuk mengetahui perangkap dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala. Juga seorang penguasa jangan sampai kehabisan alasan baik untuk memanis-maniskan pengingkaran janjinya. Keabadian pemikiran Machiavelli masih bisa kita rasakan dalam praksis kehidupan politik saat ini. Luar biasa!
Perjalan filsafat empat abad masih terus berlanjut. Dalam bab berikutnya, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara ini mengisahkan kelahiran Rasionalisme modern dengan tokoh-tokoh termasyhurnya seperti Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Blaise Pascal. Descartes menjadi peletak dasar rasionalisme dengan ungkapan fenomalnya Je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).
Pemberontakan-pemberontakan terhadap pemikiran abad pertengahan tidak berakhir sampai di sini. Sebagai sosok yang mahir dalam filsafat, FBH menceritakan perlawanan-perlawanan itu dengan sangat anggun sehingga mudah untuk diikuti dan dipahami.
Ia juga membahas pemikiran Immanuel Kant dan Nietzsche dalam bab tersendiri karena keluasan pemikiran mereka. Filsafat Nietzsche mengakhiri perjalanan ‘wisata’ filsafat 4 abad. Pada bagian penutup buku ini hadir kamus kecil untuk memberikan pemahaman lebih mudah dan rinci terkait beberapa istilah filsafat yang dijumpai sebelumnya.
Perjalanan ziarah filsafat empat abad tidak akan pernah menjumpai kejemuan. Sebab di dalamnya dihadirkan pula kata-kata mutiara yang merupakan kutipan-kutipan para pemikir ampuh yang dapat membangkitkan selera membaca. Selain itu, ditambahkan catatan pinggir untuk mempermudah memngingat serta cuplikan teks asli para pemikir ampuh dan tentu saja anekdot yang diilhami kejadian-kejadian para pemikir semasa hidup.[bilikide.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar