Judul: Politik Sastra
Harga: Rp. 35.000 TERJUAL
Penulis: Saut Situmorang
Penerbit: SIC, Yogyakarta
ISBN: 978-979-16849-8-9
Tahun: 2009
Tebal: 204 hlm
Ukuran: 15,5x23 cm
oleh Zamakhsyari Abrar
Sebelum membahas buku Politik Sastra, saya merasa terganggu dengan kata pengantar Zen Hae untuk buku pemenang lomba kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 2007. “Di tengah iklim kesusastraan kita yang penuh gosip, hujatan, dan caci maki. Dibutuhkan ketabahan tersendiri bagi penulis kritik sastra untuk meloloskan diri dari hal itu,” demikian Zen Hae. Meski cuma sebaris, kalimat Zen Hae itu penting diketahui publik sastra Indonesia, karena secara tidak langsung bersinggungan dengan konteks (buku) Saut Situmorang dan Zen Hae sendiri.
Jamak diketahui Zen Hae belakangan juga salah seorang dari penulis yang diserang Saut Situmorang karena “afiliasinya” dengan Goenawan Mohamad (atau kelompok TUK) dalam perspektif Perang Sastra boemipoetra vs Teater Utan Kayu (TUK) yang digelorakan Saut cs. Kata pengantar Zen Hae di atas juga penting diketahui publik karena suka atau tidak suka, pandangan tadi dapat dianggap mewakili “sikap resmi” pihak Dewan Kesenian Jakarta terkait kondisi riil sastra kontemporer kita, karena ia merupakan orang dalam, atau paling tidak sikap ia pribadi selaku Ketua Komite Sastra DKJ periode 2005-2008.
Tentu timbul pertanyaan di benak kita, siapakah yang bergosip, menghujat, dan mencaci maki itu seperti yang disinyalir oleh Zen Hae? Meski tidak menunjuk hidung, orang-orang yang mengikuti perkembangan sastra kita dalam lima tahun terakhir pasti paham siapa salah seorang tukang gosip yang dimaksud oleh cerpenis asal Betawi itu. Siapa lagi kalau bukan Saut sendiri, penyair yang dalam beberapa tahun terakhir terus menjadi pusat kontroversi sastra kita, penyair yang dinilai hanya mencari-cari perhatian terkait kritik-kritiknya yang tiada henti terhadap kelompok TUK, penyair yang dinilai hanya bergosip dan mencacimaki dalam tulisan-tulisannya di internet maupun di jurnal boemipoetra, media yang dikelolanya bersama kawan-kawannya sepaham seperti penyair buruh Wowok Hesti Prabowo dan istrinya Katrin Bandel.
Berangkat dari pandangan “penuh gosip, hujatan, dan caci maki” inilah saya mencoba membaca buku ini. Betulkah Saut bergosip terkait kuatnya dominasi TUK dalam jagad sastra kontemporer kita? Gosip atau faktakah terkait tuduhan Saut, bahwa mengapa sejak Hasif Amini menjabat sebagai redaktur puisi koran Kompas Minggu, puisi-puisi kawan-kawannya seperti Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge selalu muncul sehalaman penuh, sementara penyair lain puisinya diterbitkan beramai-ramai?
Bila Saut cs dianggap hanya mencacimaki lewat jurnal boemipoetra, lalu apakah pernyataan Goenawan bahwa boemipoetra cuma coret-coretan di kakus itu bukan caci maki? Bagaimana pula dengan kebenaran kabar pencopotan Chavchay Syaifullah sebagai wartawan budaya Media Indonesia yang konon terjadi atas intervensi Goenawan Mohamad setelah laporannya mengenai Utan Kayu International Literary Biennale 2007 dianggap fitnah berat oleh TUK? Benar atau tidaknya kabar ini, yang pasti tidak bisa dipungkiri pencopotan Chavchay ada kaitannya dengan laporannya itu.
Aneka pertanyaan di atas penting saya kemukakan karena berkaitan erat dengan isu sentral yang ditawarkan Saut dalam buku ini yakni politik sastra, hal yang menurut Saut belum banyak disadari para pengarang di negeri ini. Untuk menjelaskan pandangannya ini, Saut menulis esei panjang Politik Kanonisasi Sastra. Ia memulai tulisannya dengan tinjauan historis kanonisasi sastra yang bermula dari tradisi agama Kristen hingga mengerucut pada kondisi kontemporer sastra kita yang kental dengan politik sastra TUK dan juga oleh Kompas Minggu (hal. 171-183). Politik sastra yang dinilai Saut telah menyeragamkan tema hingga style of writing, terutama pada puisi kontemporer Indonesia.
Bagi Saut, politik sastra TUK terlalu kasat mata, terlalu vulgar, untuk tidak mungkin terlihat oleh orang-orang di luarnya. Misalnya kasus Chavchay Syaifullah tadi dan manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer untuk buku Saman karya Ayu Utami, hingga “dongeng Der Spiegel bahwa TUK merupakan sebuah gerakan politik kiri”.
Cukup banyak topik yang dibahas Saut, mulai politik sayembara sastra, masalah cerpen koran Indonesia, puisi cyber sampai soal feminisme, manifesto boemipoetra, sebuah wawancara serta alasan Saut menolak anugerah Khatulistiwa Literary Award. Tulisan-tulisannya penuh polemik dan terkadang provokatif. Dalam tulisan-tulisannya, secara terang-terangan ia menyangsikan pengetahuan orang yang diserangnya. Menulis dengan kesangsian seperti ini barangkali akan membuat orang yang diserangnya malu hati. Paling tidak itulah yang saya rasakan sebagai pembaca.
Persoalan yang paling banyak menyita perhatian Saut adalah masalah kritik sastra di Indonesia. Minimnya pemahaman akan teori sastra disinyalir Saut telah menyebabkan merebaknya “anarkisme interpretasi dan evaluasi” dalam dunia kangouw sastra Indonesia (istilah kangouw adalah istilah Saut sendiri).
Saut lalu merujuk tulisan-tulisan akhir tahun Nirwan Dewanto di majalah Tempo sebagai contoh populer tulisan “kritik sastra” yang dikecamnya tersebut, sebuah tulisan yang tergantung kata hati penulisnya saja tanpa adanya metode yang jelas. Dalam tulisan Nirwan berjudul Kilas Balik 2002, Saut mengkritik betapa mudahnya Nirwan membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk non-TUK, tanpa sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading”, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap kawan-kawannya di TUK.
Ia juga mengkritik gampangnya para pelaku sastra kita menyebut diri sebagai kritikus sastra tanpa adanya pertanggungjawaban ilmiah. Tiap orang yang menulis atau berkomentar tentang sastra secara serampangan disebut atau menyebut diri sebagai kritikus sastra.
Lewat buku ini Saut mencoba mengajak pembaca untuk menyadari betapa parahnya kondisi sastra kita tanpa adanya kritik sastra yang baik dan bermutu. Sebab kritik sastra diibaratkan Saut semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini tidak hidup kesepian, halusinasif, dan kering meranggas (hal. 14).
Buku ini tidak sekadar menerangjelaskan mengapa Saut memusuhi TUK, tapi sekaligus juga menjelaskan pandangan dan ideologi sang penyair (dan boemipoetra) dalam berkesenian. Esei-esei Saut ini juga tercatat sebagai dokumentasi pertama terkait wacana sastra Saut (dan boemipoetra) dalam perseteruannya dengan kelompok TUK, yang selama ini lebih banyak berserakan di berbagai milis dan forum dunia maya.
******************************************
Politik sastra itu ada. Barangkali demikian yang bisa disimpulkan setelah membaca tulisan-tulisan Saut Situmorang dalam buku Politik Sastra ini. Politik kepentingan dalam dunia sastra memang tidak dapat dihindari. Jika menilik sejarah periodesasi sastra sejak pra kemerdekaan sampai hari ini, ada relasi yang saling “mengancam” di satu sisi, serta menguntungkan di sisi lain. Relasi-relasi itu umumnya muncul dalam perseteruan sastra-kolonial, sastra-negara, sastra-agama, bahkan tak jarang di internal pelaku sastra itu sendiri.
Menurut Saut Situmorang, sastra Indonesia saat ini hampir-hampir tak memiliki kritikus yang mengimbangi pesatnya minat kepengarangan. Banyaknya sayembara, munculnya penulis-penulis perempuan atau yang mengangkat tema-tema perempuan, dan sejumlah fenomena lainnya leluasa bermunculan dengan liar dan mungkindapat diistilahkan sebagai kompetisi, terlepas dari kualitasnya. Persoalan lain yang sulit diminimalisir perseteruannya adalah pengkotak-kotakan karya maupun pengarang. Cukup banyak permasalahan sastra yang terpolitisasi yang diulas oleh Saut Situmorang dalam buku Politik Sastra ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar