Buku: Asal-Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi
TERJUAL NTB. (Mungkin masih bisa restock)
Penulis: Asghar Ali Engineer
Penerbit: Insist bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 1999
Tebal: viii + 342 halaman
RESENSI: rindupulang.blogspot.com
Setiap agama dalam perkembangannya dapat dilihat sebagai sebuah ideologi atau sebuah pandangan-dunia (weltanschauung)
yang memandu jalan pikiran setiap umat pemeluknya. Dalam perspektif
Marxian, ideologi dapat dimaknai secara kurang simpatik: ia bersifat
menipu, karena sebuah ideologi pada akhirnya seringkali berusaha
memahami realitas secara terbalik, lepas dari konteks sosio-historis,
sehingga ia sama sekali tidak mampu merepresentasikan realitas historis
seperti ketika ia lahir. Ideologi semata-mata menjadi palsu, menipu, dan
hanya melayani kepentingan tertentu.
Merasa terancam dengan
pembacaan ideologis terhadap agama, dalam hal ini agama Islam, Asghar
Ali Engineer—seorang cendekiawan muslim terkemuka dari India—merasa
terpanggil untuk meletakkan Islam sesuai dengan konteks historis ketika
ia lahir dan mengalami perkembangannya. Jalan yang ditempuh Asghar dalam
hal ini adalah jalan sejarah, yakni dengan melacak realitas historis
asal-usul dan perkembangan Islam. Secara metodologis, Asghar bertolak
dari tradisi Marxian, yakni dengan menggunakan metode
materialisme-historis. Dengan materialisme-historis dimaksudkan bahwa
asal-usul dan perkembangan Islam dijelaskan dengan mencoba menangkap
faktor-faktor sosial-ekonomi yang terlibat di dalamnya.
Materialisme-historis itu sendiri mengandaikan bahwa perkembangan
sejarah ditentukan oleh cara-cara produksi suatu masyarakat. Dengan
demikian, Asghar melihat Islam bukan semata-mata gerakan keagamaan
belaka, melainkan juga sebagai sebuah gerakan transformasi di bidang
sosial dan ekonomi.
Kelahiran Islam di kawasan Arab menurut Asghar
ternyata memang tak bisa dilepaskan dari konteks historis yang begitu
kental. Situasi kawasan Arab ketika itu sedang dilanda krisis
multidimensional; sosial, ekonomi, moral, dan spiritual. Menyusul
setelah hancurnya bendungan Ma'rib di wilayah selatan Arab, arus migrasi
kaum badui (suku nomad) ke kota Mekah menjadi tak terbendung, sehingga
menjadikan Mekah sebagai pusat perdagangan di kawasan Arab. Dengan
dijadikannya Mekah sebagai kota dagang, terjadilah perubahan struktur
sosial yang cukup menentukan di kota itu. Aktivitas perdagangan yang
berlangsung secara intens perlahan-lahan mengubah corak humanisme suku
masyarakat Arab kepada suatu sikap individualisme. Solidaritas suku yang
semula dominan dalam masyarakat kota Mekah lambat-laum bergeser menjadi
solidaritas kelas.
Posisi kota Mekah sendiri secara geografis berada
di antara kepungan dua kerajaan besar, yakni Bizantium dan Romawi. Dua
kerajaan besar ini juga merupakan raksasa ekonomi yang cukup menentukan
di wilayah Arab, karena kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya.
Masyarakat pedagang kota Mekah berada dalam suatu usaha mempertahankan
kemandirian bisnis mereka di antara percaturan bisnis kawasan Arab.
Mereka juga segan untuk menerima ajaran agama (kepercayaan) dari luar
sistem masyarakat mereka sendiri, seperti agama Yahudi yang dianut
kerajaan Bizantium atau agama Kristen yang dianut kerajaan Romawi.
Di
tengah-tengah situasi yang demikian, Islam hadir ke tengah-tengah
masyarakat pedagang Mekah. Muhammad, Sang Utusan Tuhan, hadir tidak
sekedar dengan visi transendentalnya saja. Muhammad juga adalah seorang
pribadi yang cukup responsif terhadap situasi transformasi ekonomi dan
sosial yang berlangsung di kota Mekah. Muhammad mengajarkan nilai
persatuan dan persamaan derajat di tengah-tengah berkembangnya
kecenderungan individualisme dan solidaritas kelas. Dalam konteks inilah
bisa dipahami penolakan para elit pedagang Mekah terhadap agama baru
ini. Kalau Islam hanya hadir dengan mengajarkan keesaan Tuhan belaka,
tanpa adanya kritik sosial-ekonomi yang cukup tajam, niscaya semua
masyarakat Arab bisa menerimanya.
Muhammad berusaha mengimbangi
ketimpangan sosial-ekonomi yang mulai terbaca dengan ajaran-ajaran yang
berbau sosial (persatuan dan persamaan derajat). Hal ini tercermin dalam
ayat-ayat Makkiyah (ayat al-Qur'an yang diturunkan di kota Mekah) yang
pendek dan tegas, dan penuh dengan peringatan bagi mereka yang menumpuk
harta-benda tanpa mau menghiraukan orang-orang di sekitar. Meski
demikian, al-Qur'an juga menghargai arus perubahan sosial yang mengarah
kepada individualisme, dengan mengajarkan bahwa dalam hal
pertanggungjawaban di hadapan Tuhan kelak, semua orang hanya hadir
sebagai individu-individu yang bertanggungjawab atas perbuatannya
sendiri.
Cita-cita Muhammad mempersatukan masyarakat pedagang Mekah
sebenarnya juga dilandasi dengan suatu kesadaran akan posisi Mekah di
antara kerajaan Bizantium dan Romawi. Muhammad ingin membangun suatu
kekuatan ekonomi yang tangguh di kalangan masyarakat kota Mekah, dengan
dilandasi suatu spirit persatuan dan persamaan derajat dengan dasar
agama Islam. Kesadaran ini kiranya cukup dapat dimaklumi, karena
Muhammad sendiri pernah menggeluti dunia bisnis bersama Khadijah,
seorang pedagang sukses yang kemudian menjadi istrinya.
Kepindahan
Muhammad dari kota Mekah ke kota Yatsrib—yang kemudian diubah namanya
menjadi Madinat al-Nabi (Kota Nabi)—didasarkan atas posisi Muhammad yang
semakin sulit di kota Mekah. Kehadiran Muhammad di kota Madinah sendiri
sebenarnya memang cukup strategis dan berada dalam momen yang bagus.
Kota Madinah ketika itu merupakan suatu wilayah yang rawan konflik, baik
konflik antar-suku maupun dengan kaum Yahudi di sana. Kehadiran
Muhammad ternyata cukup mampu untuk menjadi penengah sekaligus peredam
konflik di antara mereka. Segera setelah berdiam di kota Madinah,
Muhammad menyusun suatu rumusan perjanjian yang dikenal dengan
Konstitusi Madinah. Konstitusi ini merupakan suatu revolusi
besar-besaran bagi masyarakat Madinah, karena konstitusi yang lahir
dalam suasana politis yang begitu dominan ini berusaha mengalihkan
kekuasaan dari tangan suku-suku kepada tangan masyarakat luas.
Apa
yang dilakukan Muhammad semenjak tinggal di Madinah adalah usaha untuk
membangun kekuatan untuk dapat kembali ke kota Mekah. Muhammad
menghimpun kekuatan sosial-ekonomi melalui penyerangan terhadap
kafilah-kafilah kota Mekah yang dimaksudkan untuk menghancurkan kekuatan
ekonomi Mekah, serta dilanjutkan dengan penaklukan beberapa wilayah.
Hal ini juga dibarengi dengan perumusan aturan-aturan hukum (syari`ah),
karena semenjak di Madinah, posisi Muhammad sebenarnya sudah mirip
dengan seorang pemimpin negara yang memiliki otoritas sosial-politik.
Akan
tetapi, penaklukan-penaklukan wilayah yang dilanjutkan sepeninggal
Muhammad oleh para Khalifah semakin nampak mengisi nuansa feodal dalam
ajaran-ajaran Islam. Dengan semakin luasnya kekuasaan Kerajaan Islam,
maka bermunculanlah borjuasi-borjuasi baru di kalangan umat Islam
sendiri. Ajaran persatuan dan persamaan derajat yang menjadi semangat
awal agama Islam diabaikan karena intrik-intrik politik yang tidak
sehat. Hal ini semakin menjadi kental mulai masa Khalifah Usman hingga
pemerintahan Dinasti Umayyah. Aspek yang semata-mata politik (kekuasaan)
menjadi faktor utama dalam mewarnai perkembangan agama Islam. Bahkan,
kelahiran sekte-sekte dalam Islam—Syi`ah, Khawarij, dan yang
lainnya—amat kental dengan aroma politik.
Di sinilah letak relevansi
buku bagus ini terutama dalam memahami kondisi aktual saat ini. Ketika
sebuah agama dibaca semata-mata sebagai sebuah ideologi (dogma) yang
terlepas dari realitas historis seperti ketika ia lahir, maka agama
menjadi sangat mudah untuk dijadikan topeng besar bagi kepentingan suatu
kelompok. Tafsir agama yang sama sekali ahistoris akan mudah
ditunggangi kelompok tertentu di belakangnya, sehingga agama kehilangan
visi transformatif dan toleran dan lebih berbau eksklusif-diskriminatif.
Blokade
sejarah yang begitu ketat dalam kesadaran umat beragama selayaknya
harus mulai ditembus. Buku ini secara baik cukup mampu memberikan
semacam pengantar bagi suatu upaya menyibak tirai sejarah asal-usul dan
perkembangan Islam yang sarat dengan muatan politik dan ekonomi. Dengan
cerdas, buku ini berusaha memberi penjelasan rasional yang bersifat
historis-dialektis antara norma transenden agama dengan kebutuhan
sosiologis-kultural masyarakat. Dengan pemahaman sejarah yang demikian,
kiranya umat Islam—seperti juga umat agama lain—tidak berlaku gegabah
dalam menafsirkan suatu ajaran tertentu, karena pada dasarnya Islam
lahir dalam suatu konstruksi historis tertentu. Kesadaran akan sejarah
inilah yang seharusnya selalu dirawat dan dipelihara dalam nalar setiap
umat agar agama yang diyakininya tidak menjadi hantu, atau bahkan candu,
yang bisa melelapkan kesadaran dari tuntutan realitas yang wajar dan
bersifat lebih manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar