Harga Rp 140.000
Penulis Henk Schutle Penerjemah : M Imam AzizPenerbit Lkis
No. ISBN 9799492955
Tanggal terbit 2005
Jumlah Halaman 549
Berat Buku 800gram
Jenis Cover -Soft
Dimensi(L x P) 15 x21
Stok lama, Segel, 1buah
Pakaian merupakan kulit luar yang menegaskan identitas kita kepada lingkungan sosial. Pakaian menjadi media yang efektif untuk menunjukkan status, kedudukan, kekuasaan, gaya hidup, gender, dan bahkan jenis kelamin dari masa ke masa. Menurut Wilson, "pakaian merupakan perpanjangan dari tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh yang menghubungkan dengan dunia sosial sekaligus memisahkannya". (lihat hlm.1)
Buku ini membahas dimensi sosial dan dimensi politik dari aturan berpakaian di satu pihak dan keterlibatan individu di pihak lain. Perhatian tulisan-tulisan dalam buku ini terpusat pada cara dan sarana yang dilalui oleh para individu, kelompok sosial, dan institusi sosial untuk dapat saling memahami melalui pakaian.
Penulis-penulis dalam buku ini menghindari penggunaan dikotomi-dikotomi, seperti substansi batiniah versus penampilan luar, individu versus identitas sosial, negara sebagai aktor versus individu sebagai subjek pasif, dan lain-lain. Buku ini kaya dengan perspektif karena ditulis oleh para ahli dengan berbagai latar berlakang disiplin ilmu. Inilah buku komprehensif tentang sejarah "pakaian" di Indonesia.
Kees Van Dijk menyuguhkan tinjauan historis yang luas, bermula dari kontak pertama antara penduduk setempat dan bangsa Eropa pada abad ke-17 dan diikuti perkembangan terbaru. Sejarah pertemuan antara sarung (pakaian setempat), jubah (pengaruh Islam), dan celana (pangaruh Barat) ditulis sebagi proses interaksi yang kompleks dan dinamis meliputi peminjaman selektif, adaptasi timbal balik, penataan ulang makna, dan sebagainya.
Dalam tulisan berikutnya, Jean Gelman Taylor menerapkan perspektif gender dalam mengeksplorasi bagaimana negara kolonial telah mendorong perbedaan penampilan antara laki-laki dan perempuan. Ia menunjukkan bahwa warisan aturan berpakaian tampak dalam penampilan-publik para pemegang kekuasaan.
Selanjutnya, Rudolf Mrazek menulis tentang perubahan permanen sejak permulaan abad ini dan seterusnya. Mrazek juga menulis tentang sejarah mentalitas kolonial yang menekankan kebersihan dan kenecisan yang mereka anggap tidak dimiliki pribumi.
Elsbert Locher mendeskripsikan perubahan gaya hidup perempuan Eropa di Hindia-Belanda pada periode kolonial, dengan pusat perhatian pada mode dan makanan Eropa sebagai penanda identitas kulit putih yang eksklusif. Perempuan-perempuan inilah yang menimbulkan proses pembaratan atau Totokisasi yang memisahkan para penguasa dan rakyat. Henk Maier meneliti iklan dan menemukan ketegangan yang tersembunyi di balik representasi modernitas kolonial yang terdomestifikasi.
Selain menampilkan beragam tulisan tentang sejarah pakaian dalam arti sebenarnya, buku ini juga mengulas berpakaian metaforis ala negara, bagaimana negara-bangsa mendandani diri dan bersolek untuk menunjukkan eksistensinya melalui arsitektur, pahlawan nasional, nama jalan, perangko, patung, monumen, dan ritual.
Menurut tulisan Klaus Schreiner, hingga 1995 Indonesia--dalam periode pemerintahan otoriter--telah menetapkan 102 pahlawan nasional. Inilah salah satu "bisnis terbirokratisasi" pemerintahan otoriter yang fenomenal. Adapun tentang monumen, Jacques Leclerc mengupas bagaimana Orde Baru melakukan mitologi terhadap monumen yang dibangunnya, seperti mitologi atas monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.
Selanjutnya, Teruo Sekimoto menganalisis tiga fenomena yang saling berkaitan, yakni "demam seragam" yang menyertai kebangkitan Orde Baru, perayaan Hari Kemerdekaan, dan proyek komunal yang mengubah penampilan daerah pedesaan. Akhirnya, buku ini ditutup dengan tulisan Lizzy van Leeuwen yang secara deskriptif menjelajahi gaya hidup dan pola konsumerisme orang kaya masa kini di Jakarta.
Selama ini sejarah di Indonesia banyak diungkap dengan pendekatan politis, sehingga sering kali perspektif ini mempengaruhi dan mendominasi cara berpikir kita dalam melihat sejarah bangsa ini. Pendekatan antropologis dan sosiologis yang digunakan buku ini dalam membaca sejarah Indonesia menimbulkan efek pemahaman dan kepekaan pada keberagaman dan kekayaan budaya serta menonjolkan pendekatan manusiawi sisi sejarah Indonesia.
Buku ini kaya dengan sumber-sumber yang berasal dari foto-foto peninggalan kolonial maupun arsip negara yang akan membawa kita dalam wisata sejarah dan nuansa nostalgia yang kental. Untuk itu, buku ini layak disandingkan dengan buku sejarah "resmi" yang wajib dibaca. Selamat membaca!
l Khotimatul Husna
Editor dan Pencinta Buku, tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar