Buku Menjadi Manusia Pembelajar
Harga Rp 55.000 TERJUAL
Pengarang : Andrias Harefa
ISBN : 979-9251-48-6
Tahun terbit : Cetakan Februari 2010
Penerbit : Kompas
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: xxxvi + 244 Halaman
Dimensi: 14 x 21 Cm
Kondisi: Cukup Bagus
Membaca buku Menjadi Manusia Pembelajar kita dibawa kembali keawal pembelajaran masa lampau, ketika sekolah belum direpotkan dengan berbagai macam aturan kurikulum, silabus dan RPP. Pengarang buku ini, Andrias Harefa ingin menawarkan solusi baru dalam ranah pendidikan yang dipenuhi dengan berbagai aturan tetapi tidak membawa perubahan yang significant. Sejatinya, sebagai titik tolak Andrias menulis buku ini adalah, ia bertanya tentang hakikat permasalahan dalam dunia pendidikan kita, dan sebagai salah satu bentuk sikap kritis melihat perkembangan pendidikan saat ini. Walaupun secara garis besar Andrias menginginkan pola pengembangan pembelajaran sesuai dengan teori belajar yang disampaikan oleh Jean Piaget, Freire, dan Ivan Illich. Seperti apa yang ditulis di halaman depan koper bukunya itu, “Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran.” Kita menyadari betul bahwa saat ini banyak manusia yang belajar. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak menjadi pembelajar. Artinya dari hasil belajar yang mereka peroleh belum tentu berdampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan yang didiaminya. Atau yang lebih akrab dalam dunia pendidikan kita dengan istilah “Tut Wuri Handayani” Maka lewat buku ini membuka secara terang benderang tentang persoalan tersebut.
Penting dalam kesempatan ini kita bahas mengenai apa yang diinginkan penulis (Andrias Harefa), sesuai denga teori belajar Jean Piaget. Piaget menganggap, intelegen (IQ=kecerdasan) adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi. Ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkembangan operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi nyata anak-anak dewasa.
Dan ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu :1). Lingkungan fisik 2). Kematangan 3). Pengaruh sosial 4). Proses pengendalian diri (equilibration) (Piaget, 1977).
Sementara tahap perkembangan kognitif anak dibagi ke dalam beberapa periode, di antaranya; 1. Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun). 2. Periode Pra Operasional (2-3 tahun sampai 7-8 tahun) 3. Periode operasi yang nyata (7-8 tahun sampai 12-14 tahun) 4. Periode operasi formal. Kunci dari keberhasilan pembelajaran adalah instruktur/guru/dosen/guru harus memfasilitasi agar pembelajar dapat mengembangkan berpikir logis. Sumber: http://blogs.unpad.ac.id/aderusliana/?p=4
Kemudian mengutip pernyataan dari http://sitarahmi.web.ugm.ac.id dalam teori belajar Freire, pendidikan yang memanusiakan, pendidikan yang membebaskan! Dua ikrar suci ini kiranya sudah melekat erat dalam tiap bilik gagasan revolusioner Paulo Freire (1921-1997). Tokoh pendidikan kritis yang juga seorang filusuf ini, telah mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk melawan ketertindasan melalui jalur kultural paling strategis, yaitu pendidikan. Baginya, pendidikan adalah alat paling jitu untuk menggugah kesadaran kritis masyarakat tentang eksistensi dirinya sebagai manusia yang juga bagian dari sistem sosial. Oleh sebab itu, menurut Freire proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak bisa berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan itu diselenggarakan.
Sementara Ivan Illich (2000), lewat bukunya Deschooling Society bahkan melihat perlunya masyarakat dibebaskan dari belenggu sekolah. Yaitu suatu kebebasan dari kecendrungan masyarakat yang menganggap bahwa sekolah hanyalah satu-satunya sebagai lembaga pendidikan dan sumber pengetahuan ilmu. Untuk itu, untuk menolong anak didik memiliki kesadaran akan sebuah realitas, maka lembaga sekolah yang ada harus memberikan pengajaran yang berbasiskan realitas kehidupan. Bukan jauh dari realitas atau antirealitas.
Sejalan dengan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan dunia. Andrias pun mengilhaminya dalam buku Menjadi Manusia Pembelajar yang ia buat, ia ingin membebaskan segala bentuk kemanunggalan pendidikan yang menganggap hanya sekolahlah yang mampu memberikan bekal kehidupan bagi peserta didiknya. Penting untuk kita renungkan apa yang dikatakan Andrias pada bukunya yang menyoal keberadaan sekolah dan universitas, …Lalu, apa gunanya sekolah dan universitas kalau kita akhirnya hanya memproduksi beo-beo seperti para doktor pertanian yang tak pernah mampu membuat “Jambu Indonesia” atau “Durian Indonesai”, tetapi hanya membuat segala hasil-hasil pertanian menjadi serba Bangkok? Mengapa orang-orang berteriak seperti kebakaran jenggot ketika sejumlah oknum tak bermoral menjajakan gelar seperti pedagang kaki lima menjual obat sakit ginjal seharaga Rp. 100,00 di pinggir jalan? Tidakkah sekolah dan universitas juga hanya mampu melahirkan sarjana-sarjana, bahkan juga belakangan doktor yang bisanya hanya menjiplak karya orang lain? Bukankah kita semua tahu bahwa skripsi dan tesis sebagian (besar?) sarjana kita tidak dibuat tidak lewat proses pembelajaran, tetapi transaksi “jual- beli” yang dilayani para pembajak karya cipta diberbagai sudut kota, yang sebagaian belum pernah masuk perguruan tinggi? Bukankah kita semua tahu bahwa sebagian besar sarjana kita tidak pernah menghasilkan karya tulis serius setelah diwisuda (bahkan juga para doktor dan profesor hanya sesekali menulis dimedia cetak untuk disebut pakar?. Jadi, apakah ruginya negri ini bila semua sekolah dan universitas dibubarkan saja seperti Gusdur membubarkan Departemen Penerangan (yang menggelapkan dana) dan Departeman Sosial ( yang sok-sial)?. (hal. 10-11).
Pemikiran radikal yang ditawarkan Andrias bukan berarti tak memiliki alasan yang logis. Tetapi merupakan bukti dan fakta-fakta yang terhampar luas dari Sabang sampi Merauke. Bahwa komunitas pembelajar adalah proyek bagi para pelakunya. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, yang terjadi malah dehumanisasi pendidikan. Berapa puluh kejadian di negri ini para pemimpinnya dari mulai lurah sampai para pejabat negara ijazahnya palsu. Berapa profesor yang tertangkap menjiplak karya orang lain. Dan berapa banyak perguruan tinggi di negri ini dibuat dengan cara “instan” yang berakibat seperti “mie instan” lembek dalam pergulatan intelektualitas.
Setidaknya ketika kita membaca buku Menjadi Manusia Pembelajar hati kita tergerak kembali untuk dapat memaknai dan menjalankan fungsi tugas kita di dunia sebagai khalifah. Kita semua menginginkan pembelajaran tidak hanya terhenti di kampus ketika kita mendapatkan gelar sarjana/doktor, melainkan belajar terus sepanjang hayat (long life education). Sebab, dengan merasa dewasa seperti itu, maka proses “pembodohan” dan bahkan “pembinatangan” (bahasa halusnya dehumanisasi) dimulai. Jakob Sumardjo, budayawan kondang asal Klaten pernah mngingatkan dengan pepatah “jika tak belajar satu hari, maka kita mundur satu hari.” Hal itu benar. Dan, dapat ditambahkan bahwa bila manusia (perseorangan/kelompok) tidak belajar sekian bulan, sekian tahun, sekian puluh tahun-yakni seperti elit politik dimasa Orde Lama dan Orde Baru, juga para pejabat yang berada di lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan - maka yang terjadi bukan sekedar “kemunduran”, tetapi “pembusukan” dan “pembinatangan” diri menjadi tidak manusiawi (hal. 44)
Hakikatnya membaca buku Menjadi Manusia Pembelajar kita telah diarahakan pada pembelajaran yang sesungguhnya. Kita diarahakan untuk mengetahui pemikiran-pemikiran para ahli dan pakar pendidikan masa lampau yang masih relevan dengan kenyataan, walaupun sudah banyak diselimpangkan. Kita mengetahui basic pembelajaran masa depan dengan kekuatan teknologi informasi. Kita juga mengetahui potensi diri, untuk menjadi on becomig learner. Namun sayangnya, pemikiran-pemikiran semacam ini masih belum bisa diterima oleh khalayak apalagi pemerintah. Sebab, komersialisasi pendidikan menjadi musuh yang sulit untuk dienyahkan.***
Penulis; Rahmat Heldy HS, Mahasiswa Pasca sarjana Untirta Banten Jurusan Bahasa Indonesia, delapan kali menang syembara sastra ditingkat Propinsi Banten. Buku puisi tunggalnya Kampung Ular (Lumbung Banten, 2009). Masuk finalis lomba Anugrah Puisi Cecep Symsul Hari. Puisinya masuk dalam antologi puisi Candu Rindu (Kubah Budaya, 2009), dan cerpennya masuk dalam antologi cerpen Gadis Kota Jerash (Lingkar Pena Publishing House, 2009), bersama Hibuburraham El Shirazy dkk. Kini Tinggal di Kp. Rencong RT. 03/08 Desa Sukabares Kecamatan Waringinkurung, Serang-Banten 42161 Hp. 081 808 689 794
Diposkan oleh PKBM Al Irsyad di 09.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar