Minggu, 14 Desember 2014

Buku Pergolakan di Jantung Tradisi : NU yang Saya Amati

Jual Buku Pergolakan di Jantung Tradisi : NU yang Saya Amati, by As'ad Said AliBuku Pergolakan di Jantung Tradisi : NU yang Saya Amati. by As'ad Said Ali. Harga Rp 70.000
Pengantar : KH. Sahal Mahfudz
Penerbit : LP3ES
Tahun : Juli 2008
Jumlah Halaman : 263 hal.

Resensi Buku: Pergolakan di Jantung Tradisi
6 September 2008 00:25:57 | Share
NU sedari lama memang sebuah ormas Islam yang banyak menyedot perhatian. Para pengamat baik dari bumiputera maupun manca negara seperti berlomba dalam memotret organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia ini.

Ormas Islam yang berdiri sejak tahun 1926 ini oleh sementara pengamat kerap disemati sebagai organisasi Islam tradisional. Kendati istilah “tradisional” ini oleh sebagian pengamat lain seperti misalnya Mitsuo Nakamura, pengamat NU asal Jepang dipandang sudah kurang pas lagi. Sebabnya, dinamika NU sudah bergerak sedemikian rupa menuju progresifitas pemikiran. Bahkan, ditengara pergolakan pemikiran di dalam tubuh NU telah berkembang menerabas “tradisionalitas” itu sendiri.

Munculnya figur Abdurrahman Wahid yang sejak tahun 80-an menggelindingkan bola “pencerahan” diyakini memberikan pengaruh dahsyat bagi warga NU. Belakangan, muncul anak-anak muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla yang pemikirannya seakan “take off” dari basis tradisionalitas yang masih digenggam oleh warga NU terutama kalangan ulama sepuh.

“Sejumlah perubahan besar memang sudah dan sedang terjadi di dalam lingkungan warga nahdhiyyin,” tulis As’ad Said Ali dalam buku terbarunya ini. “Perubahan itu digerakkan kalangan muda yang berpendidikan ganda: pesantren dan pendidikan moderen. Mereka seakan menjadi counterpart kalangan ulama tradisional dalam mendinamisasi NU,” tambah tokoh yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) ini.

Ya, dari namanya saja, NU yang berarti kebangkitan ulama sudah meruapkan pandangan bahwa di dalam NU otoritas tertinggi adalah ulama. NU selalu dipahami sebagai organisasi yang berkomitmen menjaga tradisi, sehingga ciri dan konservatisme sangat kuat. Dari kaca mata ini saja, seolah sia-sia belaka untuk melakukan perubahan. Padahal, sejumlah perubahan besar tengah berlangsung. Perubahan yang tidak hanya menyangkut organisasional, melainkan justru mempertanyakan pola yang selama ini dianggap baku. Sistem bermadzhab misalnya, terus menerus digedor oleh pemikiran kritis yang justru lahir dikalangan NU sendiri.

Riuh rendah pergolakan di tubuh NU selama ini memang lebih menampil di bidang politik (siyasah), budaya (tsaqafah) dan pemikiran (fikrah). Ada hal yang tampaknya kelewatan, yaitu bidang ekonomi (iqtishadiyah). Bidang ini sepertinya “tenggelam” ditelan hiruk pikuk hasrat besar warga NU terutama di ranah politik. Banyak amatan, NU mempunya syahwat politik yang besar. Barangkali, karena NU memang pernah berdiri sebagai partai politik pada tahun 1955 setelah keluar dari Masyumi. Hingga detik ini pun, apalagi di saat-saat hajatan politik seperti Pilkada sampai Pilpres, warga NU banyak terkuras untuk turut “berpartisipasi”.

“Dalam memandang masalah politik dan kenegaraan, pendekatan NU memang khas. Segala sesuatu harus dikembalikan pada hukum fikih,”tulis As’ad Said Ali yang pernah nyantri di Pesantren Al-Munawir Krapyak sembari kuliah di Fakultas Sospol jurusan Hubungan Internasional UGM, Yogyakarta ini pada halaman 37. Pendekatan yang fiqh oriented inilah bagi lawan-lawan NU kerap dijadikan sebagai dalih untuk melihat NU lebih banyak bersikap oportunistik.
Namun, dalam amatan penulis kelahiran Kudus ini, pendekatan fikih di NU justru membuat NU tampil luwes dan dinamis. Dalam soal “negara Islam” di awal-awal pergerakan, kendati NU mendukung konsepsi itu, tapi tidaklah ngotot sebagaimana Masyumi. Tokoh NU, KH Wachid Hasyim kala itu ketika ribut-ribut soal Piagam Jakarta malah secara cerdik mengusulkan untuk menghilangkan kata-kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dan menggantinya dengan kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Suatu rumusan yang bersifat sekuler, namun monoteis. Dengan pendekatan fikih ini pula, NU menetapkan bahwa dalam merespon persoalan sosial, ekonomi dan politik harus berlandas pada sikap tawassuth, i’tidal dan tawazun. Dasar-dasar ini dapat ditelusuri mulai zaman fuqaha yang masyhur, ahli tasawuf panutan hingga ahli-ahli tauhid yang diyakini kalangan nahdhiyyin.

KH Ahmad Siddiq pernah mengingatkan kembali bahwa tujuan dasar NU adalah jam’iyyah sosial keagamaan dan bukan politik. Petuah sesepuh NU ini agaknya perlu digemakan kembali saat ini. Hal inilah yang menjadi amatan sekaligus kegerahan As’ad Said Ali menulis buku ini. Penulis yang memang lahir dari lingkungan NU dan sempat berkarir di IPNU dan PMII ini sepertinya hendak mengingatkan kembali bagaimana NU didirikan oleh KH Hasyim Asyari tidak saja bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai Aswaja, tetapi juga kepedulian untuk meningkatkan derajad ekonomi warga NU. Sejarah mencatat, KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah mempelopori pembentukan organisasi ekonomi, Nahdhatut Tujjar yang berarti “kebangkitan saudagar”. Dan juga kemudian, terbentuk unit ekonomi bernama Syirkah Mu’awanah pada tahun 1937. Meski kurang berkembang, yang ingin ditekankan di sini adalah kesadaran KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah akan pentingnya membangun organisasi ekonomi, jauh sebelum tercetus gagasan mendirikan NU. (hal. 245).

Bagi penulis, NU pada dasarnya mempunyai aset penting selain para ulama. Pertama, adalah kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Kedua, kalangan pengusaha. Ketiga, kalangan politisi yang tersebar di berbagai partai. Dua sektor terakhir inilah yang hingga kini belum banyak terkonsolidasikan. Bagi penulis, inilah agenda yang mendesak. Kalangan intelektual, pengusaha dan politisi semestinya menjadi kekuatan yang solid, setara dan dapat terjalin secara sinergis. Bila ini terwujud, inilah yang menjadi impian pendiri NU tatkala berikhtiar membangun Nahdhatut Tujjar, Tasywirul Afkar dan Nahdhatul Ulama.

Buku ini muncul dari catatan orang yang terlahir dan pernah berkarir di NU. Meski sekarang menduduki jabatan tinggi di BIN, tetapi karena kepeduliannya, As’ad Said Ali melampiaskan kepedulian dan gagasannya lewat buku ini. Satu hal yang ingin ditekankan penulis adalah soal dinamika ekonomi dalam tubuh NU. Nah, As’ad Said Ali ingin menegaskan kembali bahwa NU harus juga fokus pada pemberdayaan ekonomi. muhammad soffa ihsan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar