Buku Sejarah Ateis Islam
Harga Rp 81.000 TERJUAL JKT UT
(Judul asli Min Tarikh al-ilhad fi al-Islam.)
Penulis : Abdurrahman Badawi
Penerbit : Lkis
Terbit :Juni - 2003
ISBN :9793381167
Tebal :xvi+252
Berat Buku 300gram
Sampul :Soft Cover
Dimensi(L x P) 14x21
Kondisi: stok lama,Bagus
Tersedia 1 buah
Dengan keyakinan bahwa akal mampu mencapai kebenaran maka turunnya wahyu dan juga kehadiran nabi menjadi sesuatu yang tidak penting.
Ulasan :
Pada buku pertama karya Badawi disuguhkan mengenai sejarah generasi para mulhid yang sudah ada sejak abad ke-3 dan ke-4 Hijriah seperti gerakan Ibn al-Muqaffa’ dan Abu Isa al-Warraq. Badawi membedakan antara ateisme Barat yang diekspresikan oleh Nietzsche dengan “Tuhan telah mati”-nya dan Ateisme Yunani klasik bahwa “Dewa-dewa yang bersemayam di tempat keramat telah mati” dengan istilah mulhid, atau jika mau dibilang ateisme Arab, yang berangkat dari “Pemikiran tentang kenabian dan para Nabi telah mati”. Mengapa demikian? karena para nabilah yang memainkan peran mediator dalam kehidupan beragama masyarakat Arab.
Beberapa agama telah melewati dan melintasi peradaban Arab seperti Manawi (Manicheism), Yahudi, Zoroaster, dan termasuk Islam. Semuanya bertumpu dan berpusat pada ide tentang kenabian atau para Nabi. Di dalam Islam, keberadaan Tuhan dan agama akan menjadi ada karena faktor penting agen kenabian. Oleh karena itu, yang mereka kritisi adalah mengenai persoalan kenabian dan para Nabi. Tidak seperti ateisme Barat yang muncul belakangan yang mengkritisi langsung persoalan ketuhanan. Badawi merinci beberapa prinsip yang dibawa para mulhid dalam sejarah Islam; Pertama, kecenderungan penggunaan akal (rasionalisme) sebagai penguasa serta penentu pertama dan terakhir di mana tidak ada yang berhak menolak serta menganulir keputusannya terhadap segala sesuatu.
Kedua, ide yang mengatakan bahwa manusia berkembang secara progresif dan berjalan terus menerus. Pemikiran ini ditegaskan khususnya oleh Jabir Ibn Hayyan yang berseberangan dengan pemikiran umum kaum Sunni bahwa segala ilmu berasal dari Nabi (Hadis dan wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi seperti al-Qur’an). Semakin jauh suatu masa dari Nabi maka ilmu pengetahuan akan semakin merosot. Tentunya Jabir Ibn Hayyan menentang hal tersebut karena prinsip progresifitas manusia.
Ketiga, adalah kecenderungan manusia yang mengarahkan pada perbaikan nilai-nilai kemanusiaan murni (humanisme) dalam hubungannya dengan nilai-nilai ketuhanan dan kenabian. Seperti kelompok para penyair yang dikenal dengan nama Ishabah al-Mujjan (Paguyuban Manusia Jenaka) yang dikenal salah satunya yaitu Abu Nuwas dan Basysyar bin Burd.
Keempat, tuntutan terhadapa kebebasan dengan segala harganya tanpa menghiraukan konsekuensi apa saja yang mungkin ditimbulkannya. Maka, kaum mulhid pun maju mengumumkan pandangan-pandangan konstruktif mereka dengan terus terang dan penuh keberanian meskipun harus berhadapan dengan ancaman penguasa khalifah. Kebanyakan mereka memilih sebagai martir sebagai tebusan bagi kebebasan berpikir sebagaimana dialami Ibn al-Muqaffa’, Salih bin Abd al-Quddus, dan tokoh lainnya.
Kalau Badawi menyandingkan mulhid dengan ateisme Barat dan Yunani yang seolah ingin menyetarakan (walau sesungguhnya berbeda) posisi mereka dengan kelompok ateis, maka Stroumsa menjuluki mereka sebagai para pemikir bebas atau apa yang disebut as-Syahrastani dalam buku Milal wa Nihal sebagai al-Istibdad bi ar-Ra’yi yang diterjemahkan oleh Daniel Gimaret sebagai Libre Pensee atau pemikiran liberal. Sebenarnya ada penulis lain yang juga membuat katalog heresiografi selain as-Syahrastani yang mana buku Milal wa Nihal-nya sangat populer bahkan sampai sekarang, antara lain yaitu az-Zamakhsyari yang menulis al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Tanzil. Az-Zamakhsyari yang wafat sekitar 539 Hijriah itu berpendapat bahwa secara umum pelaku bid’ah disebut sebagai Zanadiq atau bentuk tunggalnya Zindiq. Akan tetapi, Zindiq merupakan istilah yang merujuk kepada penganut dualisme Manichean. Adapun seseorang dijuluki sebagai mulhid bukan karena ia meninggalkan satu agama untuk agama yang lainya, melainkan karena ia mengadopsi sistem yang menyimpang dari semua agama, atau menyimpangkan mazhabnya dari semua agama, tidak beralih dari satu agama ke agama yang lain.
Dalam lintasan sejarah, pernah berkembang aliran pemikir bebas di dunia Islam (Islamdom) yang bernama Mu’tazilah dan pernah masyhur ketika melahirkan para filsuf dan ilmuan sekelas Ibnu Rusyd (Averroes) yang banyak menerjemahkan pemikiran Plato dan Aristoteles, kemudian Ibnu Sina, al-Gebra, al-Kindi dan lain sebagainya. Namun masa itu redup tatkala khalifah Mutawakkil membumihanguskan mereka. Sampai sekarang, tulisan kaum Mu’tazilah yang lestari hingga abad ini sulit untuk ditemui. Para Mu’tazilah ini juga sering dituding mulhid, zindiq, atau kafir sekalipun.(mediakompasiana.com/buku/2012/08/04/sejarah-ateisme-dan-pemikir-bebas-islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar