Judul Buku Membedah Ideologi Kekerasan WAHHABI Seri Gerakan Wahhabi, Buku ke 3
Harga Rp 85.000 (jilid ke 3 )
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, November 2009
Resensi Oleh Ali Usman
KECURIGAAN banyak orang terhadap ideologi wahabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik.
Gerakan wahabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ”perantara positif” sekaligus ”hikmah”. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ”keras” dan ”ekstrem”.
Pertanyaannya, bagaimana menguji kebenaran asumsi dan stereotip negatif itu? Buku ini selain memberikan informasi penting tentang seluk-beluk yang menyangkut gerakan wahhabi, juga menyediakan ruang dialektika-kritis bagi pembacanya -bagaimana mestinya kita menyikapi gerakan yang mewabah bernama wahhabi itu.
Nur Khalik Ridwan, penulisnya, terlihat sangat bersemangat dan berapi-api mengeksplorasi bahasan tema dalam buku yang dirangkai dalam tiga seri ini. Sebab, jika dilihat dari aspek kapabilitas intelektualnya, Nur Khalik Ridwan dikenal sebagai sosok muda yang sangat produktif melahirkan karya bergenre kritis, terutama dalam bidang pemikiran keagamaan. Itu sebabnya, tidak heran, Kang Khalik -sapaan akrabnya- oleh sebuah majalah terkemuka di tanah air pernah dinobatkan sebagai salah seorang sosok penggiat revolusi kaum muda.
Buku ini adalah satu-satunya karya (setidaknya di Indonesia) yang berhasil merekam dan memotret keberadaan gerakan wahhabi secara kritis dan komprehensif. Pada buku pertama, diterangkan aspek historisitas, doktrin, dan penamaan istilah ”wahhabi”, yang dinisbatkan pada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Dua kritikus legendaris atas wahhabi, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan as-Safi’i, juga tak luput dari perhatian Nur Khalik Ridwan yang ditampilkan secara dramatis. Buku pertama ini diberi judul Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam.
Menurut Nur Khalik Ridwan, penulisan buku ini dilandasi beberapa faktor penting, yaitu adanya pengaruh wahhabisme yang begitu besar terhadap banyak gerakan Islam dan radikalisasi-radikalisasi lain berbasis agama; belum ada kajian di Indonesia yang secara khusus membahas wahhabi dari akar sejarah hingga soal bagaimana posisinya di negara Arab; terjadinya tren pergeseran dan penolakan wahhabisme justru di kalangan ormas yang dulu terpengaruh ide-ide wahhabi; semakin gencarnya transnasionalisasi ide-ide wahhabi dan ekspansi yang bertubi-tubi, hingga ke berbagai negara, termasuk Indonesia; dan menjamurnya web blog yang dikuasai para wahhabi untuk menyebarkan wacana, ideologi, dan gerakannya (Jld I, hlm 3-10).
Buku kedua, yang bertitel Perselingkuhan Wahhabi dalam Agama, Bisnis, dan Kekuasaan, memuat analisis tajam persoalan relasi gerakan wahhabi dengan kekuasaan -dalam hal ini Kerajaan Arab Saudi. Hamid Algar menulis komentar menarik dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), yang sayangnya, tidak dirujuk oleh Nur Khalik. Menurut Algar, dalam sejarah pemikiran Islam yang berlangsung lama dan sangat kaya, wahhabisme tidak menempati posisi yang memiliki arti penting. Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.
Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Pada buku ketiga, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi, Nur Khalik mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis terhadap ajaran atau doktrin, serta cara berpikir wahhabi yang sangat eksklusif dan menekankan absolutisme. Nur Khalik mencatat, di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalaf yang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi’in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.
Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.
Di buku ketiga ini, diskusi tentang bagaimana gerakan wahhabi bergerilya ke wilayah-wilayah Islam, termasuk di Indonesia, terasa semakin lengkap dan menemukan pijakan relevansi dengan kenegaraan kita. Namun, Nur Khalik belum tuntas menganalisisnya. Sebab, menurut pengakuannya, dia masih dalam proses mengimajinasikan, dan direncanakan disusun menjadi buku tersendiri di lain waktu.
Yang pasti, inilah buku ”babon” (induk) yang secara khusus membongkar gerakan wahhabi beserta peran dan implikasi politisnya. Selamat membaca. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar