Judul: Buku Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim
Harga: Rp. 80.000
Penulis: Nader Hashemi
Penerjemah : Aan Rukmana, Shofwan Al Banna Choiruzzad
Penerbit: Gramedia
Terbit : 2011
Tebal: 345 hlm
Kondisi: Stok lama, Bagus
Deskripsi : Buku ini adalah revisi dari disertasi doktoral Nader Hashemi di Departemen Ilmu Politik di Universitas Toronto.
Secara garis besar, buku ini terdiri atas empat bab.
Bab 1 membicarakan menuju teori demokrasi masyarakat muslim : latar belakang sejarah.
Bab 2 membahas dua kitab suci yang berlawanan : teologi politik John Locke dan demokrasi masyarakat muslim.
Bab 3 soal anatomi ringkas sekularisme, mengungkap keterkaitannya dengan demokrasi liberal.
Bab 4 tentang sekularisme dan penolakannya di masyarakat muslim, pribumisasi pemisahan agama dan negara.
Dengan uraian empat bab tersebut, terlihat bahwa hubungan Islam dengan politik demokrasi liberal muncul sebagai isu yang paling sering menimbulkan perdebatan. Nader Hashemi menantang kepercayaan umum para ilmuwan sosial yang meyakini bahwa politik keagamaan dan perkembangan demokrasi liberal secara struktur tidak sejalan. Ketegangan-ketegangan yang serius antara agama dan demokrasi liberal bukan berarti bahwa keduanya tidak mungkin untuk didamaikan.
****
Resensi:
Selama ini, ada asumsi yang melekat kuat dalam benak masyarakat: demokrasi mensyaratkan sekularisme. Dalam hal ini, sekularisme adalah pengalaman khas Barat dalam pergulatannya memosisikan hubungan negara dengan agama. Padahal, perkara ini tidak ada presedennya sama sekali dalam sejarah maupun teks telogis masyarakat muslim. Maka, dapat dimaklumi bila kemudian muncul penolakan terhadap demokrasi liberal berikut sekularismenya oleh masyarakat muslim.
Hal itu diperkuat dengan tesis-tesis lama yang justru menjadi arus utama kajian tentang Islam dan hubungannya dengan sekularisme dan demokrasi liberal. Di antara tesis itu, misalnya Benturan Peradaban, karya Samuel P. Huntington, yang memosisikan Islam sebagai penantang Barat setelah runtuhnya komunisme. Tesis lainnya adalah Akhir Sejarah Francis Fukuyama, yang menegaskan demokrasi liberal sebagai pencapaian puncak evolusi ideologis umat manusia.
Nader Hashemi dalam buku ini menangkap keganjilan kajian-kajian akademis tentang Islam dan hubungannya dengan demokrasi liberal dan sekularisme. Ia bahkan mencoba menantang asumsi-asumsi teoretis itu melalui kajian komparatif historis. Di sini, ia menggunakan model kajian sejarah jangka panjang, bukan kajian sejarah kejadian-kejadian yang kerap digunakan selama ini.
Dalam kajian ini, ia mengkritik demokrasi yang tumbuh di negara mayoritas muslim lebih sebagai usaha pencangkokan dari luar dan sangat dipengaruhi kolonialisme. Begitu juga sekularisme yang sempat hadir dalam diskursus publik. Ia mengambil contoh proses yang berlangsung di Turki di bawah Kemal Ataturk dan Iran di masa Reza Pahlevi.
Dalam tradisi politik Barat pun, demokrasi liberal dan sekularisme dalam prakteknya tidaklah monolitik. Hal ini bisa dilihat pada model demokrasi liberal Prancis yang menempatkan agama berikut simbol-simbolnya terpisah jauh dari ruang-ruang publik. Perbedaan ini akibat pergulatan panjang sejarah memosisikan agama (gereja) dengan negara yang berbeda dan sering dihiasi dengan pergolakan sosial yang dramatis dan tragis.
Pada bagian akhir buku ini, Hashemi menawarkan sebuah potret pergulatan demokrasi liberal dan politik agama dalam masyarakat mayoritas muslim di Turki dan Indonesia. Di dua negeri ini, ada semacam hasil rekonsiliasi unik, yang di dalamnya demokrasi liberal mendapat dukungan yang lebih luas dalam masyarakat.
Para intelektual muslim di dua negara itu mampu mereposisi agama dan negara hingga menghasilkan satu sintesis unik model demokrasi liberal yang lahir dari interpretasi ulang doktrin-doktrin agama. Begitu pula dengan partai-partai politik Islam yang mampu menyinergikan doktrin-doktrin agama dengan demokrasi hingga membentuk sebuah proses dinamis, di mana agama dan demokrasi tidak saling menegasikan.
Secara keseluruhan, buku ini menawarkan tiga tesis utama. Pertama, demokrasi liberal mensyarakatkan sekularisme. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah sekularisme dan demokrasi liberal justru tumbuh dari semangat keberagamaan yang ditafsirkan ulang.
Kedua, dalam masyarakat di mana agama menjadi identitas, jalan menuju demokrasi liberal tidak bisa terhindar dari gerbang politik keagamaan. Tesis ini juga menantang teori-teori arus utama yang percaya bahwa agama dan demokrasi/liberalisasi saling menihilkan. Namun pembacaan sejarah yang cermat justru membeberkan fakta sebaliknya.
Ketiga, terdapat hubungan yang dekat dan sering diabaikan antara reformasi keagamaan dan perkembangan politik. Seolah-seolah yang tampak dari perubahan politik, khususnya di Barat, tidak ada kaitannya dengan peran strategis agama. Padahal, interpretasi ulang terhadap doktrin-doktrin keagamaan lama menjadi kunci lahirnya perubahan politik, khususnya demokrasi liberal dan sekularisme.
Buku ini menarik dibaca, selain karena menantang tesis-tesis lama tentang tema yang telanjur mengendap dalam diskursus publik dan akademik kita, juga menawarkan jalan lain dalam melihat secara beda dengan kajian-kajian sebelumnya. Buku yang awalnya disertasi penulisnya di Departemen Ilmu Politik Universitas Toronto, Kanada, ini melihat masalah Islam, sekularisme, dan demokrasi dari kacamata yang benar-benar baru.
Angga Yudhiyansyah Mahasiswa CRCS UGM, penggiat Relief (Religious Issues Forum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar