Senin, 16 Maret 2015

Jurnal Mandatory, Politik Perlawanan, edisi 2005

Jurnal Mandatory, Politik Perlawanan, Redaksi : Sutoro Eko, Penerbit IRE Press
Jurnal Mandatory, Politik Perlawanan
Redaksi : Sutoro Eko
Penerbit IRE Press Harga Rp 38.000
Tahun 2005
Tebal xi, 139 hal
Ukuran: 16 x 23 cm
Kondisi stok lawas, sedia 1 buah.


Demokrasi berbicara tentang perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Sebuah demokrasi yang hanva menunjukkan kehadiran lembaga-lembaga formal seperti pemilu, sistem multipartai dan kebebasan pers hanyalah sebuah lelucon ketika tidak mampu menghilangkan penindasan dan ketidakadilan. Hanva perlawanan lah yang memberi kontribusi penting atas masa depan dan prospek dari sebuah demokrasi. Untuk itu Mandatory edisi kali ini berniat mencermati tema "Politik Perlawanan" sebagai bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi liberal.
******
Dalam edisi yang lalu, Mandatory mendiskusikan krisis demokra¬si liberal. Krisis ini, diantaranya, bersumber dari obsesi ber¬lebihan demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan in stitusi dalam memaknai dan menjelaskan arti penting pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak peka pada isu-isu seperti partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tam¬paknya model ini percaya inklusi politik, kesejahteraan dan civility akan datang dan terbentuk dengan sendirinya jika lembaga-lembaga sudah berhasil dibangun. Terbukti kemudian lembaga-lembaga selalu perlu diketuk agar benar-benar membunyikan demokrasi. Jika tidak, lembaga baru sekali¬ber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak konservatisme. Contohnya, sebagai metode seleksi pemimpin ia justru memperkuat posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Bukankah dengan jalan demokrasi, Sultan Yogya misalnya, ingin mengembalikan feodalisme? Dengan lain perkataan, lembaga-lembaga demokrasi secanggih apapun selalu rentan sabotase. Tapi apa persoalan yang sesungguhnya di balik ini semua? Pertama-tama sejarah menunjukkan demokrasi adalah soal perju-angan politik. Demokrasi adalah soal perimbangan kekuatan antara ke-lompok yang pro dan anti demokrasi untuk memperebutkan hak meme-rintah. Mulanya, penulis seperti Barrington Moore, Jr. percaya kekuatan penting di balik demokratisasi adalah borjuasi. Tapi kemudian keyakin¬an ini dibantah oleh studi Therborn dan Rueschemeyer (et., al) yang menemukan semangat demokratisasi dalam diri kelas pekerja. Sementara beberapa penulis lain seperti Laclau dan Mouffe lebih percaya pada peran kelompok-kelompok pinggiran yang berada di luar formasi sosial dominan seperti perempuan, aktivis lingkungan, aktivis homosek¬sual dan kelompok etnis minoritas. Yang jelas, siapapun yang dianggap paling progresif , semua pe¬mikir ini sepakat bahwa demokrasi adalah soal perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Demokrasi—dalam bentuk kehadiran lembaga­lembaga formal seperti pemilu, sistem multipartai dan kebe¬basan pers—akan tampak seperti lelucon, jika penindasan dan ketidak¬adilan masih terus berlanjut. Sebaliknya perlawanan akan selalu menjadi bagian penting dari masa depan dan prospek sebuah demokrasi. Untuk itu Mandatory edisi kali ini berniat mencermati tema “Politik Perlawanan” sebagai bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi liberal. Artikel pertama merupakan analisa tentang gerakan oposisi baru yang sedang berkembang. Amalinda Savirani menunjukkan dalam tuli¬sannya yang berjudul ‘Oposisi Indonesia dalam Era Everyday Politics” bahwa gerakan oposisi tidak lagi hanya memfocuskan pada isu­isu besar dalam lingkup gerakan anti rezim. Namun demikian, gerakan oposisi juga ber¬ada dalam ranah yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari­hari. Menyangkut isu­isu sepele dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang kuat. Pada artikel kedua dengan judul ‘Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas” dalam Wacana Politik Poskolonial”, Arie Setyaningrum dalam analisanya menunjukkan bahwa formasi (pembentukan) identitas seba¬gai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipenga¬ruhi oleh efek­efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang diaki¬batkan oleh kolonialisme. Dalam pandangan akhirnya, politik identitas dilihat sebagai sebuah penyikapan terhadap dilema struktural di dalam mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan sosial. Artikel ketiga, keempat dan kelima merupakan artikel­artikel yang mendasarkan pada studi kasus yang terjadi di Indonesia. Artikel ketiga yang ditulis oleh Gerry van Klinken dengan judul ‘The Forest, The State, and Communal Conflict in West Kalimantan, Indonesia”, merupakan sebuah pencarian jawaban atas pertanyaan tentang persoalan konflik komunal yang terjadi di Kalimantan Timur. Ruthviana Mefi Hermawanti dalam artikelnya yang berjudul “The Role of InternasionalNon­Governmental Orga¬nizations (NGOs) In Third WordDisaster Relief and The Failure of Globaliza¬tion: The Cases of Aceh and West Timor”, melakukan pelacakan atas relasi NGOs dengan proses globalisasi melalui studi kasus Aceh dan Timor Timur. Tulisan Mimin Dwi Hartono yang berjudul ‘Konflik Umbul Wadon:Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu–Hilir”, menghadirkan rekam¬an pengalaman aksi advokasi yang dilakukan oleh sekelompok pihak yang memiliki konsern pada persoalan lingkungan dalam kasus Konflik Umbul Wadon. Pada artikel keenam, yang ditulis Nuraini Juliastuti dengan judul “Dayang Sumbi Bertemu Cinderella: Kode Feminitas dalam Seni Visual Indone¬sia” bercerita tentang kompleksitas perkembangan wacana perempuan dan interkoneksitasnya dengan hal-hal lain dalam seri visual Indonesia. Dengan memperhatikan karya seniman perempuan Indonesia, Nuraini menggambarkan tentang tubuh yang dipakai sebagai medan pertarung¬an, tentang wacana yang bermunculan, serta tentang hal-hal yang mem¬pengaruhi seniman dalam berkarya. Jurnal ini ditutup dengan Tulisan Leo Agustino tentang demokrasi. Menggambarkan optimisme penulis terhadap berbagai keuntungan pada sebuah negara yang menjalankan prinsip-prinsip Demokrasi. (REDAKSI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar