Buku Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia
Penulis: Katharine E. Mcgregor
Harga: Rp. 85.000
Penerbit: Syarikat
Terbit : 2008
Tebal: 486 halaman
Kondisi: Stok lama, bagus,bukan bekas
Tersedia 1 buah
Publikasi mengenai kiprah militer dalam kancah politik Indonesia bukanlah hal baru. Belakangan, semenjak reformasi bergulir buku-buku bertema militer di pasaran selama Orde Baru banyak beredar di pasaran. Tetapi, buku ini memberi sudut pandang berbeda terhadap peran militer dalam memanipulasi sejarah yang selama 32 tahun diyakini benar. Menurut buku ini, sosok di belakang pemanipulasian sejarah itu adalah Nugroho Notosusanto.
Sebagaimana sering kita baca, keberadaan militer dalam kancah politik Indonesia mempunyai posisi yang unik. Hal ini disebabkan rakyat sendirilah yang menciptakan militer Indonesia, di samping setelah pemimpin sipil banyak ditangkap dan diasingkan Belanda pada tahun 1948 militer menempatkan diri sebagai pemimpin nasional.
Atas dasar itu, militer mempunyai klaim yang kuat dan memperoleh pengesahan dalam waktu lama memainkan peran dwifungsinya dalam kancah pertahanan dan politik. Tak heran, pasca-1965 militer berubah menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga militer pada masa Orde Baru tak ubahnya sebuah negara dalam negara.
Dominasi militer tidak hanya tampak dalam hal-hal yang fisik, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat mengonstruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia sehingga ingatan kolektif rakyat terkendalikan oleh nalar militer sehingga mempengaruhi tingkah laku sebagian rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai mirip kaum militer.
Katharine berpendapat, sejarah di masa Presiden Soekarno menjadi sarana propaganda untuk berbagai kepentingan, namun di bawah Presiden Soeharto sejarah menjadi titik pusat upaya mendukung rezim dan militer. Setelah melalui serangkaian penelitian sejarah terhadap teks-teks sejarah yang beragam, film, museum, buku ajar, dan latihan-latihan indoktrinasi terdapat satu nama yang sering muncul, yakni Nugroho Notosusanto.
Nugroho Notosusanto merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru. Dia tidak hanya memproduksi dan mengkonsolidasi terbitan resmi usaha kudeta 1965 yang menjadi dasar legitimasi Orde Baru, tetapi sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985) dan sebagai Menteri Pendidikan dia juga, tanpa lelah, menyebarluaskan kepahlawanan melalui museum, doku-drama dan dalam buku pelajaran (hal. 75).
Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Beberapa dampaknya cerita tentang revolusi nasional akhirnya memfokuskan pada peran menentukan dari militer dengan menyingkirkan pelaku sejarah yang lain.
Menurut versi ini, sepanjang periode tahun 1950-an militerlah yang menyelamatkan bangsa ini dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer memainkan peran penting dalam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sejarah versi militer seputar pemberontakan 1965 menjadi legitimasi dan alasan kuat naik dan bertahannya Orde Baru di bawah topangan militer selama 32 tahun.
Militer Indonesia mempunyai peran yang strategis karena menempati posisi tinggi dalam masyarakat oleh peran ganda mereka dalam pertahanan dan sosiopolitik. Militer, khususnya Angkatan Darat menikmati kedudukan istimewa dalam bidang politik nasional sejak pertengahan tahun 1950-an dan karena itu merupakan kekuatan yang paling siginifikan dalam sejarah Indonesia baru.
Pemberlakuan keadaan darurat 1957 dan 1963 serta konsep jalan tengah AH Nasution yang mengajukan konsep gabungan pertahanan dan sosiopolitik atau dwifungsi semakin menegaskan peran militer. Setelah upaya kudeta 1965 yang memicu terjadinya pengambil alihan kekuasaan oleh militer, dwifungsi militer disahkan dan lebih banyak lagi personel militer dipindah ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan.
Katharine memusatkan kajian sejarahnya pada museum karena militer menekankan sejarah lewat gambar sebagai suatu sumber untuk menyampaikan sejarah. Dalam buku petunjuk hasil dari seminar ABRI tahun 1997, Nugroho menulis, “di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kebiasaan membacapun masih sedang berkembang, kiranya histori visualisasi masih aga efektit bagi pengungkapan identitas ABRI”.
Akhirnya, salah satu pesan paling jelas dan diketahui umum adalah kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah hisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme.
Kehadiran buku ini menarik karena memberikan tambahan kepustakaan dari sudut pandang berbeda mengenai kiprah militer dalam politik Indonesia. Paling tidak, kehadiran buku ini menjadi catatan berharga bagi semua anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahan seperti 32 tahun Orde Baru.
[Paulus Mujiran, Koordinator Riset The Servatius Society Semarang]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar