Sabtu, 11 April 2015

Jual Buku Prakarsa Perdamaian :Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial

Jual Buku Prakarsa Perdamaian :Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial,
Judul : Prakarsa Perdamaian Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial Harga  Rp 33.000
Penulis: Khamami Zada dkk.
Editor : Fathuri SR
Isi : vii+183 Halaman
Ukuran : 16 x23
Penerbit: PP Lakpesdam NU & European Initiative for Democracy and Human Rights (EIDHR) Komisi Eropa
Tahun : 2008
ISBN: 978-979-95818-8-4
Kondisi : Baru, stok lama

Eskalasi kekerasan antar kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang masih marak terjadi di negeri ini. Beragam model konflik yang terjadi baik vertikal maupun horizontal seolah tidak ada tanda untuk berhenti. Terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan seperti penyerangan terhadap Ahmadiyah (di Parung, Kuningan, Majalengka, Lombok, dll.), komunitas Salamullah (Lia Eden), Pondok Nabi di Bandung (2004), Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) di Probolinggo Jawa Timur serta beberapa penyerangan terhadap aliran yang dianggap sesat dan budaya yang bertentangan dengan golongan mainstream.
Menurut Guru Besar filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno dalam pengantar buku terbitan pustaka pelajar yang berjudul melawan kekerasan tanpa kekerasan, ada empat faktor yang melatarbelakangi budaya kekerasan di Indonesia. Pertama, transformasi didalam masyarakat atau pengaruh globalisasi dan modernisasi. Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat. Ketiga, masyarakat yang sakit. Keempat, pengaruh Orde Baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan. Kemudian dalam buku yang digarap oleh Khamami Zada, dkk. ini menyebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik sosial adalah hilangnya toleransi yang selama ini menjadi identitas bangsa Indonesia. Toleransi telah terkikis oleh aksi kekerasan dengan klaim memperjuangkan kebenaran. Meskipun kebenaran itu masih bersifat objektif.
Buku ”Prakarsa Perdamaian” ini adalah hasil penelitian (research) tentang respon dan sikap tokoh agama maupun adat untuk mewujudkan perdamaian di daerahnya serta inisiatif apa yang mereka lakukan dalam menyelesaikan konflik. Maskipun telah ada penelitian yang terkait dengan aksi kekerasan dan inisiatif perdamaian sebelumnya, tetapi masih berkutik pada peran kelompok masyarakat saja (misalnya, LP3ES-Forum sebangsa melakukan penelitian Peran Pesantren dalam membangun jaringan komunitas untuk pengembangan Budaya Damai di Indonesia). Atau beberapa penelitian yang sangat menonjolkan peran negara (pemerintah, kepolisian, militer, dan perangkat daerah lainnya) seperti penelitian yang dialakukan Departemen Agama RI. Namun, buku ini lebih menyoroti aspek peran tokoh agama dan adat dalam upaya untuk menciptakan sebuah prakarsa perdamaian.
Langkah tersebut dipilih dengan alasan bahwa dari sekian konflik yang terjadi, peran tokoh agama dan adat memainkan peran vital dalam sebuah upaya perdamaian. Karena para pemimpin agama inilah yang akan membawa kemana agama akan dibawa, kearah kesejukan dan perdamaian atau ke arah distrust, konflik, dan kekerasan. karena alasan itulah kenapa tokoh agama dan adat memegang peran strategis dalam penyelesaian konflik .
Hal lain yang menarik dari buku ini adalah kajian metodologi yang menggunakan metode kualitatatif, kemudian difokuskan pada wawancara mendalam (indepth interview) dengan 100 informan yang mewakili 12 kabupaten di 3 provinsi yaitu Sulawesi Selatan, NTB, Jawa Barat. Dengan metode ini tentunya akan lebih elaboratif dalam menganalisis dinamika dan ragam inisiatif yang dilakukan tokoh agama.
Bagian awal buku ini secara rinci menjelaskan hubungan antara sikap, otoritas, dan legitimasi berpengaruh terhadap tumbuhnya benih perdamaian. Sikap manusia menurut ahli psikologi Louis Thurstone (1928), rensis Likert (1932), dan Charlest Osgood adalah suatu bentuk evalusi atau reaksi perasaan. Sikap dalam hal ini sebagai kecenderungan terhadap sesatu yang negatif dan positif. Sikap ini tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi banyak faktor seperti ekonomi, politik, agama, lingkungan, norma-norma dan group. Jika orang mempunyai sikap positif terhadap permainan, maka dia akan berusaha mewujudkan perdamaian itu, begitupun sebaliknya.
Di dalam permasalahan otoritas, khamami zada, dkk meninggalkan teori ”kiri” Karl Marx yang mencita-citakan hadirnya masyarakat sosialis tanpa kelas. Sikap yang sama ditujukan kepada kaum konservatisme ”kanan” seperti Adam Smith dan John Rawls yang menegaskan setiap individu pada dasarnya setara. Tetapi lebih melirik analisis Weber yang tidak menafikan aspek otoritas dalam keharmonisan didalam kehidupan masyarakat maupun negara. Jadi, dalam bentuk ruang sosial apapun diperlukan otoritas untuk menjaga ketertiban sosial. Dari analisis inilah kemudian dapat ditarik benang merah, prakarsa perdamaian sangat ditentukan oleh bagaimana persepsi dan sikap pemimpin keagamaan dan adat terhadap persoalan sosial karena kekuatan otoritas dan legitimasi yang dimiliki mereka.
Buku terbitan PP Lakpesdam NU bekerjasama dengan European Initiative for Democracy and Human Rights (EIDHR) komisi Eropa ini, secara intens mengupas model prakarsa perdamaian di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan di Jawa Barat. Masing-masing dieksplorasi hal-hal yang bersinggungan dengan konflik dan kekerasan. Dimulai dengan setting geografis dan sosiologis masing-masing daerah, peta konflik dan kekerasan yang meliputi berbagai macam kekerasan yang terjadi beserta penyebabnya. Setelah itu, memperbincangkan sikap dan respon tokoh agama dan adat terhadap kekerasan, baik dalam fisik maupun psikis terhadap perbedaan yang ada. Yang tidak kalah penting adalah profil informan sebagai bagian sumber data primer dan acuan data informasi. Selain itu informan dituntut sebisa mungkin untuk mewakili aktor, baik aktif maupun pasif, yang berada dalam lingkaran kasus kekerasan tersebut.
Konflik yang terjadi di Sulawesi Selatan misalnya, provinsi yang berpenduduk kurang lebih 7,63 juta jiwa dan juga multikultur ini tidak lepas dari ancaman konflik sosial. Konflik antar suku Bugis dan Makasar, konflik antar agama, penyesatan terhadap ahmadiyah, sengketa tanah adat kajang dengan PT Lonsum serta sejumlah konflik akibat perda syari’at sempat meletupkan api ketegangan di Sulawesi Selatan. Konflik-konflik tersebut dilatarbelakangi berbagai hal dari pemberitaan media yang provokatif sampai penyesatan ideologi. Dari konflik sosial ini tentunya terdapat figur-figur yang diharapkan mampu untuk menyiasati sebuah perdamaian yang utuh. Diantara beberapa figur ini adalah tokoh agama dan adat seperti H. Colleng ketua jamaat ahmadiyah, Hj. Rusdaya Basri, Lc. Sekretaris Himpunan Daiyah Muslimat NU sekaligus pengajar STAIN Pare-Pare dan tokoh adat seperti Amma Toa, pemimpin tertinggi komunitas kajang, dan masih banyak lagi yang lainnya. Figur-figur seperti ini sekaligus menjadi informan dalam penelitian ini dan menjadi agen menuju perdamaian dengan legitimasi yang mereka miliki. Mereka mempunyai pengalaman dalam setiap kasus konflik dan mempunyai sosialisasi perdamian dengan versi yang beragam. Media yang telah dipakai untuk mengampanyekan perdamaian seperti pendidikan, diskusi, dialog lintas iman sampai menerapkan nilai perdamian dalam kegiatan sehari-hari.
Pada bagian akhir dari masing-masing pembahasan daerah konflik ini, selalu dirinci jelas bentuk-bentuk prakarsa perdamaian. Dilengkapi dengan dat-data media-media yang dipakai serta advokasi dan diseminasi perdamaian yang didiskripsikan secara objektif terhadap dimensi sosial ada. Setidaknya konflik dari 12 kabupaten yang ada di 3 provinsi, dapat disimpulkan menjadi empat kategori konflik berdasar aktor yang terlibat. Pertama, konflik antar pemeluk agama yang berbeda (NTB). Kedua, konflik internal umat beragama (Jemaat Ahmadiyah, Kelompok Salafi). Ketiga, konflik antara ”agama resmi” dengan komunitas adat (kasus masyarakat To Lotang SulSel, Agama Sasak NTB). Keempat, konflik masyarakat adat dengan pemerintah (konflik adat Kajang dan PT Lonsum). Kelima, konflik intern masyarakat adat (konflik Dusun Rembitan dan Penyalu NTB).
Semua kekerasan yang timbul berawal dari baragam aktor dan pola konflik serta sikap dan perilaku sesorang dalam melihat persoalan. Hal itu sangat dipengaruhi banyak faktor, sebut saja jarak sosial (social distance), situasi dan kondisi individu, kepercayaan umum, dll. Oleh sebab itu, upaya bersama-sama merupakan langkah riil untuk mewujudkan perdamaian. Perdamaian tidak bisa dipasrahkan pemerintah saja atau diprakarsai tokoh agama dan adat. Melainkan serentak oleh berbagai elemen masyarakat untuk berhasrat mempunyai kepentingan bersama menorehkan perdamaian.
Buku laporan penelitian Khamami Zada, dkk. setebal 183 halaman ini berhasil membawa pembaca pada medan konflik sekaligus mengajak untuk merintis sebuah prakarsa perdamaian. Tentu buku ini bermanfaat bagi para penggiat isu perdamaian. Dengan buku ini kita akan bisa merenungkan beberapa langkah strategis dalam mengupayakan perdamaian di muka bumi ini. []

* Penulis adalah Warga Piramida Circle dan Penggiat Perdamaian Lintas Iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar