Kamis, 07 Mei 2015

Jual Buku Perjalanan hidupku : masuk penjara, pembuangan Digul dan pulang ke Indonesia merdeka Yahya Malik Nasution

Jual Buku Perjalanan hidupku : masuk penjara, pembuangan Digul dan pulang ke Indonesia merdeka Yahya Malik Nasution
Buku Perjalanan hidupku : masuk penjara, pembuangan Digul dan pulang ke Indonesia merdeka
Yahya Malik Nasution ;
Editor, H. Asral Datuk Putih, Erwin Jr.
Harga Rp 85.000
Pengantar : Asvi Warman Adam
Jakarta : LPPM Tan Malaka, 2013.
Kondisi Baru

PERJALANAN HIDUPKU - Dipetik dari Biografi Yahya Malik Nasution - (3 November 1898 - 14 Januari 1962)

Menuju Tanah Pembuangan
     Pada tanggal 20 Juli 1938 petang hari administratur bui menerangkan pada saya besok tanggal 21 Juli dan kawan-kawan akan diberangkatkan ke Digul betul saya harus sudah bangun karena pukul lima disampaikan juga bahwa keluarga diluar sudah bersiap.

     Tepat pukul lima pagi-pagi tanggal 21 Juli 1938 saya meninggalkan kamar sel bui Cipinang dimana saya sudah berchalwat selama dua tahun empat bulan termasuk 40 hari di bui Glodok. Dimuka pintu saya disambut dimasukkan auto bui tertutup, dibawa entah kemana hanya ketika auto diberhentikan saya jenguk dari sela-sela lubang angin, rupanya berhenti didepan bui Gang-Tengah.

    Dalam hati saya berdebar-debar siapa-siapakah Kawan saya yang menjadi korban tangkan PARI akan berangkat ke tanah pembuangan itu? tidak lama kemudia masuklah kedalam auto saudara-saudara: 1. Abdul Hamid 2. Manu Gani 3. Subeno 4. Abdul Rachman 5. Namin 6. Umar Landin 7. Abdul Salam dan 8. Suparmin (jadi kesembilan saya).

    Walaupun saya sedih hati melihat kawan-kawan yang delapan orang ini, jadi Sembilan orang bersama saya diasingkan dari masyarakat yang saya Bela, tetapi syukur juga kepada Tuhan bahwa hanya Sembilan orang jadi korban dari kurang lebih 600 orang yang ditangkap pada tanggal 11 Maret 1936 di Jakarta. Sebenarnya 10 orang tetapi saudara Rahman Djamal alias Djamaluddin Ibrahim belum bisa diberangkatkan karena dia sakit TBC masih dalam rawatan. Saudara Abdul Hamid menerangkan bahwa kawan-kawan dari Surabaya sudah lebih dahulu diberangkatkan yaitu saudara: 1. Djaos 2. Malilo Siregar 3. Alibasa Siregar 4. Tatar Siregar 5.Taskandar 6. Asmo dan 7. Marinus Siringo-ringo. Jadi pengorbanan atas tangkapan PARI 1936 itu berjumlah 17 orang semuanya menjadi penduduk Baru Tanah Merah Boven Digul. Saya tenangkan hati saya, karena beratus-ratus masih ada tinggal diantaranya orang-orang penting orang-orang intelek dan studenten serta penghubung yang dinamis. Pengorbanan itu hanya dari Jakarta dan Surabaya dengan kata-kata lain masih ada kader tetap terpelihara, tapi sayangnya mereka tidak mengenal satu sama lain karena segala alamat ada ditangan saya. Sungguh demikian saya masih punya harapan beberapa orang yang dikenal seperti: saudara Mr. Muhammad Yamin, Mr. Asaat, Djakman, A. Rahman Nasution dan lain-lain saya harap mereka dapat bertemu dengan sendirinya karena air yang mengalir dari bukit biasanya akan ke sungai dan bermuara ketempat yang sama. Kawan-kawan di Semarang, Bandung, Padang, Medan, Tapanuli, Sumatera Selatan dan lain-lain diseberang selamat semua, selamat berjuang kawan-kawan semua.

    Tak lama kemudian auto tertutup itu dihentikan, kami diturunkan di stasiun Gambir yang sudah penuh dengan keluarga sahabat kenalan yang akan turut dan yang mengantarkan, keluarga saya yang hadir ketika itu adalah Siddik Salim kakak Asmah dan kedua anaknya (Hayati dan Baniah) dan beberapa orang dari pihak istri saya. Bukan main ramainya perpisahan itu, suatu yang tak mungkin dilupakan. Pukul 7.30 kereta api bertolak menuju Surabaya, selamat tinggal Jakarta. Pukul enam petang kereta api sampai di Surabaya kami semua orang buangan dimasukkan ke bui Semut, sedang keluarga menginap diluar (boleh tempat keluarga).

   Setelah tiga hari dalam bui Surabaya kami dinaikkan diatas kapal Fomalhout diujung yang akan membawa kami ke tanah pembuangan. Di ujung adik-adik saya di Surabaya (Ali Gandi dan Ali Usman) datang mengantarkan, karena Bapak kecil saya Mohamad Akhir berhalangan.

    Bersama kami turut ke Digul saudara Ibrahim yang dihukum 11 tahun karena pemberontakan di Silungkang Sumatera Barat (Januari 1927) setelah habis hukumannya, dibuang pula ke Digul. Dan seorang lagi saudara Akhmad Syuib berasal dari Sumatera-Barat yang sudah beberapa tahun di Digul, dipulangkan karena salah nama. Pada hal yang dicabut besluitnya adalah Akhmad Malik berasal dari Bandung, jadi setelah saudara A. Syuib sampai di Surabaya datang telegram dari Digul menerangkan kesalahan itu dia harus dikirim kembali ke Digul. Sungguh sedih melihat saudara itu yang sudah mengirim surat pada keluarganya menyatakan dia akan pulang, akhirnya kembali ke Digul atas kesalahan administrasi pemerintah jajahan.

     Kapal Putih Fomalhout menyusur pantai arah ke Timur membawa kami keluarga orang buangan yang diantar oleh beberapa orang Veld-Polisi yang juga dengan keluarganya hendak pulang bercuti ke Ambon berlainan dengan rute biasa, kami tidak menuju Makasar tapi kapal kami menuju Alor, Buton terus ke Ambon.

     Kami berkesempatan bertanya pada saudara A. Syuib yang sudah lama di Tanah Merah cara bagaimana kehidupan dapat diatur ditanah pembuangan itu agar kami masing-masing dapat merencanakan, bagaimana harus hidup disana kelak.

     Sepuluh hari kami dihentikan dibui Ambon sedang keluarga mencari tempat kesenangannya diluar. Untunglah di Ambon ada saudara Hasanusi bekas buangan dari di Digul dialah yang menolong keluarga kami dalam segala sesuatu di Ambon saya suruh istri saya membeli kain black jane semua uang yang saya bawa hanya Rp. 300,- semua dibelanjakan, karena saudara A. Syuib bilang kain hitam itu dijahit jadi celana pendek laku benar di Digul, disenangi orang buangan dan juga penduduk asli.

   Sesudah 10 hari di Ambon, maka Fomalhout kembali menyusur laut kepulauan Maluku yang indah itu, singgah di Tual, turun ke dapat mandi-mandi di Mesjid Tual, makan minum di restaurant barulah kembali naik ke kapal. Di Dabo kami turun pula kedarat, mandi-mandi di stasiun listrik, berkeliling kota beli-­beli dan minum-minum diwarung dipinggir laut, kurang lebih setengah hari baru naik ke kapal kembali. Paling akhir berlabuh di Djepero sudah dekat muara kali Digul. Pelabuhan Djepero sudah masuk pesisir Irian Barat. Kami tidak boleh turun kedarat hanya memandang kota dari kapal. Setelah 6 jam dipelabuhan Djepero kami bertolak menuju Tanah Merah. Masuk muara kali Digul selama dua hari dua malam, barulah sampai  dipelabuhan Tanah Merah, Boven Digul pada bulan Agustus 1938. Kami disambut oleh kawan-kawan keluarga orang buangan terutama korban-korban PARI pembuangan tahun 1931, 1932, 1933, 1934 dan 1936 dari Surabaya yang sudah lebih dahulu kesana.

      Di Digul ada tiga macam dasar penghidupan yang tiap orang memilih :

1. Natura: hidup dengan menerima bahan mentah (natura oeding) dari pemerintah. Mereka ini dipandang masih tetap menentang pemerintah dan dalam prinsipnya tidak bisa pulang ke Indonesia.

2. Verkwilliger: bekerja pada pemerintah kalau konduitenya baik kelak ada kemungkinan dipulangkan.

3. Eigenwerkzoekende: cari hidup sendiri tidak menerima okongan apa-apa dari pemerintah dan kalau konduitenya baik dapat pulang kelak.

Ketika saya ditanya oleh Wedana, pada hari ketiga sesampainya di Tanah Merah saya memilih penghidupan Eigenwerkzoekende itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar