Harga Rp 120.000 TERJUAL
ISBN/ISSN: 979-95888-9-8
Penerbit: Teplok Press
Tahun Terbit: 2000
Kolasi: ix+139 hlm.:20 Cm
Bahasa: indonesia
Kondisi : Stok lama, Bagus
Buku ini terbagi atas: pertama, pembelaan Sudisman di mahkamah militer luar biasa (mahmilub)
pada Juli 1967; dan kedua, otokritik terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Di dalam pembelaan
pada sidang mahmilub, Sekretaris CC PKI ini membela kawan-kawan seperjuangannya yang telah
ditembak mati oleh aparat keamanan, yakni D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sakirman.
Tetapi, di dalam kritik yang bersifat internal, Sudisman juga mengecam beberapa kebijakan yang
dilakukan pimpinan dan rekan-rekannya sesama pengurus PKI. Menurut Sudisman, dalam sidang
pimpinan PKI, Agustus 1965, D.N. Aidit berbicara tentang "perwira-perwira maju" yang mau
mendahului bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal.
Kemudian Ketua PKI itu menugasi beberapa stafnya ke daerah pada hari-hari menjelang meletusnya
G-30-S, dengan garis: "Dengarkan pengumuman RRI Pusat, dan sokong Dewan Revolusi." Dengan
demikian diakui, beberapa pemimpin PKI telah tahu rencana G-30-S itu sebelumnya. Namun, Sudisman
membantah PKI sebagai partai terlibat.
Kalau memang demikian, kata Sudisman, orang-orang yang dikirim ke daerah itu tentu lebih banyak,
dan sudah berangkat beberapa bulan sebelumnya. Setelah gerakan itu pecah, anggota/simpatisan PKI
yang jumlahnya jutaan tidak melawan, bahkan menjadi korban pembunuhan dan penangkapan. Yang
melakukan G-30-S sebagian bukan perwira komunis, bahkan Dewan Revolusi bukan dipimpin oleh Ketua
PKI.
Sudisman juga mengungkapkan bahwa G-30-S tidak dapat disebut sebagai kudeta untuk merebut
kekuasaan dari Soekarno, malahan tujuannya untuk menyelamatkan Presiden RI. G-30-S taat kepada
presiden, bahkan akan melakukan apa yang diperintahkan presiden. Hal ini terbukti dari laporan
Brigjen Soepardjo kepada Presiden Soekarno di Pangkalan TNI-AU Halim Perdanakusuma.
Soekarno menyuruh menghentikan gerakan tersebut. Bila Soekarno memerintahkan gerakan diteruskan,
barangkali akan terjadi pertumpahan darah di Tanah Air, karena masih banyak pendukung Bung Karno
di kalangan militer seperti pada Kodam Brawijaya, KKO-AL, dan tentu saja TNI-AU. Oleh sebab itu,
Sudisman pribadi mendukung G-30- S, yang dianggap mencegah diktator militer.
Ketidaksukaan terhadap militer tampak jelas dalam pembelaannya. Ia mengatakan, kekuasaan militer
tidak dapat dibebani tugas sejarah karena: pertama, kaum buruh dan tani tidak menyokong
kekuasaan militer; kedua, dalam sejarah tidak ada rezim yang dapat mempertahankan diri di atas
ujung bayonet; dan ketiga, kaum militer berkolaborasi dengan kaum imperalis.
Persidangan mahmilub sebelumnya disiarkan oleh RRI, tetapi kasus Sudisman tidak disiarkan.
Meskipun demikian, acara itu diikuti beberapa pengamat asing, seperti Ben Anderson. Ben terkesan
akan penampilan Sudisman. Bahasanya jelas, teratur, dan uraiannya mendalam. Berbeda sekali
dengan Sjam Kamaruzzaman, yang menjadi saksi dalam persidangan itu.
Bahasa Sjam kacau, dan terkesan bahwa dia -menurut Ben- orang sinting. Anehnya, orang seperti
itu bisa menjadi Ketua Biro Khusus PKI. Sjam diberi kesempatan bicara panjang lebar dalam
persidangan. Selama dia bersaksi, Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak menjawab
pertanyaannya. Banyak yang cuci tangan, sebagaimana terlihat dalam kesaksian pada persidangan
Sudisman.
Tetapi, Sudisman sendiri, sebagai pemimpin PKI yang paling tinggi waktu itu, mengatakan bahwa
dia bertanggung jawab. Dia melihat partainya dihancurkan secara mengerikan. Ratusan ribu orang
telah terbunuh. Ia merasa bahwa ia bertanggung jawab. Dia yakin, PKI (sebagai partai) tidak
terlibat, tetapi mengakui bahwa beberapa tokoh PKI memang telah terseret.
Buku ini memperlihatkan keteguhan seorang aktivis partai kepada ideologi dan prinsip yang
dianut. Sudisman adalah seorang Jawa yang dengan fasih berbicara tentang ajaran simbolik dalam
wayang. Manusia yang sudah tahu akan menghadapi kematian. Sebanyak 17 orang diadili dalam
mahmilub, semuanya dijatuhi hukuman mati -kecuali Letkol Udara Heru Atmodjo, seumur hidup.
Sudisman memilih mati terhormat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar