Jumat, 12 Juni 2015

Jual Buku Takdir Demokrasi: Politik untuk Kesejahteraan Rakyat, Anas Urbaningrum

Jual Buku Takdir Demokrasi: Politik untuk Kesejahteraan Rakyat,  Anas UrbaningrumBuku Takdir Demokrasi: Politik untuk Kesejahteraan Rakyat,
Anas Urbaningrum
Harga Rp 65.000 TERJUAL
(Jakarta: Teraju), 2009
Kondisi : stok lama, Segel

Anas Urbaningrum adalah salah satu intelektual muda yang menuangkan gagasan, pemikiran tentang demokrasi produktif, dalam buku-nya “Takdir Demokrasi”. Ia mengatakan berbagai tantangan dan masalah nyata yang dihadapi negara-negara demokrasi adalah ruang, kesempatan dan sekaligus tuntuan bagi demokrasi untuk selalu adaptif, kenyal dan menawarkan solusi. Itulah ruang dialog antara sistem demokrasi dan realitas. Nilai–nilai demokrasi harus diterjemahkan untuk menjawab tantangan nyata. Karena demokrasi di Indonesia harus terus-menerus disempurnakan. Selain memang usia demokrasi kita masih muda, demokrasi di Indonesia belum menemukan bentuk yang mendekati cita-cita reformasi. Karena itu, kreativitas praktik dilapangan menjadi salah satu kunci dari keberhasilan. Berdasarkan kondisi tersebut Anas urbaningrum menawarkan poin-poin gagasan untuk menyempurnakan demokrasi.

Pertama adalah kesediaan untuk berfikir luas dan jangka panjang. Perbaikan undang-undang politik yang mendukung bangunan demokrasi yang makin baik dan produktif hanya bisa berjalan jika semua pihak (terutama partai politik) mampu melampaui kepentingan sendiri-sendiri. Sistem kepartaian yang makin sederhana dan sistem pemilu yang akuntabel. Kepentingan parsial partai dan golongan harus mampu ditempatkan di belakang. Karena demokrasi yang ideal adalah mengandalkan suatu kondisi masyarakat yang memiliki kematangan dalam berpolitik, memiliki penilaian yang baik, dan tentu saja mendahulukan tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum daripada kepentingan-kepentingan pribadinya.

Kedua, kesediaan untuk bekerja amat keras untuk mendekatkan (bahkan mengawinkan) kemakmuran politik demokrasi dengan kemakmuran ekonomi. Reformasi telah mengusir tekanan politik negara otoritarian terhadap masyarakat politik. Kebebasan demikian nyata dan sangat berkelimpahan. Rakyat pun merasakan kebebasan tersebut. Kemakmuran politik inilah yang harus menjadi modal dasar bagi kerja keras untuk mengusir tekanan ekonomi yang masih dirasakan oleh rakyat miskin. Karena kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi sangat jelas berpengaruh secara langsung terhadap seluruh lapisan masyarakat. Modernisasi yang dijalankan pun haruslah berorientasi pada tujuan mencapai kesejahteraan rakyat. Karena demokrasi yang berkualitas, tentu bukan demokrasi yang hanya menekankan pada keberhasilan proses formal demokrasi seperti pemilu atau pilkada. Kualitas dan kesuksesan demokrasi hanya bisa ditakar dari sejauh mana para penyelenggara negara mampu mengutamakan pembangunan sosial-ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan rakyat serta mewujudkan demokrasi menjadi jendela, fikiran, batin, jiwa dan tindakan sehari-hari seluruh masyarakat.

Ketiga, kesediaan para aktor demokrasi untuk menjadi teladan nyata. Bahkan keikhlasan untuk belajar dari rakyat banyak. Para pelaku utama harus lebih matang ketimbang pemain pembantu. Dendam tak berkesudahan dan memutus silaturahmi hanya karena kalah, hal-hal yang seperti itu mutlak harus dijauhkan dari praktik demokrasi. Para elit perlu bercermin dari sikap para pendukung yang sudah akur kembali dalam pergaulan sehari-hari, walaupun mereka sangat fanatik. Upaya untuk benar-benar berhasil membangun etika dan moralitas politik yang sebangun dengan tuntutan sistem politik demokratik.

Prasayarat penting yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan itu adalah pentingnya dibangun kebudayaan dan kepribadian politik demokratik yang meliputi elemen-elemen yaitu inisiatif rasional politik, kesantunan politik, disposisi reprositas toleransi, fleksibilitas dan open minded, komitmen kejujuran, serta keterbukaan. Oleh karena itu etika politik menjadi penting. Sejatinya para elit harus menjadi contoh yang baik untuk selalu menebar, menanam norma-norma etika politik kepada masyarakat, karena pengertian berpolitik bukan mengajarkan memperebutkan kekuasaan namun penghayatan moral dan etika politik yang mengedepankan pengorbanan altruistik untuk bangsa dan negara. Karena di pentas dan panggung politik, etika politik sepertinya sudah lama “tiarap”.

Etika politik hanya menjadi academic exercise yang menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku kuliah. Realitas nya sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik tereduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan kekuasaan politik. Padahal jelas, politik tanpa etika hanya akan melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam demokrasi. Padahal etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan akhlak bangsa.

Memperbaiki sistem, bukanlah persoalan politik belaka, betapa sistem di-ubah, diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mau dan belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas. Mengingat awal mula gagasan demokrasi itu lahir melalui penghadapan antara cita-cita dan realitas. Dimana ia merupakan suatu struktur makna dari perilaku dan perbuatan ide demokrasi bertolak dari kesadaran akan perlunya corak masyarakat yang demokratis. Karena etos demokrasi adalah sesuatu yang dipelajari dan bukan diwariskan. Artinya, untuk mencapai demokrasi produktif tidak hanya difahami dalam tatanan kognitif saja. Melainkan harus mempraktekan dalam perbuatan masyarakat.

Nilai-nilai demokrasi jika tumbuh dan berkembang dalam prilaku keseharian warga negara maka akan mendorong perkembangan demokrasi yang produktif, demokrasi yang mapan (established democracy). Sebaliknya, jika nilai etika dan moraliitas demokrasi tersebut tidak dikembangkan, maka demokrasi berada dalam keadaan yang rentan (fragile democracy). Kembali mengutip tulisan Anas Urbaningrum dalam bukunya “Takdir Demokrasi”, menanam pastilah bukan egois sebaliknya adalah tindakan altruis. Menanam sepragmatis apapun, pasti bermakna perduli kepada orang lain. Bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, kelompok sendiri, generasi sendiri. Menanam adalah amal shalih dari kebijakan yang mampu menggerakan dinamika sejarah.(Dewo Nitisastra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar