Asep Sambodja Menulis
Penerbit : Ultimus
Harga Rp 85.000
Cetakan : 1, Mar 2011
Pengarang: Asep Sambodja
Halaman : xiv + 378
Dimensi : 14.0 X 20.0 cm
ISBN : 978-602-8331-36-4
Oleh : Slamet Wahedi
Sejarah sastra Indonesia adalah jejak rekam estetika yang ditulis di tengah ketegangan ‘intrik’ pelaku seni dan ambisi politik kekuasaan. banyak peristiwa dan sosok yang kadang terlupakan. Begitu juga banyak gagasan dan pernyataan yang perlu dipertanyakan.
Sejak awal perintisannya (meminja istilah A. Teeuw), kita sepakati pada 1920-an sejarah Indonesia bergerak dalam sangkar ’emas’. Pihak Belanda yang bertindak sebagai pemegang otoritas penerbitan membonsai dan mengebiri gagasan para pengarang dengan lembaga Balai Pustaka-nya. Bahkan lewat lembaga itu pula , pihak Belanda melabeli beberapa karya anak pribumi dengan tanda silang merh dan isu miring.
Pada masa pasca kemerdekaan, tepatnya pada 1960an, ketegangan sejarah sastra Indonesia semakin menmukan muaranya. Polemik kebudayaan antara Lekra dan Manikebu yang tanpa dihindari juga merupakan ketegangan politik, melahirkan kutub pahamsastra yang terus tarik menarik. Hingga kini, realisme sosialis yang diusung Lekra dan Humanisme Universal yang dikumandangkan Manikebu terus bergulat, bernegosiasi.
yang lebih parah keduanya pun saling sikut. Tak ayal, sejarah sastra yang lahir adalah sejarah sastra yang ditulis dan diperuntukkan orang-orang berkuasa. Dengan kata lain, perjalanan sastra Indonesia mengalami reduksi kenyataan dan kebenaran.
Lalu, bagaimanakah seharusnya sejarah sastra itu ditulis dan dipahami? Mungkin jawaban atas pertanyaan itulah yang dicoba diemban buku Asep Samboja menulis, Tentang sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra.
Mengenai sejarah sastra, buku ini menyarankan pentingnya dilakukanpenulisan ulang dari waktu ke waktu. Hal itu, menurut Asep, berdasar dua alasan. Pertama, bertambahnya jumlah satrawan dan karyanya seiring dengan perkembangan jaman. kedua, untuk leboh mengakomodasi banyaknya karya sastra yang lahir dalam rentang waktu tertentu (hal.9)
Penulisan ulang tersebut juga bisa dimaknai sebagai usaha merekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Dengan demikian, beberapa kelemahan dan ‘kesalahan’ penyusunan sejarah sastra kita selama ini dapat disempurnakan. Kaburnya awal sastra Indonesia dan batasan hakikat sastra Indonesia dapat diteliti dan diungkap secara komprehensif. Pun, beberapa karya terabaikan dapat diselamatkan.
Buku yang dikumpulkan dari serakan tulisan almarhum Asep Sambodja di jejaring sosial facebook yang diniatkan sebagai ‘kado’ kenangan 100 hari kematiannya memuat sekitar 52 esai yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama tentang sastrawan dan karyanya dalam mengekslporasi dan pencapaian estetika. Bagian kedua berbicara tentang para pengarang Lekra. Mereka yang terusir dan karya-karyanya yang terabaikan.
Mengenai sastra Indonesia, Asep mencoba menyoroti fenomena dan bahaya kanonisasi sastra dan tarik ulur identitas sastra cyberpunk. Menurut dia , dua gejala kesustraan itu telah mengakibatkan terjadinya ‘perselingkuhan’ dan ketidakjujuran para pelaku seni tentang pencapaian estetika.
Perselingkuhan itu berkutat pada ranah mitos otoritas para empu kuasa estetika. Sedangkan ketidakjujuran yang bisa dirasakan misalnya penolakan anugrah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer. Mereka-yang menolak- telah tidak jujur bahkan tidak adil atas capaian estetika seorang pengarang.
Selain persoalan sejarah sastra yang masih ‘buram’, Asep juga menaruh perhatian terhadap polemik sastra pusat (Goenawan Mohamas cs) dan sastra daerah (Bumiputra). Dalam empat esai bersambungnya, Asep secara panjang lebar mengurai paradoks dan misteri yang terselubung di tengah politik kebudayaan yag ditengarai hanya sebagai arena umpatan, makian, dan fitnahdaripada sebagai arena menemukan gagasan sastra Indonesia yang apik.
Jurnal Bumipoetra yang selama ini begitu gigih dan gencar menyerang Goenawan Mohamad cs dengan berbagai isu miring, terutama sastra perkelaminan, ternyata diam-diam juga memuat sastra yang berbau kelamin. Saya sama sekali tidak menganggap cerpen mini Hasan basri ini buruk. Justru sebaliknya, cerpen hasan basri ini puitis dalam menggambarkan perselingkuhan..yang saya pertanyakan, kenapa Boemipoetra bisa menerima cerpen Hasan Bisri, namun menolak novel Ayu Utami meskipun pada hakikatnya keduanya berbicara mengenai masalah yang sama? (hal.130)
Sedangkan mengenai para pengarang Lekra, Asep berani mengupayakan untuk mereka tempat yang layak. Dalihnya, semata-mata demi pembacaan sejarah sastra Indonesia yang lebih komprehensif. Bukan berdasar tendensi. Apalagi, ambisi politik kekuasaan.
Karena itu, bermunculanlah dalam tulisannya nama-nama pengagarang yang selama ini raib (atau diraibkan). Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, A.S. Dharta, Putu Oka Sukananta, Chalik hamid, Mawie Ananta Jonie, H.R. bandaharo, Agam Wispi, dan Hersri Setiawan. Tidak hanya mengapresiasi dalam memberikan ruang nilai yang layak, Asep juga mencoba meluruskan berbagai isu yang sempat dipelintir oleh sebagian mereka yang kini memegang tampuk kekuasaan sastra.
*) Santri Ponpes Mathali’ul Anwar, Sumenep, bergiat di Bibliopolis dan Komunitas Rebo Sore
**) Jawa Pos, 3 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar