Judul: Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. Harga 55.000 OFF
Penulis: K.H. Husein Muhammad
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: lxvi + 344 Halaman
Ukurani: 12 x 18 Cm
Penerbit: LKiS
Tahun: C II, 2007
Kondisi: Bagus
Pemosisian perempuan dalam pergaulan social sering kali mendapat posisi yang kurang menguntungkan. Kurang menguntungkan di sini bisa mempunyai banyak artian terkait dengan pensejajaran hak antara pria dan wanita pada tempat yang seharusnya. Hal ini tidak lepas dari asumsi dasar yang banyak berkembang dan diamini oleh banyak orang. ungkapan seperti perempuan itu mahluk lemah, perempuan itu kurang akal, bahkan dalam sebuah tafsiran ada pengartian bahwa yang di maksud dengan kata safih adalah termasuk perempuan dan anak-anak.
Buku yang ditulis oleh KH. Husein Muhammad ini mencoba memberikan jawaban dengan mengupas banyak hal seputar pemosisian perempuan pada tempat layak yang seharusnya. Segala hal yang bersifat diskrimainatif, baik itu yang benar-benar sudah terjadi diskriminasi maupun hal yang mengarah pada diskriminasi serta yang diindikasikan akan mendiskriminasi perempuan, coba di jawab dalam buku ini.
Pemosisian perempuan kini merupakan satu dari sekian kritik wacana keagamaan paling marak diperbincangkan, karena dalam kurun waktu yang sangat panjang, posisi perempuan masih tetap dianggap tidak, atau setidaknya dianggap belum mengalami banyak perubahan. Mayoritas masyarakat masih memandang kaum perempuan sebagai mahluk Tuhan kelas dua di hadapan laki-laki. Kebudayaan patriarki (serba laki-laki) masih berlangsung secara massif. Akibatnya mereka bukan saja tersubordinasi, tetapi juga terpinggirkan dalam proses kehidupan social, budaya, ekonomi dan politik (hal. 80)
Dalam buku ini diungkapkan pula tentang keberadaan perempuan sebagai fitnah. Kata fitnah yang menurut kata asalnya adalah “cobaan” serta “ujian”, yang dalam bahasa kita sering dilekatkan searti dengan sumber kerusakan serta juga kekacauan, adalah wujud stereotip yang dilekatkan kepada perempuan. Dalam tema-tema fiqh, hal-hal yang terkait dengan perempuan , sebagian besar dari persoalan tersebut masih berbasiskan argument fitnah tadi. Sebagaimana yang dimunculkan tentang sabda Nabi SAW. : maa taroktu ba’di fitnatan adharra ‘ala rajul min nisa’.
Selanjutnya oleh para penafsir sabda ini dijadikan sebgai legitimasi untuk membatasi gerak dan juga aktifitas perempuan di luar rumah dalam pandangan normative. Perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa suami atau kerabatnya. Kemanapun mereka pergi, tidak boleh sendirian melainkan harus ditemani dengan mahram nya. Perempuan tidak diperkenankan berhias dan memakai parfum bila bertemu dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Serta perempuan juga tidak boleh menempati posisi atau jabatan public di mana teedapat ruang untuk berkumpul, berhadap-hadapan dan berbincang-bincang. Bahkan sampai pada taraf di mana suara perempuan dianggap sebagai aurat. Pembatasan ini hanya diperlakukan bagi kalangan perempuan saja dan tidak bagi kaum laki-laki, agaknya ini terinspirasi dari stigmatisasi perempuan sebagai sumber fitnah tadi (hal. 200)
Kh. Husein Muhammad melalui bukunya ini ingin mengetengahkan pemosisian yang tepat terhadap perempuan, baiak dalam ranah lingkup social, ekonomi serta politik. Bahkan sampai dilekatkan prediket sebagai “kiai feminis” atau “kiai gender” mengingat kegiatan pembelaannya terhadap perempuan serta persamaannya dalam hak-hak yang seharusnya diterima juga oleh perempuan. (hal. 97)
Dalam hal kesetaraan perempuan dalam arena perpolitikan, diketengahkan juga tentang politik (alsiyasah) yang secara sederhana dirumuskan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dengan begitu, politik dalam arti yang sesungguhnya adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestic maupun ublik, ruang cultural maupun structural, personal komunal. Tetapi penyebutan politik dalam pikiran bnayak orang dewasa ini menyempit menjadi istilah bagi politik praktis, politik structural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas dan untuk masa depan yang panjang.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh Husein dalam kurun waktu beberapa tahun, sebelumnya telah dipublikasikan dalam bentuk makalah untuk bermacam-macam seminar, namun beberapa belum pernah diterbitkan sebelumnya.(XLIX) Jadi buku ini bukanlah merupakan satu kesatuan ide yang sekaligus dimuat dalam satu waktu, akan tetapi dari perjalanan panjang penulisnya bersafari keilmuan ke berbagai majlis.
Tulisan ini bertolak dari pemahaman sang penulis bahwa Alqur an tidak diturunkan dalam kondisi hampa budaya. Sebaliknya, wahyu Allah tersebut diturunkan dalam sebuah kebudayaan yang sangat diskriminatif, termasuk terhadap perempuan. Al-Qur an menurut Husein, bersikap realistis bahwa kebiasaan dan tata cara hidup mereka yang tidak menghargai perempuan tiak mungkin dapat didekontruksi begitu saja tanpa proses-proses transisional dan perubahan secara gradual dan evolutif.
Analisa yang dituangkan oleh penulis dari buku ini adalah bahwa realitas social yang tidak menguntungkan kaum perempuan tersebut terkait dengan terlalu dominannya budaya patriarki, dan budayapatriarki ini memang sangat erat menjadi nafas dari berbagai kebudayaan dunia, sehingga sanat sulit untuk ditinggalkan. Pada masyarakat berkebudayaan konfusisus misalnya, budaya patriarki ini tampak sangat menonjol. Di korea misalnya, ada tradisi yang terkait erat dengan tradisi konfusius. Setiap wanita yang menikah, mesti tinggal bersama keluarga suaminya. Dan tidak hanya bertugas melayani suami, melainkan juga menjadi “budak ” bagi keluarga besar suaminya.
Demikian juga tradisi Arab pra Islam; posisi perempuan seringkali sangat mengenaskan. Kelahiran bayi perempuan sering dianggap sebagai aib dan ketika lahir maka akan dikuburkan hidup-hidup. Sementara itu di jawa, kita mengenal pernyataan bahwa istri adalah “kanca wingking” suami, yang “suarga nunut, neraka katut”. Mapannya tradisi patriarki ini, pada sisi lain berkait dengan berkembangnya ideology kapitalisme. Ideology kapitalisme ii sering ditengarai sebagai penyebab semakin termarginalkannya perempuan.
Penulis juga memuat pendapat yang dianut dari Syaikh nawawi Banten yang mengarang kitabUqud al lijain. Yang mengatakan bahwa tugas kodrati perempuan adalah berada di rumah dan menyelesaikan urusan-urusan di dalamnya. Dan lebih dari itu, karena posisi Istri adalah sebagai tahanan bagi suami, maka ia mesti tunduk dan taat kepada suami sebagai pihak yang menahannya. (313)
Berbagai wacana tentang keperempuanan yang diusung oleh Husein ini bukan tidak mendapat tantangan, penulis juga mendapat reaksi negative dari berbagai kalangan, terutama para kiai pesantren lain yang ada di Cirebon dan wilayah lain di jawa. Reaksi penentangan terhadap gagasan Husein misalnya, Nampak ketika Husein harus menjelaskan gagasan-gagasannya kepada para kia di PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur, dan kiai kiai alumni lirboyo yang berada di Cirebon. Seperti komentar KH. Syarif Muhammad, beliau mengatakan: “Husein itu anak muda yang sedang main-main, tidak serius.”
Di balik kontroversi yang di timbulkan dari gagasan-gagasannya, tampaknya pemikiran Husein perlu mendapat pembelaan yang kuat, karena pada dasarnya suara yang diperjuangkannya adalah mengenai hak-hak perempuan.
Pemikiran KH. Husein ini besar kemungkinan muncul dan tumbuh ketika ia berada di luar “gerbang” lirboyo, mengingat dia pernah menempuh pendidikan di PTIQ Jakarta, kemudian melanjutkan di al-Azhar kairo. Sedang ketika berada di lirboyo, gagasan seperti ini sulit tumbuh, hal ini mengingat pertentangan yang muncul merespon dari gagasan KH. Husein ini kebanyakan dari PP lirboyo sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar