Judul: Melawan Ketergantungan Pada Minyak Bumi: Bahan Bakar Nabati dan Biodiesel Sebagai Alternatif dan Gerakan
Harga: Rp. 40.000
Penulis: Effendi Syarief
Penerbit: InsistPress
Tahun : 2004
Tebal: 225hlmn
Berat 500grm
Kondisi: Stok lama, lumayan bagus
Sebagai negara yang memiliki cadangan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam ketersediaan dan kecukupan sumber daya energi, khususnya BBM. Ini terkait dengan ketergantungan pemerintah pada impor BBM yang memberatkan anggaran belanja negara. Kebangkrutan ekonomi dan fluktuasi harga minyak internasional akibat makin menipisnya cadangan minyak dunia membuat pemerintah terpaksa memangkas subsidi BBM. Di samping itu, banyak kajian membuktikan bahwa penggunaan bahan bakar fosil secara ekologis berdampak pada pemanasan global, naiknya suhu permukaan bumi, melelehnya es di kutub, dan koyaknya lapisan ozon.
Suhu permukaan bumi menjadi bertam-bah panas. Lapisan es tebal di kutub utara dan kutub selatan (benua Antartika)—yang tadinya sudah enak-enak tidur di sana selama jutaan tahun tanpa ada yang mengganggunya—sekarang mulai mencair. Akibatnya, permukaan air laut pun mulai naik, sehingga kota-kota metropolitan yang umumnya berlokasi di pantai-pantai terancam tenggelam.
Coca-cola atau minuman dingin sejenisnya, enak diminum saat dingin, karena adanya kandungan CO2 yang memang sengaja dimasukkan oleh pabrik pembuatnya. Tapi, apabila minuman ini dipanasi, maka CO2 nya pun terbang (menguap) semua, rasanya jadi hambar, cuma air manis biasa saja.
Ibarat Sysiphus dalam mitos Yunani Kuno, yang tak pernah dapat menyelesaikan tugasnya mengangkut batu ke puncak bukit —karena setiap dia selesai meletakkannya di puncak, batu itu menggelinding kembali ke kaki bukit— sejarah penemuan baru ilmu dan teknologi modern juga penuh dengan riwa-yat tragis semacam itu. Pada saat ilmu dan teknologi mulai menemukan jawabannya, telah muncul pula persoalan baru yang jauh lebih ruwet lagi, seringkali justru oleh dampak-samping dari penemuan baru ilmu dan teknologi itu sendiri.
Isu bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sama mudah terbakarnya seperti BBM itu sendiri. Mengapa?
Sudah sangat gamblang: puluhan juta rakyat jelata negeri ini sangat tergantung dan ditentukan peruntungan hidupnya oleh BBM. Sumber energi utama untuk menyalakan api di dapur-dapur rumah mereka adalah minyak-tanah. Kenaikan harga salah satu jenis BBM tersebut dapat berakibat fatal mematikan penyulut api dapur di rumah-rumah penduduk, terutama mayoritas kelas menengah ke bawah. Maka minyak-tanah pun telah menjadi salah satu kebutuhan pokok seperti bahan pangan beras, garam, gula, dan minyak goreng.
Dalam kenyataannya selama ini, kenaikan harga BBM jenis apapun—bukan hanya minyak-tanah—menjadi penyulut kenaikan harga bahan-bahan pokok lainnya. Bahkan, baru sekedar ‘berita desas-desus’ saja (bahwa akan ada keputusan pemerintah menaikkan harga BBM) sudah cukup untuk menyulut lonjakan harga-harga bahan pokok, ongkos angkutan umum, rekening-rekening air minum, listrik, dan telepon, biaya-biaya sekolah dan jajan anak-anak, harga obat-obatan generik dan biaya-biaya perawatan kesehatan dasar, dan seterusnya. Spekulasi harga menjadi suatu gejala umum menyertai setiap kejadian kenaikan harga BBM. Bahkan kalangan industri dan pabrikan besar pun menjadikan kenaikan harga BBM sebagai ‘alasan pembenar’ untuk ikut menaikkan harga barang-barang jualan mereka. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan beban biaya hidup sehari-hari puluhan juta rakyat negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar