NEGARA PARIPURNA;Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas
Harga Rp 110.000 .
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Gramedia, 2011
Tebal: 692 halaman
Kondisi: bekas, sampul lusuh, isi cukup bersih
SMS/WA: 0896 6116 2026
PIN BBM: 570BD803
Pandangan minor tentang Pancasila mengemuka dalam diskusi terbatas deradikalisasi di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, medio November lalu. "Sudahlah, stop kampanye Pancasila sebagi terapi radikalisme. Itu kontraproduktif," ungkap seorang analis terorisme yang juga alumnus Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah. "Pancasila itu membangkitkan trauma."
Di tengah gairah baru menghidupkan kembali Pancasila belakangan ini, suara-suara skeptis masih bertebaran. Terlebih bagi kalangan yang pernah menjadi korban represi Orde Baru, ketika Pancasila dipaksa menjadi asas tunggal. Sekian orang harus ditahan, sebagian harus kabur ke negeri jiran, dan sejumlah organisasi terpaksa pecah.
Selain menyisakan citra sebagai alat pukul negara, Pancasila juga mewariskan kesan membosankan. Terutama buat alumni indoktrinasi Pancasila model penataran P4 yang militeristik. Tapi, lepas dari model implementasi dan indoktrinasi Pancasila pra-reformasi, lima dasar ini harus diakui tetap relevan sebagai --merujuk pada istilah Bung Karno-- "meja statis" dan "leitstar dinamis" pemersatu dan pemandu bangsa.
Di tengah agenda menampilkan marwah Pancasila, buku karya Yudi Latif, 47 tahun, berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, yang dirilis pada April 2011, penting dicatat sebagai sumbangsih berharga dalam khazanah kenegaraan. Agenda sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang dimotori MPR menjadi punya rujukan literatur bermutu.
Karya doktor sosiologi politik alumnus Australian National University (2004) setebal 668 halaman itu, di mata Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, diprediksi akan menjadi karya klasik yang selalu relevan dijadikan rujukan untuk mempelajari jati diri Indonesia. Tiap sila dikupas secara mendalam pada bab tersendiri, dengan merujuk pada referensi primer dan menyelami suasana kebatinan para pendiri bangsa.
Lewat buku tebal, mendalam, dan disajikan dengan bahasa memikat itu, Yudi menghendaki Pancasila tidak lagi dikembangkan secara vertikal lewat monopoli negara: negara yang mengambil inisiatif, negara yang menafsirkan, dan negara pula yang menatar. Pancasila, dalam pendekatan itu, sering tergelincir menjadi alat negara untuk mengontrol dan memberangus kekuatan kritis di dalam masyarakat.
Ke depan, menurut Yudi, Pancasila harus dikembangkan secara horizontal dengan melibatkan segenap komponen kebangsaan. Selain pemerintah, kaum intelektual, pemuka agama, seniman, masyarakat media, masyarakat sipil, pemangku adat, dan sebagainya bisa terlibat. Pancasila ditempatkan sebagai alat ukur untuk menakar kebijakan negara. Pancasila menjadi alat kritik kebijakan publik.
Yudi ingin, dengan buku itu, Pancasila bisa menjadi cermin bagi siapa saja. Buku itu tidak membokar aib Orde Lama dan Orde Baru, tidak menyindir penentang Pancasila, juga tidak menyinggung orang yang memakai Pancasila untuk menyalahgunakan kekuasaan. Buku itu menggarap sisi positif dalam berpancasila. Karena itu, judulnya Negara Paripurna. ''Saya bersyukur, banyak pendukung Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi berkumpul dalam launching buku ini," katanya.
Bagi Yudi, buku ibarat perjalanan ekstensial. Pemikir kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, putra pasangan Utom Mulyadi, aktivis Nahdlatul Ulama, dan Yuyun Yurtika, pengikut nasionalisme PNI, ini merasa dibesarkan dalam tradisi cinta buku. "Ketika lahir, yang segera saya tangkap di sekeliling saya bukan harta mewah, melainkan buku," ujarnya.
Ayahnya kepala sekolah. Tiap menjelang sahur, sang ayah membacakan buku cerita. "Usai didongengkan, lama-lama kami rajin membaca," katanya. Buku Negara Paripurna itu juga menjadi endapan sejarah personalnya yang dibesarkan oleh pasangan pelangi: Islam dan nasionalis. Orangtuanya bercerai akibat perbedaan ideologi.
Yudi mengidamkan Islam ayahnya ibarat langit, nasionalisme ibunya seperti bumi pertiwi. Bila langit kering, bumi memberi uap. Ketika bumi kering, langit mengirim hujan. ''Langit dan bumi saling memberi, mengapa manusia tidak?'' tuturnya, "Kenapa Islam dan kebangsaan kadang saling memerkosa." Alumnus Pondok Modern Gontor ini mengobsesikan Islam Indonesia adalah Islam yang membumi.
Buku itu juga merupakan bentuk pertanggungjawabannya sebagai intelektual. Ia bukan politikus yang menyumbangkan kebijakan. Bukan pengusaha yang berkontribusi pajak pada negara. Inilah sumbangsihnya sebagai intelektual. Yudi perlu waktu dua tahun untuk menuntaskan buku itu.
Ada kritik, doktor Indonesia ibarat intelektual pohon pisang. Sekali berbuah, setelah itu mati. Sehabis melahirkan disertasi, tidak berkarya lagi. "Saya ingin menghapus pikiran tabu itu," ujar Yudi.
Ketika Yudi akan menulis buku itu, banyak komentar pesimistis. "Ini ibarat mengangkat bangkai," kata seorang koleganya menyindir. Namun Yudi tak peduli dan balik sesumbar, "Buku ini nanti akan membuat mutiara yang sudah lama tidak berkilau menjadi berkilau lagi." Benar saja, kini banyak pujian. Pancasila bisa dihadirkan secara ilmiah dan penuh gairah.
Aktivis lingkungan hidup, Chalid Muhammad, mengaku banyak menemukan kejutan dalam buku ini. Ia baru sadar, isu-isu fundamental seputar hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan ekonomi berkeadilan sudah demikian lugas dikupas para pendiri bangsa. "Bahkan konsepsi kesejahteraan berkelanjutan yang sedang dicari resepnya oleh banyak negara ternyata spiritnya dirumuskan dengan baik dalam sila keempat dan kelima Pancasila," tulis Chalid.
Respons lapangan pun bersahutan. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika dan beberapa partai politik, seperti Golkar, PDIP, dan PPP, menggelar diskusi buku itu berbagai kota. Beberapa kedutaan, seperti KBRI Beijing dan Cekoslowakia, juga menggelar diskusi buku itu di mancanegara. Lembaga Administrasi Negara menetapkan buku itu sebagai bacaaan wajib pegawai dan peserta pelatihan. Pejabat eselon I dan II Mahkamah Konsitusi juga diharuskan membaca buku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar