Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial
oleh Sri Margana dan M. Nursam
Harga Rp 65.000
Sampul : Soft Cover
ISBN13 : 9786028335287
Terbit : Desember 2009
Bahasa : Indonesia
Penerbit: OMBAK
Tebal : 341hlm
Oleh Ibnu Nadzir
Buku Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial adalah satu dari dua kumpulan tulisan yang dibuat untuk merayakan ulang tahun Prof. Dr. Djoko Suryo, Guru Besar Sejarah UGM. Buku ini terdiri dari 18 tulisan akademis yang dibuat oleh mantan murid maupun koleganya yang bekerja di beragam institusi. Karena latar belakang sejarah tersebut, maka tidaklah mengherankan kalau tulisan dengan perspektif sejarah paling banyak muncul. Meskipun demikian, tema yang beragam saya kira membuat pekerjaan Sri Margana dan M. Nursam sebagai editor tidak mudah. Untuk mempermudah pembaca mencari tautan antar tema mereka kemudian membagi 18 tulisan ini dalam lima tema besar.
Bagian pertama buku ini berbicara mengenai “Identitas kota”. Konsep identitas yang dikemukakan dalam bagian ini cukup fleksibel untuk dapat menampung ragam ide penulis. Tulisan Susanto misalnya, mencermati kota Solo yang kesulitan meneguhkan jati dirinya karena dipengaruhi modernisasi. Pada tulisan yang lain, Heddy Shri Ahimsa-Putra melihat kemungkinan merintis multikulturalisme di lewat penciptaan ulang tradisi Imlek oleh PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Yogyakarta. Kedua tulisan tadi dan beberapa tulisan lainnya banyak bicara mengenai kegamangan kota ataupun unit di dalamnya terhadap perubahan.
Perkembangan kota selalu membuka ruang bagi munculnya gaya hidup baru yang tidak ditemukan sebelumnya. Persoalan “Gaya Hidup Perkotaan” menjadi tema yang diangkat dalam bagian kedua. Dalam bagian ini, tulisan Mutiah Amini melihat kemunculan biro konsultasi perkawinan pada awal abad 20 sebagai tanda adanya pergeseran nilai perkawinan Jawa. Tulisan lain karya Widya Fitrianingsih mengangkat isu konstruksi sosok perempuan yang muncul dalam pariwara di Hindia Belanda pada periode 1900-1942.
“Permasalahan Sosial Perkotaan” adalah tema yang diangkat pada bagian ketiga. Bagian ini menyoroti persoalan-persoalan yang kerap dihindari pengelola kota. Persoalan seperti kemiskinan, prostitusi, dan aborsi sudah mengemuka sejalan dengan kelahiran kota-kota di Jawa. Tulisan Reza Hudianto mendeskripsikan Kota Malang yang pada masa itu bukan tempat yang ramah bagi kelompok ‘orang kecil’. Pada tulisan lain, Gayung Kusuma membahas persoalan aborsi yang meningkat seiring dengan dinamika kota pada masa kolonial.
Pada bagian keempat, Sajana Sigit Wahyudi berbicara mengenai Kota Surabaya yang menjadi magnet bagi migran Madura. Dalam bagian yang sama, Razief membahas dinamika buruh pelabuhan di Tanjung Priok pada periode 1920-1930-an. Tulisan-tulisan tersebut dimasukkan dalam kategori tema “ Urbanisasi, Pelabuhan dan Tenaga Kerja”.
Tema “Dinamika Politik dan Ekonomi” menjadi penutup buku ini. Budiawan membahas kemunculan Marx House sebagai kelompok studi kiri pada masa awal revolusi. Dinamika kelompok tersebut memiliki sumbangan besar bagi perkembangan Partai Komunis Indonesia pada periode berikutnya. Tema serupa juga muncul dalam tulisan Didi Kwartanada dalam tulisan soal organisasi KEI (Kemadjuan Ekonomi Indonesia). Organisasi pedagang pribumi di Yogyakarta ini pernah memiliki pengaruh besar dalam peta perdangan lokal pada masa 1941-1949.
Bias pada Orang Kecil?
Bagi saya kumpulan tulisan ini merepresentasikan sosok kota sebenarnya yang terdiri dari kumpulan fragmen realitas. Persoalannya, realitas mana yang dianggap layak merepresentasikan kota? Jika menilik tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini, sangat kuat terasa bahwa kota direpresentasikan sebagai ruang yang dimiliki kelompok elit. Sebagian besar kelompok masyarakat yang diangkat dalam kumpulan tulisan ini termasuk adalah orang-orang yang memiliki hak istimewa baik melalui akses pendidikan, modal, maupun konsumsi. Jika bicara angka, tentu saja kelompok seperti ini jauh lebih sedikit daripada kelompok yang bisa digolongkan sebagai ‘orang kecil’. Hal ini menjadi ironis, karena Prof. Djoko Suryo seperti yang dikemukakan oleh Reza Hudianto punya ketetarikan khusus pada kajian mengenai ‘orang kecil’ seperti yang dapat dilihat dalam disertasinya (hlm. 133). Upaya untuk menghadirkan pembacaan kota yang lebih berimbang seperti yang dilakukan oleh Reza Hudianto, Razief, atau Gayung Kusuma pun masih terasa kurang.
Ketimpangan representasi ini bisa saja digugat sebagai bentuk bias terhadap ‘orang kecil’ dalam pembacaan tentang kota. Namun, kesimpulan semacam itu boleh jadi sangat spekulatif apalagi kalau kita mengingat banyaknya keterbatasan penyusunan historiografi di Indonesia. Meskipun oral history sudah cukup lazim digunakan, dokumen tertulis tetap menjadi sumber data utama sejarawan. Dalam kasus Indonesia, dokumen tertulis ini sebagian besar bersumber pada catatan pejabat kolonial Belanda. Sehingga sejarawan yang bekerja di Indonesia seringkali diharuskan bekerja dalam kerangka tulisan pencatatnya di masa itu. Catatan-catatan ini tentu saja tidak terlepas dari bias, termasuk bias tentang urgensi atau signifikansi kelompok sosial yang ada. Mudah diduga kalau catatan mengenai orang kecil tidak termasuk pada hal-hal yang dianggap utama pada masa itu.
Keterbatasan tersebut sangat bisa diterima, sebab sebagian besar tulisan dalam buku ini toh dibangun dengan kerangka pikir yang baik. Tulisan-tulisan dalam buku ini juga berhasil menghindar dari stereotip membosankan yang biasa ditemui pada naskah akademis. Buku ini cocok bagi siapa saja yang tertarik membaca mengenai dinamika kota di Jawa dari sudut pandang historis dan antropologis. Saya tidak tahu komentar Prof. Dr. Djoko Suryo mengenai buku ini, tapi saya kira kumpulan tulisan ini adalah hadiah yang berharga karena melakukan apresiasi pada sosoknya tanpa glorifikasi yang berlebihan.
Buku ini bisa dipinjam melalui keanggotaan perpustakaan Rujak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar