Judul Buku : Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik
Penulis : Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag
Harga 39.000
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Agustus 2007
Tebal : XVI + 212 Halaman
Peresensi : Sungatno*
Dewasa ini, walaupun pemilihan calon presiden (capres) dan Wakil Presiden (cawapres) masih lama, sekitar bulan Juli 2009, banyak diantara para petinggi-petinggi pengurus partai politik (parpol) yang secara tidak langsung mencuri start untuk berkampanye mensosialisasikan atau memantapkan visi dan misi parpolnya kepada massa pendukung atau calon pendukung suatu parpol.
Bisa dilihat ketika ada berbagai jenis warna maupun wajah label, simbol, pernak-pernik atau bendera suatu parpol dan beberapa ‘obrolan” yang membuntuti gerak langkah berlangsungnya suatu acara atau bencana. Semisal, di hari-hari libur maupun cuti bersama, para petinggi-petinggi atau orang-orang parpol berlomba-lomba mengadakan suatu acara yang beraroma bakti sosial, pengajian, Open House atau sekedar menjadi sponsor terselenggaranya suatu acara atau bantuan secara gratis kepada masyarakat yang tertimpa musibah.
Dalam konteks ini, sosialisasi suatu parpol tidak lagi memperhitungkan situasi dan kondisi. Setiap masyarakat, jikalau bertepatan pada situasi dan kondisi yang dianggap cocok untuk dibidik oleh orang-orang dari parpol, maka saat itulah orang-orang dari parpol untuk melancarkan aksi sosialisasi partainya dengan harapan mampu memberi kesan dan pesan terhadap publik, supaya dikemudian hari mau pemilih parpol yang dielu-elukan. Sehingga tidak menutup kemungkinan aktor-aktor yang berperan dari parpol itu bermunculan dari orang yang akan dinobatkan sebagai capres dan cawapres, tokoh-tokoh politik, masyarakat, kiai bahkan orang-orang yang kita anggap sama sekali tidak memiliki kepandaian maupun kepiawaian dalam ranah percaturan politik.
Kehadiran buku yang berjudul Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik ini, mencoba turut mengisi, mengapresiasi dan berperan dalam gencarnya parpol yang sedang mencari arah dan harapan ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang dililit berbagai krisis, dekadensi moral dan berbagai jenis bencana alam yang saling berurutan. Buku yang ditulis H Achmad Patoni ini, menelaah berbagai kiprah para Kiai pesantren selama ini dalam gelanggang percaturan parpol, motivasi, harapan dan tantangan serta pembelotan langkah-langkah mereka yang menyebabkan predikat ke-Kiai-an mereka luntur bahkan mencoreng keindahan nama baik agama yang dipeluknya.
Dalam lika-liku perjalanan sejarah di Indonesia mulai sebelum era kemerdekaan hingga sekarang, peran para Kiai tidak bisa dinafikan secara cuma-cuma. Ini bisa ditelusuri melalui catatan-catatan arsip sejarah bahwa para kiai pesantren maupun kiai masyarakat ikut berperan aktif dalam mengusir dan mempertahankan kedaulatan republik Indonesia dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik, yang muncul dari dalam (laten) maupun luar negeri. Dengan berbagai cara dan atribut serta simbol-simbol khas ala Islam, mereka juga turut berkecimpung dalam menata, mengolah dan memantapkan visi dan misi kedaulatan republik Indonesia.
Tetapi, dewasa ini para Kiai, khususnya Kiai pesantren, dihadapkan pada keadaan yang sulit dalam mewujudkan rasa cintanya terhadap bangsa (hubbul wathan). Keadaan ini terbentuk ketika para Kiai pesantren yang dianggap 'gagal' dalam mensukseskan peran ganda mereka selama dalam lingkaran parpol yang selalu menuntut jadwal kesibukan. Dilain sisi mereka harus tetap mempertahankan status ke-Kiai-an mereka sebagai pembimbing dan menjadi panutan santri, disisi yang lain pula, mereka harus memperhatikan keluarga dan jadwal kesibukan yang berlipat-lipat serta "tikungan-tikungan syetan" dari dunia perpolitikan.
Sehingga, tidak jarang apabila ada seorang kyai pesantren yang hendak turut berkiprah dalam dunia partai politik, terlebih dahulu dihantui rasa kekhawatiran dari dirinya pribadi dan para santri mereka, walupun akhirnya dienyahkan.
Peran Kiai dalam Parpol
Menurut penulis, yang berangkat dari penelitian didaerah Kediri, Jawa Timur, peran Kiai dalam partai politik diklasifikasikan dalam tiga bagian. pertama, Kiai berperan sebagai aktor. Dalam hal ini, Kiai berperan sebagai anggota tim sukses sekaligus juru kampanye partai tertentu.
Kedua,
Kiai berperan sebagai pendukung. Yakni, Kiai mendukung partai tententu, namun tidak berada pada garis depan dalam memperjuangkan keberhasilan partai yang didukungnya. Ketiga, Kiai berperan sebagi partisipan. Pada peran ini Kiai hanya memberikan restu terhadap calon tertentu, dan tidak terlibat dalam aksi dukungan atau menjadi tim sukses.
Dari ketiga bagian diatas, yang paling rentan terhadap pertaruhan antara 'nama' sekaligus agama Islam adalah bagian yang pertama. Ketika seorang Kiai berperan sebagai aktor, secara tidak langsung mereka memikul beban moral lebih berat dari pada bagian yang lain. Karena sedikit saja diantara mereka salah langkah dalam menentukan keputusan, maka 'bencana' yang timbul tidak hanya pada diri pribadi Kiai yang bersangkutan. Melainkan, semua santri dan pengikut-pengikutnya akan 'tercoreng' dan tidak menutup kemungkinan meluber dan menciderai nama Agama yang dipeluk. Semisal, adanya kasus korupsi (sendiri maupun berjamaah) baik secara terang-terangan (keadaan sadar) maupun tipu daya para lawan politik yang bertujuan merusak reputasi.
Buku yang hadirnya lebih dini didalam mengawal para Kiai pesantren yang berkeinginan berjuang melalui jalur struktural ini, selain mengajak pembaca untuk melakukan refleksi bersama atas 'kegagalan-kegagalan' para Kiai dalam mengemban tugas ganda, juga berusaha menyadarkan anggapan bahwa politik tidak selamanya –dalam bahasa yang ekstrim- menjijikkan, tergantung aktor yang memerankannya. Perlu diingat, adanya agama Islam sampai pada kita ternyata tidak lepas dari sentuhan-sentuhan politik, yang dalam hal ini dekat dengan aspek kepemimpinan. ***
* Peresensi adalah Aktivis pada Scriptorium Lintang Sastra yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar