Rabu, 02 April 2014

Jual Buku Demokrasi Substansial


Judul  : Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme
Penulis  : Donny Gahral Adian TERJUAL
Tebal Buku: 129+xii
Ukuran  : 140mm x 210mm
Penerbit :  Penerbit Koekoesan, 2010




Kehidupan demokrasi di Indonesia semakin hari terlihat semakin semarak. Berbagai wacana demokrasi digembar-gemborkan para elit politik. Demokrasi menjadi semacam kata sakti untuk melegitimasi hal-hal yang bisa jadi bermuatan lain di luar demokrasi. Lalu pertanyaannya, apakah sebenarnya demokrasi? Sudahkah demokrasi di Indonesia berjalan sebagaimana mestinya? Lalu demokrasi macam apakah yang sebenarnya kita anut di negeri ini? Melalui Demokrasi Sustansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Donny Gahral Adian membawa kita “berwisata” ke dalam substansi demokrasi yang sesungguhnya.
Kita lihat realitas demokrasi di Indonesia saat ini. Demokrasi kini telah menjadi alat bagi orang-orang yang memiliki modal besar atau memiliki kepopuleran untuk mendulang kekuasaan dan keuntungan pribadi. Mereka tidak lagi berbicara atau bertindak atas kepentingan bersama. Mereka kini berbicara dan bertindak atas kehendak hasrat untuk berkuasa dan meraup sebesar-besarnya keuntungan ekonomi.
Setiap hari kita lihat di berbagai media, para elit yang mengklaim demokrasi sebagai kendaraan mereka naik ke panggung politik saling menyikut untuk menaikkan keuntungan ekonomi dan simbolik. Demokrasi di negeri ini harus dipertanyakan. Banyak hal yang tidak lagi sesuai dengan kepentingan bersama. Para pemilik modal (ekonomi atau simbolik) saling berlomba-lomba untuk mengambil hati rakyat. Setelah mereka berhasil mengambil hati rakyat, lalu dengan mudah mereka melupakan janji-janji yang mereka umbar. Mereka lalu berbicara atau bertindak atas nama pribadi, partai, atau golongan tertentu. Akan tetapi, mereka tetap mengatasnamakan semuanya berdasar demokrasi.
Menurut Adian, tujuan demokrasi tak lain adalah perluasan akses politik kaum miskin, marjinal, dan minoritas. Adian menyatakan bahwa proseduralisme demokrasi mengandung dua ancaman yang sama latennya. Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti demokrasi. Kelompok-kelompok sectarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis, tapi setelah berkuasa mereka membakar jembatan yang mereka pakai sendiri. Kedua, demokrasi dibajak oleh orang-orang berpunya. Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara, polpularitas jarang dibangun dari keringat kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Tak ayal, para pemenang pun adalah mereka yang bermodal atau dimodali oleh para cukong. Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka.
Para elit politik dengan sangat bebas dapat mempermainkan kata demokrasi untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka dapat dengan mudah membangun citra tertentu hingga mereka berhasil mendapatkan suara rakyat. Lalu setelah mereka mencapai posisi yang mereka inginkan, mereka dengan mudah melepaskan tanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya.
Piliang dalam Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas (2005: 16) menyatakan bahwa fenomena permainan bebas tanda dan citra, tanpa perlu mengikatkan diri pada satu determinasi (metafisik) tertentu seperti dijelaskan di atas, tampaknya telah menjadi lukisan dunia politik masa kini. Dalam konteks ini, tanda dan citra politik tidak lagi dibicarakan dalam konteks kebenaran dan kepercayaan yang ditawarkannya, melainkan permainan murni, dalam rangka mencapai kekuasaan murni, yaitu kekuasaan yang tidak lagi mempunyai tanggung jawab sosial. Demokrasi pun digunakan para elit politik sebagai permainan bebas tanda dan citra. Para elit politik ini lalu melepaskan tanggung jawabnya kepada rakyat. Mereka menjadi pemenang yang meruntuhkan jembatan yang membawa mereka pada panggung politik dan kekuasaan.
Adian menyatakan bahwa kekhawatiran tentang terperosoknya demokrasi ke dalam lubang leberalisme telah juga dikemukakan Soekarno. Liberalisme telah mengubah demokrasi menjadi ajang perebutan sumber daya ekonomi belaka. Orang-orang berlomba-lomba untuk mencapai kemenangan kompetisi politik. Diskusi di kalangan elit legislatif dan eksekutif menjadi topeng negosiasi elit yang bertujuan mencari solusi yang menguntungkan diri mereka sendiri, bukan rakyat. Kendatipun demikian, kata rakyat sering dipelintir. Mereka mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk rakyat. Padahal di dalam kenyataannya, tidak ada rakyat yang mereka bela, melainkan diri dan golongan mereka sendiri.
Buku ini dibagi menjadi tiga bab yang saling berhubungan, yaitu: politikal, paradoks, dan konstitusi. Agar lebih memudahkan pembaca mengikuti perbincangan pada buku ini, penulis memberikan contoh-contoh kontekstual dan aktual pada kehidupan politik kita (misalnya, bail out Bank Century, konflik Palestina-Israel, peristiwa 9/11). Hal tersebut berhubungan dengan tujuan buku ini.  Jika dilihat, menurut Adian tujuan buku ini adalah mendekonstruksi demokrasi liberal dan membangkitkan ’politik’ dari mati suri selama dua ribu lima ratus tahun lebih. Terlihat usaha untuk memikirkan substansi politik untuk mengisi lubang demokrasi yang dibiarkan oleh liberalisme tanpa terjebak ke dalam fondasionalisme atau absolutisme.
Substansi politik republik ini bukan finalitas. Komitmen terhadap nilai-nilai dasar bukan sesuatu yang stabil karena sangat tergantung pada kemauan subjek masa kini untuk menauladani proses kebenaran yang dijalani para pendiri bangsa di masa lalu (hal. 86). Ketika banyak elit politik menggunakan kata atau konsep politik untuk mendulang keuntungan pribadi, kita agaknya harus melihat lagi, sebenarnya demokrasi macam apa yang sedang merajarela di negeri ini. Buku ini memberikan gambaran tentang pentingnya kembali ke demokrasi substansial. Hal ini tentu saja supaya kita tidak terjebak atau bahkan terperosok ke lautan liberalisme.
Adian menyebutkan bahwa Demokrasi liberal berupaya menyelesaikan kemajemukan dengan merancang prosedur rasional yang netral. Netral karena prosedur tersebut tidak mengandaikan konsep kebaikan atau nilai apa pun. Prinsip, nilai, identitas sosial, konsep kebaikan beserta kuasa yang menyertainya diturunkan ke ruang privat agar peluang konsensus terbuka lebar di ruang publik.
Buku ini sangat menarik dibaca untuk melihat di manakah sebenarnya demokrasi yang kita jalankan di negeri ini. Buku ini tidak hanya laik dibaca oleh para peminat demokrasi, politik, atau filsafat. Buku ini bisa menjadi asupan “bergizi” bagi siapa saja, yang merasa hidup di alam demokrasi dan menginginkan demokrasi yang sesungguhnya.***sinomcity87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar