Senin, 01 September 2014

Jual Buku Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif Penulis : Terry Eagleton

Jual Buku Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif Penulis : Terry EagletonBuku Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif
Penulis : Terry Eagleton
Cetakan : 2006
Tebal : 370 halaman
Ukuran : 15 x 21 cm
ISBN : 979-3684-65-8
Harga Rp 61,000
Deskripsi:
Buku ini menyediakan pandangan yang cukup komprehensif mengenai teori sastra modern, baik bagi pembaca yang sebelumnya tidak mempunyai ataupun bagi yang baru sedikit memiliki pengetahuan mengenai sastra. Dengan karakteristik semangat dan humor, Terry memperlengkapi mahasiswa generasi baru dengan restrospektif, tinjauan perkembangan terakhir seperti teori feminis, postrukturalisme, postmodernisme atau pada umumnya apa yang disebut teori kultural.

Buku ini berisi
Apakah Sastra itu?
1. Berkembangnya Sastra Inggris
2. Fenomenologi, Hermeneutika, Teori Resepsi
3. Strukturalisme dan Semiotik
4. Poststrukturalisme
5. Psikoanalisis


Pengantar untuk Edisi Kedua

Buku ini adalah sebuah usaha untuk membuat teori sastra modern menjadi mudah dipahami dan menarik bagi sebanyak mungkin pembaca. Sejak pertama kali diterbitkan pada 1983, saya dengan senang melaporkan bahwa buku ini telah dipelajari baik oleh para pengacara maupun kritikus sastra, ahli antropologi maupun ahli teori budaya. Pada satu sisi, mungkin ini tidak terlalu mengejutkan. Seperti yang coba diungkapkan oleh buku ini, sebenarnya tidak ada ‘teori sastra’, dalam artian sebangun teori yang muncul dari, atau diterapkan pada, sastra saja. Tidak satu pun dari pendekatan-pendekatan yang disebutkan dalam buku ini, mulai dari fenomenologi dan semiotika hingga strukturalisme dan psikoanalisis, yang benar-benar berurusan dengan tulisan ‘sastra’ belaka. Sebaliknya, pendekatan-pendekatan itu muncul dari pelbagai wilayah lain kemanusiaan, dan mempunyai implikasi yang melampaui sastra itu sendiri. Menurut saya, inilah salah satu alasan kepopuleran buku ini, dan juga salah satu alasan yang membuat edisi baru ini layak terbit. Tetapi saya juga terkejut dengan jumlah pembaca non-akademis yang tertarik membaca buku ini. Tidak seperti kebanyakan tulisan semacam ini, buku ini telah mampu menggapai kepembacaan melebihi dunia akademis, dan hal ini menarik terutama bila menggarisbawahi elitisme teori sastra. Jika ini merupakan bahasa yang sukar, bahkan esoterik, maka tampaknya ini bahasa yang menarik bagi orang yang tidak pernah melihat sisi dalam sebuah universitas; dan jika me­mang demikian, maka beberapa orang dalam universitas yang mengenyampingkan bahasa ini karena esoterisismenya harus berpikir kembali. Bagaimanapun sangat melegakan bahwa di zaman posmodern di mana makna, seperti juga yang lainnya, diharapkan dapat dikonsumsi secara instan, masih ada orang yang mau mencari cara-cara baru untuk membicarakan sastra secara layak.

Beberapa teori sastra secara eksklusif bersifat berkelompok dan tertutup terhadap ide baru, dan buku ini mewakili sebuah usaha untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan sifat-sifat itu dan membuatnya semakin mudah diakses secara luas. Tetapi ada juga beberapa sisi di mana teori sastra justru tidak bersifat elitis sama sekali. Yang benar-benar elitis dalam kajian sastra adalah ide bahwa karya-karya sastra hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang dibesarkan dengan cara yang beradab. Ada beberapa orang yang dianggap mempunyai ‘nilai-nilai sastra’ dalam sendi-sendi tulang mereka, dan ada juga yang terlunta di sisi luar kegelapan. Salah satu alasan penting bagi pertumbuhan teori sastra sejak tahun 1960-an adalah kegagalan perlahan anggapan semacam ini, akibat pengaruh tipe mahasiswa baru yang memasuki pendidikan tinggi, yaitu yang berlatar be­lakang (yang dulu dianggap) ‘tidak beradab’. Teori adalah cara membebaskan karya-karya sastra dari cengkeraman ‘sensibilitas beradab’, dan melemparkannya secara terbuka pada semacam analisis di mana secara prinsip semua orang dapat terlibat untuk berpartisipasi. Mereka yang mengeluh akan sukarnya teori semacam itu, ironisnya, sering kali menemui kesulitan pula untuk segera memahami buku-buku teks ilmu biologi dan kimia. Lalu mengapa kajian sastra harus menjadi berbeda? Mungkin karena kita mengharapkan sastra sendiri untuk menjadi jenis bahasa ‘biasa’ yang selalu tersedia secara instan bagi semua orang; tapi ini sendiri pun merupakan ‘teori’ sastra tertentu. Sepatutnya dipahami, teori sastra terbentuk lebih oleh impuls demokratis ketimbang elitis; dan hingga titik ini, ketika ia benar-benar jatuh dalam ketakterbacaan yang membosankan, ia menjadi tidak benar bagi akar-akar sejarahnya sendiri.[]



KATA PENGANTAR (Penerjemah)

Sebagai mahasiswa dan pengajar pada mata kajian sastra di universitas, saya menemukan bahwa buku Eagleton ini sangat bermanfaat. Buku ini berbeda dengan buku mengenai teori sastra lainnya karena buku ini memaparkan definisi sastra me­lalui sudut pandang yang materialistik—untuk menghindari istilah kiri. Maksudnya setiap kali membahas sebuah isu sastra dan kritik sastra, Eagleton selalu mengaitkannya dengan kondisi materialistik dan sejarah spesifik tempat sastra dan kritik sastra itu tumbuh. Mengenai hal ini, tentu saja kita harus mengingat bahwa Eagleton adalah murid Bapak materialisme kultural Ing­gris, Raymond Williams. Keunggulan lain dari buku ini adalah penjelasan yang dipaparkan merupakan verbalisasi pribadi Eagleton dari hasil membaca, memahami, dan mengendapkan wacana kritik sastra selama bertahun-tahun. Berbeda dari buku lain—katakanlah Lodge (1988), Selden (1989), dan Adams (1992)—yang biasanya hanya mengompilasikan tulisan-tulisan teorisi atau kritikus sastra dan menampilkan serta mengaturnya dalam kategori tertentu, buku ini berisi persepsi khas Eagleton dalam memahami kritik sastra secara spesifik.

Dalam buku mengenai Teori Sastra, cara yang digunakan si penulis ataupun editor untuk menyeleksi kategori teori atau pendekatan sastra selalu menarik bagi saya. Edisi pertama buku ini terdiri dari lima bab, dan di dalamnya Eagleton menjelaskan kurang lebih delapan kategori kritik sastra, yaitu: Kritik Baru, Fenomenologi, Hermeneutika, Teori Resepsi, Strukturalisme, Semiotika, Pasca-struktualisme, dan Psikoanalisis. Dibandingkan dengan buku yang diedit David Lodge (1988), Modern Criticism and Theory: A Reader, kategori yang diberikan Eagleton ini ter­hitung sedikit. Lodge menggunakan tujuh kategori besar yang meliputi kurang lebih empat belas pendekatan. Tetapi tentu saja, Eagleton menerbitkan bukunya tahun 1983, lima tahun sebelum diterbitkannya buku Lodge, jadi lebih bisa diterima bila Eagleton ‘belum’ menjelaskan mengenai beberapa kritik sastra penting lainnya seperti feminisme, pascakolonialisme yang sudah mulai berkembang pada tahun 1980-an. Dalam edisi kedua, edisi yang saya terjemahkan bersama kawan saya, Eagleton tampaknya mulai menyadari ‘kekurangan’ yang ter­dapat dalam edisi pertama bukunya sehingga ia melampirkan Bab Penutup (Afterword) yang membahas mengenai teori atau pendekatan yang belum ‘sempat’ ia jelaskan sebelumnya. Ia, misalnya, membahas mengenai feminisme, kajian budaya (cul­tural studies), historisisme baru, posmodernisme. Eagleton juga menyinggung sedikit mengenai pascakolonialisme, tetapi cara membahasnya, menimbulkan kesan pada saya bahwa ia tidak nyaman dengan isu mengenai kolonialisme:

‘Seperti teori lainnya, wacana pascakolonial mempunyai batasan dan titik lemahnya sendiri.’

‘Pendeknya, pascakolonialisme salah satunya telah menjadi contoh “kulturalisme” tak terkendali yang belakangan ini melibas teori budaya Barat, dengan penekanan berlebih pada dimensi budaya kehidupan manusia dalam bentuk reaksi berlebihan yang wajar pada biologisme, humanisme, atau ekonomisme.’ (Eagleton, 1997: 205, penekanan oleh saya)

Sementara Eagleton membahas feminisme dengan porsi yang cukup banyak dan nada yang positif, kutipan di atas mengenai pascakolonialisme menganjurkan penafsiran yang berkebalikan. Ini mengherankan, mengingat bahwa ia termasuk teorisi sayap kiri yang tentu saja paham mengenai pentingnya kontekstualitas sejarah yang komprehensif ketika memahami sebuah teori, terutama sejarah yang dipandang sebagai tegangan antara kelas, antara yang dominan dan yang terpinggirkan. Ketidaknyamanan dan keengganan untuk membahas sejarah kolonial Inggris dan pengaruhnya di bagian dunia yang lain ini, membuat saya merasa bahwa buku ini tidak mau ke luar dari konteks sejarah sosial yang spesifik milik Inggris; seakan tegangan kelas dominan dan pinggir hanya terjadi dalam tubuh Inggris, tetapi tidak pada dunia global yang kondisi geopolitiknya telah dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa dan imperialisme Amerika Serikat. Hal ini membuat saya bertanya: jadi di manakah tempat bagi karya-karya dan kritik sastra non-Barat, bila konteks sastra dan kritik sastra lahir dari latar sejarah yang spesifik Barat?

Namun demikian, walau ada beberapa isu penting kesusastraan yang tidak dibahas secara mendalam oleh Eagleton, buku ini tetap bermanfaat dan patut dibaca atau dijadikan bahan rujukan; terutama karena buku ini memerikan kritik sastra dalam bahasa yang lugas dan melampirkan informasi kesejarahan maupun sosial sebagai latar belakang untuk memahami teori yang diperikannya.

Dalam menerjemahkan buku ini, saya dan kawan saya men­emukan beberapa kesulitan, terutama karena Eagleton sering kali menggunakan kalimat majemuk yang akan menjadi terlalu kompleks ketika diterjemahkan ke dalam kalimat berbahasa Indonesia. Karena itu, untuk kepentingan pemahaman, ada be­berapa bagian klausa pada bahasa sumber yang diterjemahkan secara terpisah menjadi kalimat yang baru dalam bahasa target. Selain itu Eagleton juga banyak menggunakan metafora yang, dalam alam pemikiran Indonesia, tidak lazim, sehingga ketika diterjemahkan secara literal akan menjadi aneh. Untuk meng­gantinya dengan metafora bahasa Indonesia tentu saja tidak mudah, karena sering kali kami menemukan tidak ada padanan yang tepat. Karena itu beberapa metafora dan analogi tetap kami pertahankan, walaupun sangat berbau Inggris. Semoga upaya ini justru membuat pembaca terbiasa dengan nuansa cara berpikir yang lain dari yang biasa ditemukan sehari-hari.

H.W.

2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar