Sabtu, 09 Mei 2015

Jual Buku Memories Dreams Reflections, CG Jung

Judul: Memories, Dreams, Reflections
Penulis: Carl G. Jung
Harga Rp 120.000 BOOKED LPG 15/5
Penerbit: Jendela,
Tahun : 2003
Tebal: 600 halaman
Kondisi: Buku stok lama, Bagus
sms.wa.line 0896 6116 2026 bbm 330a029

Pada musim semi 1957, tepatnya ketika berusia delapan puluh satu tahun, C.G. Jung menyusun kisah hidupnya. Dengan teratur ia melakukan dialog bersama kolega sekaligus temannya yang bernama Aniela Jaffe, dan berkolaborasi dengannya dalam menyiapkan dasar-dasar teks dalam pembicaraan ini. Sekarang, ia menuangkan seluruh bab dalam tulisan ini dengan tangannya sendiri, dan dengan kontinu ia mengerjakan naskah ini hingga tingkat akhir sampai sesaat sebelum ia meninggal duni tahun 1961.

“Sesuatu yang penting, dokumen langsung yang ditulis untuk para pembaca yang ingin mengetahui tulisan dan pemikirannya di masa-masa akhir hidup Jung”

***
Memories, dreams, reflections adalah karya kontroversial karena karya ini masih berupa naskah ketika Jung meninggal, dan perlu disunting lebih lanjut agar bisa terbit sebagai buku. Tapi buku ini menginspirasi banyak orang untuk menjadi seorang psikoanalis. Buku ini menekankan pada kebangkitan spiritual dan intelektual dari psikolog besar ini.

Jung meyakini, semua orang memiliki gagasan religius dalam diri mereka, memiliki perasaan tentang Tuhan atau isyarat tentang arti yang lebih besar. Ia mengamati bahwa mereka yang menolaknya seringkali menderita gangguan saraf. Tetapi orang semacam ini tidak akan “dipisahkan dari diri mereka sendiri” seandainya mereka hidup di jaman dulu, dimana kehidupan mereka sangat dekat dengan mitos , ritual dan alam. Orang modern terlalu objektif, pandangan spiritual mereka terlalu sempit; banyak jiwa yang menjalani hampir seluruh kehidupannya di alam sadar, pikiran rasional. Jung meyakini, jika mereka mampu menghilangkan jarak antara ego dan pikiran bawah sadar, mental mereka akan kembali sehat sepenuhnya. Dalam sebuah wawancara Jung ditanya apakah ia percaya kepada Tuhan, Jung menjawab : “Saya bukan mempercayai-saya mengetahui”.

Tujuan yang disebut Jung sebagai “Individualisasi” adalah penyatuan sisi-sisi kita yang bertentangan, atau mengenali kontradiksi dalam diri kita. Pemahaman tentang diri ini akan memungkinkan munculnya perasaan menyatu antara tujuan hidup kita dengan kepribadian kita. Ada 2 aspek dalam diri kita yang ia sebut sebagai kepribadian no.1 (apa yang biasa kita pikirkan tentang diri kita) dan kepribadian no.2 (yang bersemayam dalam kebijaksanaan yg “kekal dan abadi”). Menurut Jung kepribadian no.2 inilah yang paling berharga dan harus kita dengarkan yang biasa ia sebut sebagai “diri yang lebih tinggi” atau “diri sejati”. Tanpa integrasi ini, kita cenderung memproyeksikan kepada orang atau hal-hal lain apa yang tidak kenali dalam diri kita, seringkali dengan konsekuensi yang merugikan.

Jung menemukan gagasan yang disebut dalam istilah psikologi sebagai “kompleks”, “Introver” dan ‘ekstrover”. Ia melangkah lebih jauh lagi dengan gagasannya tentang “ketidaksadaran kolektif”, yaitu pikiran manusia yang lebih besar dimana setiap individu adalah suatu bagian dimanifestasikan dalam gambar, simbol, mimpi dan mitos yang sepertinya muncul di semua budaya. Ia juga mengembangkan konsep mengenai “arketipe”, cara mewujudkan atau bertindak yang diadopsi tanpa berpikir oleh manusia, yang juga terdapat dalam jiwa kolektif yang lebih luas.

Gagasan Jung lainnya yang terkenal adalah “sinkronisitas” atau terjadinya peristiwa kebetulan yang kelihatannya penuh arti yang melampau bidang probabilitas normal, mengusulkan suatu alam semesta dimana batas2 atara pikiran dan materi yang biasa dirasakan manusia di sejumlah keadaan menjadi tidak jelas. Konsep ini juga banyak ditulis dalam buku spritual modern saat ini. Jung juga tertarik pada numerologi, terutama signifikansi nomor 4 dalam seni dan mitologi, serta mendalami alkemi, Gnotisisme dan Kitab Suci. Ia memahami bahwa alkemi yang sesungguhnya bukan merubah besi biasa menjadi emas, melainkan transformasi jiwa, suatu kebangkitan.

Jung mengakui bahwa “permitologiannya” ini telah memberikan kehidupan suatu daya tarik yang, sekali merasakannya, sulit untuk menjalani hidup tanpanya. Tetapi mengapa kita harus hidup tanpa hal itu?

Bagi para intelektual, hal-hal yang berkaitan dengan mimpi dan ketidaksadaran mungkin tampak membuang-buang waktu, tetapi jika mereka memang memperkaya kehidupan emosional kita dan menyembuhkan pikiran yang tercerai berai, mereka tentu berharga. Jika kita murni hidup mengandalkan rasio dan tanpa seni, tidak pernah memperhatikan mimpi dan fantasi kita, kita akan menjadi makhluk satu dimensi. Dalam mencari penjelasan yang sempurna, kita tidak pernah mendalami “hal hal yang tidak dapat dimengerti” seperti mendeskripsikan misteri ruang dan waktu, tetapi hal hal yang misteriuslah yang memberi arti bagi hidup kita.

Buku ini mencetuskan sebuah minat baru terhadap pikiran bawah sadar sebagai panduan dan sumber kebijaksanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar